Tasawuf, atau sufisme, merupakan dimensi mendalam dalam Islam yang berfokus pada pengembangan spiritualitas dan hubungan pribadi dengan Allah. Dalam perjalanan spiritualnya, para sufi mengembangkan konsep-konsep yang kompleks, termasuk Hulul dan Wahdat al-Wujud, yang memainkan peran kunci dalam pemahaman mereka tentang hubungan antara pencipta dan ciptaan. Nah berikut penjelasan konsep hulul dan wahdat asy-syuhud Al-Hallaj.
Bagaimanapun, dunia pencarian Tuhan ini terus berevolusi menawarkan kebenaran intuitif yang sering dicari oleh manusia yang berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektualitas.
Misalnya, di saat pilihan rasional tidak menemukan jawaban sebagai solusi, di saat jawaban tidak lagi memuaskan, dan di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternatif pilihan untuk menemukan kepuasan pencarian kebenaran.
Itu sebabnya, kajian tentang tasawuf kian digemari. Praktik sufisme yang dalam sejarahnya pernah dihujat lantaran terlalu mengagungkan sang mursyid, kini marak di berbagai tempat. Di antaranya, studi tentang tokoh sufi al-Hallaj, yang terkenal dengan konsep hulul dan wahdat asy-Syuhud.
Al-Hallaj adalah sosok kontroversial dan misterius. Ia benar-benar pernah hidup dalam sejarah, yang dihukum mati pada tahun 922 M setelah menjalani pengadilan politis yang berujung pada eksekusinya: sebuah cause ce-lebre yang penuh warna dan penuh gejolak.
“Ana al-Haqq”, ucapan apokaliptiknya di tiang gantungan, merupakan label munajat utama spiritual al-Hallaj. Ekspresi personal yang tegas, tanpa ambiguitas dan apologi itu, membuahkan kutukan atas dirinya sekaligus menumbuhkan kejayaan kesyahidannya. Al-Hallaj adalah cerminan perjuangan hebat ulama sufi menghadapi ulama fiqh.
Syahdan. Kita tahu, tasawuf, sebagai metode intuitif-konstruktif menuju kebenaran hakiki, dalam dunia Islam menduduki posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam.
Perkembangan dan ketinggian posisi tasawuf melebihi berbagai kritikan pengamat dan penentang eksistensinya. Tasawuf eksis dengan berbagai persoalan yang melingkupinya dari zaman ke zaman.
Konsep Hulul dan Wahdat asy-Syuhud
Di antara ajaran tasawuf al-Hallaj yang paling terkenal adalah hulul. Kata hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Sementara itu, menurut istilah ilmu tasawuf, hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan firman Allah Swt. Dalam surah Al-Baqarah ayat 34, Allah Swt. berfirman:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰٓئِكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْۤا اِلَّاۤ اِبْلِيْسَ ۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَ ۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 34).
Pada ayat di atas. Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Padahal, yang berhak diberi sujud hanya Allah Swt. Karena itu, al-Hallaj memahami kandungan ayat di atas bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan.
Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan la pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak.
Dia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy Diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Dan ejawantah bentuk copy tersebut adalah Nabi Adam. Dengan demikian, pada diri Adam-lah, Allah muncul.
Teori di atas tampak pada syairnya yang berbunyi: “Maha Suci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan makhluk-Nya dengan nyata. Dalam bentuk manusia a yang makan dan minum.”
Melalui syair di atas, al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri dan roh dan jasad, maka lahut tidak bisa bersatu dengan manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaan-Nya hilang, seperti yang terjadi pada diri Nabi Isa As.
Menurut al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, al-Hallaj mengatakan:
“Barangsiapa mengira bahwa ketahanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan atau pun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dalam syair lain, pemikiran al-Hallaj tentang hulul, kefanaan dalam Dzat Tuhan, serta kesatuan wujudnya dengan Tuhan adalah: “Akulah yang ingin dan Yang ingin adalah aku Kami adalah dua ruh yang tinggal di satu badan. Jika kamu melihat aku, berarti melihat-Nya Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu melihat kami.”
Dalam dua buah bait syair di atas, dia mengemukakan bahwa dua sisi jurang telah tergabung, yakni jurang yang tak berbatas dengan jurang yang berbatas (antara Allah dan manusia). Karena itu, al-Hallaj dalam doktrinnya yang paling dramatik mengatakan, Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia.
Melalui maqamat (stasiun-stasiun), manusia mampu sampai ke tingkat fana’, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan.
Dengan demikian, manusia memungkinkan untuk meng-hulul-kan Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral, yaitu ruh.
Sesuai dengan ajarannya tersebut, maka ketika ia mengatakan statemen “Aku adalah Kebenaran”, bukan berarti bahwa al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi Tuhan-lah yang “mengambil tempat” dalam dirinya. Artinya, Tuhan mengucapkan kata-kata melalui diri al-Hallaj sebagai mediasi profinistiknya.
Sementara itu, hulul-nya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana’. Fana’ bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa. Kedua, tingkat memfanakan semua pikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah Swt. Ketiga, tingkat menghilangkan kekuatan pikir dan kesadaran.
Dari tingkat fana’ tersebut dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan wujud manusia menjadi sadar ketuhanan melebur dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan yang tiada dalam kesadaran manusia akan eksistensi dirinya yang larut dalam fana’, kecuali kesadaran akan eksistensi Tuhan.
Karena Tuhan adalah Wahid, Ahad, Wahid, dan Muwahhad maka pada dasarnya tidak ada yang meng-Esa-kan Allah kecuali Allah sendiri. Selama mengaku kediriannya dalam meng-Esa-kan Allah itu, selama itu pula ia belum bertauhid dan masih berada dalam syirik khafi.
Oleh karena Tuhan “melebur” dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya, maka tauhid sang hamba yang dikehendaki itu adalah terhadap diri yang fana’ al-fana’ itu sendiri, di mana diri telah “berubah” kepada Dia, al-Haqq.
Membaca Teori Nur Muhammad Al-Hallaj
Salah satu teorinya yang lain adalah adanya fenomena Nur Muhammad. Al-Hallaj memandang Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain.
Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini. Dan daripadanya, terpancar segala macam ilmu dan pengetahuan yang gha’ib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil, sebagai manifestasi kesempurnaan pada manusia. Dari sini, al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri, melainkan kepada diri Nabi Isa As.
Bagi al-Hallaj, Isa adalah al-Syahid ala Wujudillah, tempat tajalli dan terwujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.
Dari sini jelas, bahwa hulul yang terjadi pada al-Hallaj tidaklah riil, karena masih memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dengan Tuhan.
Dengan demikian, hulul yang terjadi adalah sekedar kesadaran yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekedar terleburnya nasut ke dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan seperti dalam syairnya: “Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk.”
Demikian penjelasan terkait konsep hulul dan Wahdat asy-Syuhud Al-Hallaj, yang kompleks dalam tasawuf Islam. Semoga bermanfaat.Wallahu a’lam bisshawaab. [Baca juga: Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan Menurut Habib Ali Al-Jufri].
Referensi:
- Hamka. 1986. Tasawuf Perkembangannya dan Pemurniannya. Pustaka Panji Mas.
- Massignon, Louis. 2002. Al-Hallaj. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
- Syakur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Syakur, Amin. 1994. Rasionalisme dalam Tasawuf. Semarang: IAIN Walisongo.