Islam Tak Kekurangan Figur Pemimpin Hebat

Islam Tak Kekurangan Figur Pemimpin Hebat

Islam tak pernah kekurangan model pemimpin hebat. Kehebatannya tidak dibentuk karena hasil polling, tapi dari kuatnya mental, tegarnya iman, dan karakternya yang adil  

Oleh: Kholili Hasib

DALAM  sejarah Islam, terdapat model terbaik pemimpin negara. Terbaik sedunia di masa itu. Mereka disebut “Khulafa ar-Rasyidin”. Artinya para Khalifah yang mendapatkan petunjuk Allah Swt.

Kebaikan karakter kepemimpinan mereka sudah sangat terlihat sebelum dipilih. Simak kisah Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar.

Sayidina Abubakar As-Shiddiq radhiallahu ‘anhu — Khalifah Pertama — dalam pidato pertamanya saat diresmikan menjadi Khalifah, dia tak terlihat bergembira dan apalagi berpesta riang gembira. Berikut ini petikan sebagian pidatonya:

“Saudara-saudara, saya telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena saya yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika saya berbuat baik bantulah saya dan jika saya berbuat salah luruskanlah.”

“Patuhlah kalian kepada saya selama saya mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika saya durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhi saya. Kini, marilah kita menunaikan shalat, semoga Allah melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita.”

Lalu ketika sayidina Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dilantik menjadi khalifah. Saat itu dia justru menangis. Orang-orang-pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis dengan jabatan ini?”

“Saya ini tegas, banyak orang yang takut pada saya. Kalau saya nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan,” tanya Umar radhiallahu ‘anhu.

Lalu, seorang Arab Badui dengan pedang terhunus berkata; “Saya yang akan mengingatkan Anda dengan pedang ini.” “Alhamdulillah,” jawab Umar radhiallahu ‘anhu.

Lihatlah sikap kedua Khalifah di atas. Abu Bakar tidak sombong, arogan dan tidak ambisius saat akan dipilih dan setelah terpilih.

Ia mengatakan “Jika saya berbuat salah luruskanlah”. Abu Bakar siap menerima masukan. Membuka pintu untuk nasihat.

Ia tidak menutup telinga dan tidak salah keluarkan kata-kata. Beliau bertutur lembut, sopan tapi tegas.

Ia juga dikenal tidak bicara kasar, emosional dan apalagi tidak pernah mencontohkan bicara kotor, arogan, dan tidak dusta. Ia sepenuhnya sadar, pemimpin itu teladan bagi rakyatnya.

Abu Bakar tidak hanya pintar dan cerdas. Tetapi jujur dan tawadhu’. Setiap berorasi selalu menyentuh hati.

Ketika berkhutbah selalu mengandug uswah. Tidak hanya piawai berpidato, tetapi bijak dalam bertindak. Abu Bakar selalu tepat dalam memutuskan kebjakan.

Tidak merugikan kaya dan tidak mengecewakan orang miskin. Ini karakter pemimpin cerdas dan adil.

Umar bin Khattab justru bersyukur jika ada yang mengingatkan ketika salah. Justru ia khawatir jika tidak ada orang yang berani mengingatkan.

Beliau merupakan tipikal pemimpin paling tegas di antara empat Khalifah. Namun, ia tawadhu’—siap akui salah jika memang salah.

Bukan mencari alibi atau sombongkan diri. Pantas saja ia dicintai rakyatnya dan disegani Romawi (musuhnya).

Seorang pemimpin dengan model seperti sayidina Umar bin Khattab itu adalah memiliki kecerdasan karakter internal.

Di antara karaktaenya adalah;

Berani tetapi tidak gegabah, tegas tapi tidak congkak, iffah (menjaga diri) dan tawadhu’.

Satu lagi model kepemimpinan Umar. Beliau dikenal sederhana.

Utusan Raja Romawi pernah terheran-heran dengan penampilan baju Khalifah Umar. Heran karena seperti baju yang dikenakan mirip baju rakyat. Tetapi wibawanya menyamai Raja Romawi.

Tidak ada pemimpin kerajaan-kerajaan besar dunia; Romawi dan Persia yang menyamai kehebatan dua Khalifah ini.

Dua khalifah memang diseleksi oleh orang-orang terbaik. Yaitu sahabat Nabi. Wajar akhirnya yang terpilih adalah orang-orang terbaik.

