Menggadaikan tanah sengketa dalam Islam adalah masalah kompleks yang melibatkan hukum kepemilikan dan transaksi keuangan, ditambah dengan unsur ketidakpastian. Nah berikut penjelasan terkait apakah boleh menggadaikan tanah sengketa?
Salah satu praktik muamalah yang kerap dilakukan umat muslim Indonesia adalah akad gadai. Akad gadai menjadi alternatif yang tepat dan cepat dalam memperoleh pinjaman karena nyaris tidak ada seorang pun yang berkenan meminjamkan uang secara cuma-cuma. Seseorang baru rela memberikan pinjaman, kalau ada jaminan atas pinjaman yang diberikannya.
Namun yang terjadi belakangan ini, ada sebagian orang yang menjadikan tanah sengketa sebagai jaminan atas uang yang dipinjamnya. Padahal kepemilikan tanah sengketa masih diperselisihkan. Lantas bagaimana hukum menggadaikan tanah sengketa?
Pada dasarnya melakukan akad gadai sebagai jaminan atas suatu pinjaman adalah boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.;
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” [Al- Baqarah/2:283].
Kanjeng nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam pun pernah mempraktikkan akad gadai. Dalam hadis riwayat Sayyidah Aisyah dikatakan;
عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“…bahwasanya kanjeng nabi Saw. membeli dari seorang Yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya.” [HR. Bukhari]
Hukum menggadaikan Tanah Sengketa
Para ulama sepakat bahwa barang yang digadaikan harus memenuhi persyaratan yang ada pada mabi’ (barang yang dijual). Tujuannya agar supaya barang yang digadaikan tersebut nantinya dapat dijual untuk melunasi pinjaman pihak penggadai andai tidak sanggup melunasi pinjaman.
Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah al-Zuhailiy dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu;
اتفق الفقهاء على أنه يشترط في المرهون ما يشترط في المبيع حتى يمكن بيعه، لاستيفاء الدين منه
“Para ulama ahli fikih sepakat bahwa barang yang digadaikan harus memenuhi persyaratan yang ada dalam mabi’ (barang yang dijual), sehingga barang gadai tersebut nantinya bisa dijual untuk melunasi hutang pihak penggadai andai pihak penggadai (rahin) tidak sanggup melunasi hutangnya (pada saat jatuh tempo).”
Itu artinya syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu barang yang dijual (mabi’) harus terpenuhi juga pada barang yang hendak digadaikan (marhun). Jika tidak, maka akad gadai yang dilakukan hukumnya tidak sah.
Berkenaan dengan syarat-syarat mabi’ yang harus dipenuhi, Syekh Zainuddin Al-Malibariy, dalam kitab Fath Mu’in, menandaskan;
وشرط في معقود عليه مثمنا كان أو ثمنا ملك له أي للعاقد عليه… الى ان قال … ويشترط أيضا قدرة تسليمه
Artinya; “Ma’qud alaih yakni alat pembayaran dan barang yang diperjual-belikan harus dimiliki oleh yang bersangkutan. Selain itu ma’qud alaih harus juga mampu untuk diserahkan.”
Sementara dalam kasus tanah sengketa, tanah tersebut masih diperselisihkan kepemilikannya. Tanah sengketa masih tidak diketahui siapa pemiliknya. Dengan kata lain tanah tersebut secara dzahir tidak dimiliki oleh siapa pun. Oleh karenanya sebelum dibuktikan dengan pasti hak kepemilikan atas tanah tersebut, maka akad gadai atas tanah tersebut hukumnya tidak sah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak boleh menggadaikan tanah sengketa sebelum kepemilikannya diketahui dengan jelas berdasarkan bukti-bukti yang diakui oleh syariat.
Demikian jawaban atas pertanyaan apakah boleh menggadaikan tanah sengketa?, Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.