Pemilu 2024 dan Potensi Matinya Akhlak

Pemilu 2024 dan Potensi Matinya Akhlak

Menghadapi Pemilu 2024 yang penuh dengan kontestasi yang sengit, masyarakat diharapkan tidak jatuh pada sikap dan pandangan yang berlebihan dalam mendukung kontestannya. Sikap berlebihan akan menghilangkan nalar sehat, tertutupnya hati dan matinya akhlak.

Demi terus membela pujaannya semuanya menjadi halal digunakan, bahkan empati simpati dan rasa kemanusiaan menjadi hilang. Demi mengungunggulkan pilihannya terkadang harus mengekspos kelemahan, kekurangan bahkan aib calon lain.

Jika demikian yang terjadi, pada hakikatnya, yang terjadi bukan pemilu membangun gagasan yang unggul dari kelompoknya, tetapi membangun isu agar menjatuhkan lawan politiknya. Tebar kebencian, hoaks, fitnah dan aib begitu gencang yang tidak memiliki subtansi apapun dalam kontestasi politik.

Lagi-lagi para elite belum mengajarkan cara berdemokrasi yang baik, santun dan cerdas. Seolah cerdas berarti menerobos sopan santun. Seolah strategi yang jitu berarti mengabaikan akhlak. Narasi yang dibangun adalah tentang merendahkan dan mencari kesalahan yang lain.

Memaknai Pemilu dalam Islam

Pesta demokrasi yang akan kita lalu sejatinya kita maknai dalam dua prinsip Islami. Pertama, sebagai instrument musyawarah rakyat. Perintah musyawarah adalah prinsip dalam menegakkan masyarakat dalam Islam.

Makna kedua, Pemilu harus dimaknai sebagai berlomba-lomba dalam kebaikan. Fastabiqul khairat adalah perlombaan antar kontestan dalam kebaikan. Karena pandangan yang dipilih adalah tujuan kebaikan, perbedaan dari masing-masing kontestan bukan untuk dicaci-maki dan drendahkan, apalagi cuma sibuk mencari kesalahan.

Pemilu adalah ajang politik lima tahunan yang niscaya dilaksanakan. Prinsip dasarnya adalah bagaimana membangun gagasan ke depan untuk Indonesia maju. Dan yakinlah yang terbaik akan muncul. Bukan berarti jika pilihanmu kalah, Indonesia bakal rusak dan hancur.

Hiasi Pesta Politik dengan Akhlak

Mari berlomba-lomba dalam kebaikan dengan semangat persaudaraan. Ambisi politik tidak boleh membutakan nalar dan hati, apalagi sampai mengikis akhlak dalam pergaulan. Narasi kebencian, fitnah, mencari-cari kesalahan dan apalagi membunuh karakter lawan bukan sikap politik yang berakhlak.

Apakah dalam berpolitik harus mengabaikan akhlak untuk bisa menang? Sungguh Islam telah mengajarkan dengan gamblang agar umatnya tidak jatuh dalam pra sangka buruk terus menerus yang tiada bukti. Dalam Qur an Allah telah berfirman : Wahai orang orang yang beriman Jauhilah banyak dari prasangka sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain (QS Al Hujurat 12).

Akhlak Islam tidak hanya memberikan panduan tentang sikap tindakan dan perkataan, tetapi juga menata pikiran Umat agar mempunyai pikiran positif kepada orang lain. Bedakan antara ingin mengatakan gagasan dengan hanya selalu mencari kesalahan dan berpikiran negatif.

Cara memiliki pikiran positif adalah dengan menjauhi pra sangka jelek dan suka mencari kesalahan orang lain. Saat ini apapun kita termakan dengan informasi yang bisa memupuk buruk sangka dan mencari-cari kesalahan orang lain. Buruk sangka adalah salah satu dosa dan hambatan sosial dalam kehidupan sehari hari.

Karena itulah prinsip akhlak Islam mengajarkan untuk menjauhi buruk sangka, selalu mencari kesalahan orang dan menggunjing. Pra sangka akan memutuskan tali silaturrahmi dan persaudaaan.

Mungkin ada baiknya kita merenungi sabda Rasulullah agar menjadi rambu-rambu dalam menjalani politik pemilu dengan nuansa akhlak : “Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah mencari-cari isu; janganlah mencari-cari kesalahan; janganlah saling bersaing; janganlah saling mendengki; janganlah saling memarahi; dan janganlah saling membelakangi (memusuhi). Akan tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara” (HR. Muslim, Hadits No. 4646).

ISLAMKAFFAH