Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya?

Tidak Mengenal Allah, Bagaimana Bisa Mencintai-Nya?

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Dua tujuan penciptaan manusia

Allah Ta’ala menciptakan kita tentulah ada tujuannya. Dan tujuan hidup kita itu disebutkan dalam dua ayat Al-Qur’an Al-Karim, yaitu:

Pertama, Ma’rifatullah

Hal ini agar kita mengenal siapa Rabb kita melalui nama dan sifat-Nya (QS. Ath-Thalaq: 12).

Kedua, ‘Ibadatullah semata (tauhid)

Hal ini agar kita bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar (QS.Adz-Dzariyat: 56).

Ini menunjukkan bahwa tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah untuk mengenal Allah dan beribadah serta taat kepada-Nya semata.

Definisi ma’rifatullah

Definisi ma’rifatullah adalah mengenal Allah dengan cara mengenal nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Macam ma’rifatullah

Ma’rifatullah (mengenal Allah) ada dua macam:

Ma’rifatullah secara global

Yaitu, mengenal Allah yang merupakan dasar iman; sehingga menyebabkan selamat dari kekufuran akbar dan kesyirikan akbar; sehingga terjaga kesahan iman. Ma’rifatullah jenis ini diketahui oleh kaum muslimin secara umum, bukan hanya diketahui oleh orang yang taat. Pelaku maksiat pun mengetahuinya.

Ma’rifatullah secara terperinci

Ma’rifatullah jenis ini biasanya hanya dipelajari oleh orang-orang yang benar-benar bersungguh-sunguh ingin mencintai Allah Ta’ala dengan sempurna. Mereka buktikan dengan berusaha mengenal Allah dengan terperinci. Yaitu, mempelajari nama, sifat, maupun perbuatan Allah berdasarkan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sehingga, ia membangun keyakinannya tentang Allah atas dasar dalil. Bahkan, dia mempelajari penjelasan ulama tentang dalil-dalil tersebut. Sehingga, ia mendapatkan kaidah ilmiah maupun faedah keimanan yang menambah takut, harap, dan cintanya kepada Allah Ta’ala.

Semua ini membuahkan ketakwaan yang meningkat sehingga bertambah baik keyakinan, ucapan, maupun perbuatannya, batin maupun zahir, bertambah baik akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya. Mudah untuk husnuzan, percaya yang kuat kepada Allah, tidak berputus asa dari rahmat Allah, tawakal hati hanya kepada Allah, merasakan kelezatan iman dan kemanisan ibadah kepada Allah semata, mengagungkan Allah dan syariat-Nya, serta rindu berjumpa dengan Allah.

Urgensi ma’rifatullah

Alasan pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah itu banyak, namun yang terpokok, yaitu:

Ma’rifatullah sebagai tujuan hidup kita

Hal ini karena kita diciptakan untuk mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata.

Ma’rifatullah sebagai bagian dari rukun iman pertama yang merupakan dasar seluruh rukun iman lainnya

Maksudnya ma’rifatullah itu bagian dari iman kepada Allah.

Ma’rifatullah adalah dasar peribadatan kepada Allah [1] semata

Ibadah kepada Allah semata adalah salah satu dari dua tujuan hidup kita. Dan kualitas ibadah kita dipengaruhi oleh seberapa besar kita mengenal Allah, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam setiap nama dan sifat-Nya yang kita kenal.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وأكمل الناس عبودية المتعبد بجميع الأسماء والصفات التي يطلع عليها البشر

“Manusia yang paling sempurna peribadatannya adalah orang yang beribadah [2] (kepada Allah semata) dengan melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah yang diketahui oleh manusia.”

Contoh melaksanakan tuntutan nama dan sifat Allah

Allah Ta’ala itu Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), mencintai orang-orang yang penyayang, maka jadilah orang yang penyayang. Hal ini dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Allah Ta’ala itu Asy-Syakur (Yang Maha Mensyukuri), mencintai orang-orang yang pandai bersyukur kepada-Nya. Maka, jadilah orang yang banyak bersyukur dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Allah Ta’ala itu Al-Karim (Yang Maha Pemurah), mencintai orang-orang yang dermawan. Maka, jadilah orang yang banyak bersedekah dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Allah Ta’ala itu Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Al-‘Afuwwu (Yang Maha Pemaaf), mencintai orang-orang yang suka memafkan, maka jadilah orang pemaaf.

Allah Ta’ala itu Ar-Rafiq (Yang Mahalembut), mencintai orang-orang yang lembut. Maka bersikap lembutlah dan jauhi sikap kasar, dalam rangka melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung dalam nama-Nya tersebut.

