Seputar Anekdot Tidak Lagi Membaca Amin

Seputar Anekdot Tidak Lagi Membaca Amin

Salah satu anekdot di tengah hingar bingar kampanye Pemilu (pemilihan umum) 2024 ialah tentang orang-orang yang tidak lagi membaca amin di tengah shalat dan di penghujung setiap doa, atau membaca amin dengan suara pelan (sir).

Pilihan itu, katanya, dilakukan agar tidak terindikasi memihak kepada pasangan calon yang menggunakan “amin” sebagai akronim dalam jargon kampanye mereka. Yang disembunyikan dari cerita itu; apakah ia sebatas anekdot atau memang kasus nyata?

Terlepas dari nyata atau rekaan, bagaimanapun, cerita itu berhasil membuat pecah tawa pendengar. Setidaknya begitu ekspresi yang saya tangkap setelah menonton potongan video viral dari Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat dan Zulkifli Hasan ketika masing-masing melontarkan anekdot tentang “amin” di depan khalayak. Meskipun ketiga tokoh itu menuturkan cerita yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi, tetapi yang viral dan “disebut-sebut” menista agama hanya Zulkifli Hasan.

Terlepas dari anekdot yang tengah dipandang miring itu, saya tertarik mengulas tentang bagaimana keistimewaan bacaan amin dalam shalat? Bagaimana pandangan ulama tentang cara membaca amin dalam shalat? Apa keistimewaan bacaan amin di luar shalat? Apa makna amin dan bagaimana cara melafalkannya?

Keistimewaan Bacaan Amin Shalat

Setidaknya ada dua keistimewaan bacaan amin dalam shalat. Pertama; ulama mengutip bahwa membaca amin dalam shalat merupakan salah satu keunggulan umat Islam. Keunggulan itu, dikatakan, menjadi salah satu penyebab orang-orang Yahudi iri kepada umat Islam. Pandangan ini berdasarkan hadis yang diterima dari Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah ra., beliau mengatakan:

حسدنا اليهود على القبلة التي هدينا إليها وضلوا عنها وعلى الجمعة وعلى قولنا خلف الإمام آمين

“Orang Yahudi iri kepada kita (umat Islam) disebabkan kiblat yang diberikan kepada kita dan mereka kehilangannya, disebabkan Jum’at, dan disebabkan bacaan amin yang kita baca di belakang imam”. (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad) (Lihat Khatib Syirbini, Syarh al-Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar el-Marefah, 1418 H/1997 M] cetakan pertama, juz I, halaman 247)

Kedua; keistimewaan bacaan amin dalam shalat adalah sebagai ibadah penghapus dosa. Keistimewaan ini masyhur dalam perbincangan terkait membaca amin setelah surat al-Fatihah. Dasarnya ialah hadis yang diterima dari Sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا قال أحدكم في الصلاة آمين والملائكة في السماء آمين فوافق إحداهما الأخرى غفر له ما تقدم من ذنبه 

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda; apabila salah seorang kamu membaca amin dalam shalat, lalu malaikat di langit (yang ikut shalat dengan orang itu) juga membaca amin, dan bertepatan amin orang itu dengan amin malaikat, maka diampuni seluruh dosa-dosanya di masa lalu”. (Hadis Muttafaq ‘Alaih) (Lihat Syekh Nur al-Din al-‘Itr, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram, [Damaskus: Dar al-Yamamah, 1999 M] cetakan ke tujuh, juz I, halaman 509)

Berlatar kepada kedua keistimewaan itu, pilihan untuk tidak lagi membaca amin dalam salat untuk alasan politis terlalu naif. Di samping membaca amin dalam shalat telah menjadi kebiasaan, apalagi bagi masyarakat muslim di Indonesia. Mempertimbangkan hal terakhir ini, agaknya cerita dalam anekdot itu kehilangan latar faktualnya.

Cara Membaca Amin

Adapun cara membaca amin dalam shalat terdapat perbedaan pendapat para ulama. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali sepakat tentang cara membaca amin ialah sehabis membaca surat al-Fatihah dengan suara nyaring. Kesunahan itu berlaku bagi setiap orang yang mendirikan shalat jahar (dengan suara nyaring), baik imam, makmum, atau munfarid (orang shalat sendiri).

Sebaliknya ketika seseorang mendirikan shalat sir (dengan suara pelan), dia sunat pula membaca amin dengan suara sir (pelan). (Lihat Syekh Nur al-Din al-‘Itr, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram, [Damaskus: Dar al-Yamamah, 1999 M] cetakan ketujuh, juz I, halaman 509)

Diantara dasar hukumnya adalah hadis yang diterima dari Sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من قراءة القرآن رفع صوته وقال آمين

“Rasulullah Saw. apabila selesai membaca al-Fatihah meninggikan suara beliau, lalu membaca amin”. (H.R. Dar al-Quthni dan al-Hakim)

Sementara ulama Mazhab Hanafi berpandangan; cara membaca amin dalam seluruh salat ialah dengan suara pelan setelah membaca surat al-Fatihah. Diantara dasarnya ialah hadis yang diterima dari Sahabat Wail bin Hujr ra. melalui jalur Syu’bah. Lafaz hadisnya begini:

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ غير المغضوب عليهم ولا الضالين فقال آمين وأخفى بها صوته 

“Saya mendengar Rasulullah Saw. membaca “ghari al-Maghdubi ‘alaihim wa la al-dhallin” lalu beliau membaca “amin” dengan suara pelan”. (H.R. Ahmad, Dar al-Quthni, Abu Ya’la dan lain-lain)

Jadi untuk persoalan membaca amin dalam shalat, para ulama sepakat sunat hukum membacanya. Sementara tentang tatacaranya; nyaring atau pelan, para ulama berbeda pendapat. Dasar perbedaan ini adalah perbedaan riwayat tentang tatacara salat Rasulullah Saw. 