Oleh karena itu Khalifah itu juga seorang imam. Ilmunya terdepan, akhlaknya terdepan, wibawanya terdepan dan kecerdasannya paling depan. Imam diikuti dan rakyat adalah makmum.

Dua khalifah tersebut dicintai seluruh rakyatnya. Bahkan, musuh-musuhnya hampir tidak berkenan menghinanya.

Apa yang mau dibully? Para musuhnya malah terkagum.

Inilah tanda pemimpin yang hebat dan adil. Dicintai rakyat dan disegani musuh.

Pemimpin harus memiliki beberapa syarat. Di antaranya; seorang yang mampu berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari kerusakan dan kejahatan, dan tidak dzalim (tirani).

Kehebatan kepemimpinan bukan dari besarnya hasil polling, tapi dari kuatnya mental, tegarnya iman, kecerdasan karakter internal dan kejujurannya. Seperti apa karakter pemimpin yang adil dan hebat itu?

Pemimpin yang baik itu pekerja bukan sekedar penguasa. Pemimpin yang hebat adalah bukan sekedar penguasa tetapi pelindung.

Menguasai daerah dan melindungi rakyat dari ancaman. Melindungi agama dan keyakinan rakyat.

Ia menolong dunia dan akhirat rakyatnya. Rakyat bukan hanya dikenyangkan dengan sarapan dan susu tetapi dicerdaskan akalnya dan diselamatkan imannya.

Mereka juga memberi makan akal dan hatinya dengan ilmu dan iman.

Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat bagi seorang pemimpin, Imam al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah sunnah.

Apa kebutuhan pendidikan rakyat ini?: Visinya harus jelas,  kebutuhan ibadahnya terpenuhi.  

Oleh sebab itu, seseorang pemimpin negara harus mampu memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebelum memimpin orang lain.

Bagaimana pemimpin mampu memimpin dirinya? Yakni kemampuan memimpin jiwa, akal dan hawa nafsunya.

Jika seorang memiliki ilmu dan terhias dengan adab, maka dia akan mampu mengontrol secara rasional kehendak nafsu dalam dirinya itu. Inilah yang dinamakan kepemimpinan bersifat multidimensional. Cerdas akal, cerdas hati dan cerdas perilaku.

Pemimpin wajib mengetahui hakikat kekuasaan dan menghindari sifat takabbur. Biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur.

Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan.

Maka, mencoba bercita-cita jadi pemimpin jika belum terdidik mental dan hatinya. Menjadi pemimpin bukan sekedar bermodal uang, trak keturunan dan bisnis. Jika tidak, pasti tergelincir. Dimusuhi rakyat dan dimurkai Allah.

Mari teladani khalifah ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu misalnya, setiap malam beliau berkeliling kota Madinah untuk memastikan rakyatnya dalam kondisi aman dan terpenuhi kebutuhannya.

Di zaman Kekhalifahan Bani Umayyah, kita kenal Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang kaya dan berilmu. Bahkan beliau termasuk kategori ulama, pengagumnya sangat banyak.

Namun, ia tidak sombong karena faham hakikat kekuasaan itu titipan Allah, bukan untuk kesombongan. Ia sederhana. Kelewat hati-hati dalam menjaga supaya ia ’bersih’.

Suatu hari salah satu kerabatnya memberi hadiah buah apel, namun beliau menolak secara halus – meskipun di hari itu ia betul-betul sangat menginginkan untuk mencicipi buah apel.

Beliau menolak hadiah tersebut karena khawatir hal itu menjadi risywah (suap), padahal kerabat beliau tidak bermaksud memberi suap.

Pemimpin hebat itu berasal dari rakyat-rakyat yang hebat yang memilihnya. Kita perlu pemimpin yang memiliki visi dan misi pendidikan yang kuat dan jelas.

Sarapan dan susu penting. Tetapi gizi otak dan hati lebih penting lagi. Apa visi dan misi pendidikan untuk menuju Indonesia emas? Kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dulu.

Itulah karakter dan mental pemimpin yang yang hebat. Kita tidak pernah kekurangan teladan hebat.

Persoalannya sekarang, berminatkan pemimpin kita hari ini menjadikan mereka sebagai teladan dan model? Dari segi kekuasaan, mereka sukses. Maka layak ditiru mentalnya oleh pemimpin kita.*

Penulis pengajar di Darullughah Wadda’wah Bangil, Pasuruan  

HIDAYATULLAH