Pokok dari setiap ilmu adalah ma’rifatullah

Mengapa demikian? Karena jika kita tahu siapa Allah, niscaya kita akan tahu siapa selain-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu makhluk. (QS. Az-Zumar: 62)

Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Ar-Razzaq (Yang Maha Banyak Memberi Rezeki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah adalah yang diberi rezeki. (QS. Hud: 6)

Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu Al-Malik (Yang Maha Memiliki), niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu milik Allah. (QS. Al-Maidah: 17)

Barangsiapa yang mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah itu mengetahui, kaya, dan kekal, niscaya ia tahu bahwa selain Allah itu hakikatnya tidak mengetahui apa-apa (QS. Al-Baqarah: 216), fakir (QS. Fathir: 15), dan semua makhluk itu fana (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Ringkas kata:

“Barangsiapa yang mengetahui Allah, maka ia akan mengetahui hakikat diri hamba itu sendiri. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui Allah, maka ia akan tidak mengetahui hakikat dirinya. Dan barangsiapa yang melupakan Allah, maka ia akan melupakan hamba itu sendiri. Lupa apa yang bermanfaat bagi dirinya, sehingga ia justru melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, namun ia sangka bermanfaat bagi dirinya.”

Di antara alasan lain pentingnya kita mempelajari ma’rifatullah, yaitu: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, asas perbaikan hati dan lahiriah, dan masih banyak alasan lainnya.

Buah ma’rifatullah

Di antara buah ma’rifatullah adalah mengesakan Allah (tauhidullah), karena dari mengenal nama dan sifat Allah, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Esa dalam kekhususan ketuhanan-Nya.

Di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan, berupa nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid Nama dan Sifat).

Definisi tauhid nama dan sifat

Tauhid nama dan sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah (husna) dan sifat-sifat-Nya yang termulia (ulya)*, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah**, dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya***”

Penjelasannya:

* Mengesakan Allah

Meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah itu Maha Esa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia.

Ciri khas nama Allah adalah “Husna(terindah), yaitu tidak ada nama yang sama, apalagi lebih indah dari nama-Nya, karena nama-Nya mengandung sifat termulia.

Ciri khas sifat Allah adalah “’Ulya(termulia). Yaitu, paling sempurna. Tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya, karena seluruh sifat-Nya Mahasempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun.

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “tauqifiyyah”. Yaitu, harus ada dalilnya dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, baik dalam itsbat/penetapan maupun nafi/peniadaan. Maka, tidak boleh kita menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung nama Allah dan sifat-Nya

Contoh:

Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Maha Mendengar). Maka, berdasarkan definisi Tauhid Nama dan Sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan baik jika meyakini:

Pertama: Penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar).

Kedua: Penetapan makna (sifat) yang terkandung dalam nama-Nya tersebut. Yaitu, sifat Allah السمع (Mendengar), karena setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya, bukan hanya sekedar nama.

Ketiga: Penetapan konsekuensi hukum. Yaitu, Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan.

Dan penetapan pengaruh dan tuntutannya atas seorang hamba, yaitu wajibnya khasyah (takut kepada Allah yang didasari ilmu), muraqabah (yakin diawasi oleh Allah), dan haya` (malu) kepada Allah Ta’ala.

Dan setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya. Beriman terhadap makna, konsekuensi hukum, dan pengaruh (tuntutan) yang dikandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Seperti inilah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Cara beribadah dengan Asma’ul Husna

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا

“Dan hanya milik Allahlah Asma’ul-husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”  (QS. Al-A’raf: 180).

Dalam ayat ini, Allah menyeru hamba-hamba-Nya kepada ma’rifatullah, mengenal-Nya, dengan meyakini keberadaan-Nya, mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, memuji-Nya dengan nama dan sifat-Nya, serta berdoa dengan menyebut nama-Nya dan beribadah melaksanakan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya.

Jadi, makna firman-Nya:

فَادْعُوْهُ بِهَا

Maka, berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang husna.”.

Doa dalam ayat ini mencakup tiga macam doa [3]:

Pertama, doa mas’alah (doa permintaan), contohnya: “Ya Razzaqu, (Yang Maha Banyak Memberi rezeki) berilah aku rezeki.”

Kedua, doa tsana’ (doa pujian) [4], contohnya: “Subhanallah (Mahasuci Allah).”

Ketiga, doa ta’abbud (doa beribadah) [5], contohnya: rukuk, sujud, dan lain-lain.

Dalam hadis Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن لله تسعة وتسعين اسمًا، مائة إلا واحدًا، من أحصاها دخل الجنة

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama (seratus kurang satu). Barangsiapa yang meng-ihsha’-nya, maka dia masuk surga.”

Ihsha’ adalah menghafal lafaz 99 asmaul husna, memahami maknanya dan indikasinya, serta mengamalkan tuntutan dan hukum-hukumnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/90177-tidak-mengenal-allah-bagaimana-bisa-mencintai-nya.html