Dengan demikian, meskipun ada ulama yang berpandangan amin dibaca dengan suara pelan (sir), dapat dipastikan bahwa dasarnya jauh dari fanatisme politik musiman. Dasar penting bagi para ulama dalam merinci perbuatan dan perkataan dalam shalat adalah sifat shalat Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat seputar perbuatan shalat didasarkan pada perbedaan riwayat tentang sifat shalat Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda:

صلوا كما رأيتمني أصلي 

“Salatlah sebagaimana kalian melihat (tatacara) shalat”. (H.R. Bukhari, Baihaqi, Ibnu Hiban dan lain-lain).

Keistimewaan Membaca Amin di Luar Shalat

Berikutnya berkenaan dengan bacaan amin di luar shalat ada dua hal yang patut diperhatikan. Pertama; membaca amin setelah membaca al-Fatihah di luar shalat. Para ulama mengatakan hukumnya sunat. (Khatib Syirbini, Syarh al-Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar el-Marefah, 1418 H/1997 M] cetakan pertama, juz I, halaman 247)

Kedua; amin merupakan penutup ucapan yang mengandung doa dan salah satu penyebab doa dikabulkan. Hal ini berdasarkan kisah Abu Zuhair ra. bersama Rasulullah Saw. Dalam sebuah riwayat beliau mengisahkan:

قال أبو زهير خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فاتينا على رجل قد الح في المسئلة فوقف النبي صلى الله عليه وسلم يستمع منه فقال النبي صلى الله عليه وسلم أوجب إن ختم فقال رجل من من القوم باي شيئ يختم؟ قال بآمين فإنه إن ختم بآمين فقد أوجب فانصرف الرجل الذي سأل النبي صلى الله عليه وسلم فاتى الرجل فقال اختم يافلان بآمين وأبشر

”Abu Zuhair bercerita, “Suatu malam, kami keluar bersama Rasulullah Saw. Lalu, kami melihat seseorang yang sedang bersungguh-sungguh dalam doanya. Nabi Muhammad Saw. kemudian menghentikan langkah dan berkata, ‘Doanya akan dikabulkan jika dia menutupnya’.

Seseorang kemudian bertanya kepada Nabi Muhammad, ‘Dengan apa ia menutupnya?’. Nabi Muhammad menjawab, ‘Dengan amin, karena jika ia menutupnya dengan amin, maka doanya akan dikabulkan’. Orang yang bertanya tersebut segera pergi dan menemui orang yang bersungguh-sungguh dalam doanya tadi sembari berkata, ‘Wahai Fulan, tutuplah doamu dengan amin dan bergembiralah’ (H.R. Abu Dawud, nomor 938)

Sesuai makna hadits ini, kalau ada orang memiliki hajat tertentu, tetapi malah tidak lagi membaca lafaz amin dalam doa-doanya, berarti dia sedang memperlebar kemungkinan untuk tidak terwujudnya harapan itu.

Makna Bacaan Amin dan Cara Melafalkannya

Terakhir, lafadz amin, menurut pendapat yang masyhur, merupakan isim fiil amar. Maknanya secara umum adalah doa memohon perkenankan (اسنجب \ دعاء الاستجابة) kepada Allah Swt. Tentang cara mengucapkan lafaz amin, ulama merincinya kepada lima macam:

  • Aaamiin (آمين) dengan memanjangkan (mad) hamzah dan mim tanpa tasydid. 
  • Eeemiin (آمين) dengan memanjangkan hamzah serta imalah (memiringkan bacaan fathah ke kasrah) dan mim tanpa tasydid.
  • Amiin (أمين) dengan tanpa memanjangkan hamzah dan mim tanpa tasydid
  • Aaammiin (آمّين) dengan memanjangkan hamzah dan mim bertasydid
  • Ammiin (أمّين) dengan tidak memanjangkan hamzah dan mim bertasydid (Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh Ibn al-Qasim al-Gazi, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1420 H/1999 M] cetakan kedua, juz I, halaman 323)

Berdasarkan semua lafaz amin ini, tidak ada pelafalan yang sama persis dengan akronim salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Apalagi dari segi kandungan makna lafadz, sama sekali tidak ada kemiripan.

Meskipun pasangan calon yang disentil itu, bahkan semua pasangan calon, memang berharap Allah ta’ala memperkenankan tujuan mereka untuk menjadi presiden dan wakil presiden, sesuai makna lafaz amin. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH