Di dalam al Qur’an, Allah swt menyebutkan kata ulul albab sebanyak enam belas kali. Di Dalam surat al Baqarah sebanyak tiga kali, Ali Imron dua kali al Maidah satu kali, Yusuf satu kali, Ar Ra’du satu kali, Ibrahim satu kali, Shad dua kali, Az Zumar tiga kali, Ghafir satu kali dan at Thalak satu kali. Dari ke enam belas tersebut, kata ulul albab disandingkan dengan sifat-sifat yang berbeda.
Ulul albab secara harfiyah memiliki makna orang-orang yang berakal. Imam As Suyuti di dalam kitab tafsirnya menyebutkan:
يَعْنِيْ مَنْ كَانَ لَهُ لُبٌّ أَوْ عَقْلٌ
Artinya: “Orang yang memiliki kecerdasan atau akal fikiran”
Sebab itu, jika kita perhatikan ayat-ayat al Qur’an, kata ulul albab seringkali disandingkan dengan kata “addzikru” (berpikir). Misal pada surat al Baqarah:
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Dan tidak akan memahami kecuali orang-orang berpikir” (QS. Al Baqarah: 269)
Surat ar Ra’du ayat 19:
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Dan hanya orang-orang berpikir yang bisa memahaminya” (QS. Al Baqarah: 269)
Dari ayat-ayat ini, kita bisa mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ulul albab adalah manusia itu sendiri. Sebab hanya manusia yang diberi akal oleh Allah swt. Sehingga dengan akal tersebut, seseorang bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk. As Sudy ra menjelaskan:
عن السديّ ( أُولُو الألْبَابِ ) قَالَ: أُوْلُو الْعُقُوْلِ مِنَ النَّاسِ
Artinya: “Dari Sudi ra berkata, ulul albab yaitu orang-orang yang berakal”
Secara spesifik, At Thabari menjelaskan ulul albab hanya ada pada diri orang-orang yang beriman kepada Allah swt. Karena dengan akal fikirannya ia mampu menepati janji-janji Allah swt. Dijelaskan dalam kitab Jamiul Bayan:
هَذَا مِنْ صِفَةِ ذَوِي الْأَلْبَابِ، أَيْ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو الْأَلْبَابِ اَلْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ
Artinya: “Ini ada sifat-sifat ulul albab, artinya hanya orang-orang yang memiliki akal fikiran yang menepati janjinya kepada Allah swt”
Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah swt sebagaimana dijelaskan oleh Qatadah ra:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ (إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو الْأَلْبَابِ) فَبَيَّنَ مَنْ هُمْ، فَقَالَ (اَلَّذِيْنَ يُوْفُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ وَلَا يَنْقُضُوْنَ الْمِيْثَاقَ) فَعَلَيْكُمْ بِوَفَاءِ الْعَهْدِ، وَلَا تَنْقُضُوْا هَذَا الْمِيْثَاقَ
Artinya: “Dari Qatadah: “Hanyasaja ulul albab yang memahaminya, lalu Allah swt menjelaskan siapa mereka, yaitu orang-orang yang menepati janjinya dan tidak merusak perjanjiannya. Maka wajib atas kalian untuk menepati janji dan tidak merusak janji tersebut”
Kata ulul albab, sering juga diganti dengan “yatafakkarun” (orang-orang berfikir). Ini sebenarnya satu pemahaman dengan ulul albab, di mana hakikatnya berkaitan dengan “berfikir”. Ini dapat kita lihat dari penggunaan kata “yatafakkarun” di dalam al Qur’an disebutkan setelah Allah swt menjelaskan tanda-tanda ketuhanannya agar umat manusia dapat berpikir sehingga ia beriman. Seperti pada surat Yunus ayat 24:
كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Demikian kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berfikir” (QS. Yunus: 34)
Atau surat Ar Ra’d ayat 3:
{وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Ar Ra’d: 3)
Dengan demikian, kewajiban manusia sebagai ulil albab tidak cukup melaksanakan kewajiban-kewajiban dzohiriyah saja, tetapi setiap manusia dituntut untuk selalu berfikir agar mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hak dan mana yang batil. Karena berfikir adalah sifat utama dari manusia sehingga berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Dan itulah hakikat ulul albab.
Wallahu a’lam