Memahami Islam dan Fitrah Manusia

Memahami Islam dan Fitrah Manusia

Sebenarnya, kata fitrah dalam pembahasan ini mempunyai hubungan arti dengan kata yang terdapat pada: “Hari Raya Fitrah” dan “Zakat Fitrah”. Arti fitrah itu adalah watak hakiki dan asli dari tiap-tiap manusia. Dengan demikian, maka pembahasan Islam dan fitrah manusia adalah untuk memberikan keterangan yang pasti tentang kepercayaan asli manusia dalam sejarahnya.

Lalu, apakah manusia itu lahir atau titik-tolak sejarahnya dari jiwa monoteisme ke politeisme atau sebaliknya, yaitu dari jiwa politeisme ke monoteisme? Atau manusia itu lahir dari ateisme ke teisme?

Persoalan ini perlu sekali mendapatkan penjelasan dan ketegasan, baik secara ilmu maupun secara agama, guna menjernihkan kesimpangsiuran anggapan orang-orang terhadap kepercayaan dasar manusia. Karena persoalan kepercayaan adalah hak milik agama, maka sekaligus akan menyingkapkan hakikat agama itu, apakah ia tumbuh dari monoteisme ke bukan monoteisme atau sebaliknya.

Perdebatan agama-agama 

Syahdan. Dalam lapangan Ilmu Pengetahuan Agama, kita akan menemukan persoalan ini dalam beberapa aliran. Bahwa, dari aliran-aliran itu adalah evolusionisme berkata: agama timbul dari bukan monoteisme menuju ke kesempurnaan adalah monoteisme.

Monoteisme adalah bentuk terakhir dan sempurna daripada kepercayaan dan agama umat manusia. Demikianlah, maka Max Muller berpendapat bahwa asal usul agama itu ialah penyembahan alam yang henoteistik nurun menjadi politeisme turun lagi ke fetishisme, lalu meningkat ke bentuk panteisme atau teisme.

Rupanya, E.B. Tylor, diikuti oleh Andrew Lang mengkritik teori Max Muller itu. Tylor berpendapat bahwa asal-usul kepercayaan itu ialah animisme. Hipotesa evolusionisme ini disambut oleh Herbert Spencer. Kemudian kiranya hipotesa ini demikian merata, bukan hanya di kalangan penulis-penulis yang dalam peninjauan asal-usul agama dalam segi kepercayaan.

Tetapi, hingga penulis-penulis Kristen pun mempunyai anggapan tentang benarnya teori evolusionisme itu. Akhirnya, orang mendapat asal-usul agama adalah paralel, kalau tidak terpengaruh oleh teori Darwin. Binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia dengan segala macam gejalanya diselidiki dengan kunci evolusionisme.

Akan tetapi, kemudian muncul suatu aliran yang menggembirakan, yaitu aliran oermonotheisme (monoteisme asli). Aliran ini berpendapat bahwa agama tidak melalui evolusi dari bertuhan banyak menjadi bertuhan satu, tetapi agama sejak dari dulu adalah monoteisme dan bertuhan satu. Penulis modern yang pertama-tama menekankan akan adanya monoteisme di kalangan masyarakat primitif adalah Andrew Lang.

Dengan lahirnya aliran baru ini yang berdasar atas penelitian ilmiah, maka berangsur-angsur gelombang evolusionisme menjadi reda, dan tampillah ke depan sarjana-sarjana agama, terutama di Eropa Barat, yang menolak hipotesa evolusionisme sebagai kunci untuk memahami sejarah agama. Di antara sarjana-sarjana yang terkemuka tercatat nama Wilhem Schemidt (1868).

Dalam penyelidikannya yang mendalam, dia kemudian mengambil kesimpulan bahwa ide Tuhan tidaklah datang dengan evolusi. Tetapi dengan revelation (wahyu). Kesimpulan ini diambilnya setelah menyelidiki pelbagai macam kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat primitif. 

Ternyata, dalam penyelidikannya, dia mendapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif itu ialah monoteisme, dan monoteisme ini tidak lain karena ajaran wahyu dari Tuhan. Penyelidikan tersebut adalah jauh dari sandaran pasal-pasal dalam Bible, tetapi semata-mata suatu pembahasan dalam arena ilmiah.

Alasan-alasannya itu disandarkan kepada data-data yang dikumpulkan oleh berpuluh-puluh penyelidik dan sarjana yang mengalami hidup bersama-sama dengan masyarakat primitif. Penyelidikan Wilhem Schemidt terhadap masyarakat primitif itu adalah demikian luas dan merata, yang meliputi pelbagai macam golongan dan suku.

Dari penyelidikannya yang intensif itu, dia mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang adanya Tuhan Maha Agung dan Esa adalah bentuk yang tertua yang ada sebelum ada elemen-elemen yang lain, seperti naturisme, fetishisme, penyembahan setan, animisme, totemisme atau magisme, elemen-elemen yang dipergunakan oleh orang aliran evolusioner dalam teorinya tentang asal-usul agama. Kemudian pendapat W. Schemidt ini mendapat dukungan yang luas sekali dari sarjana-sarjana di Barat.

Maka, uraian yang dikemukakan di atas itu adalah bukti ilmiah dari kebenaran akidah dan ajaran Islam. Empat belas abad yang lalu, Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kepada manusia bahwa kepercayaan dasar manusia adalah monothisme yang diistilahkan oleh Islamologi dengan Tauhid. Akidah tauhid itulah yang menjadi fitrah manusia. Maka risalah Nabi ialah memperbaiki dan meluruskan penyelewengan-penyelewengan manusia dalam akidah itu agar kehidupan manusia tetap serasi dengan fitrahnya.

Jadi menurut Islam, kepercayaan asli manusia adalah tauhid. Ajaran tauhidullah yang menjadi akidah manusia pertama (Adam As.) yang diterimanya dari Allah mulai saat penciptaannya, dan akidah itulah yang diajarkan kemudian kepada anak cucunya. Kemudian, di antara anak cucunya itu ada yang menyimpang dari ajaran tauhid sehingga timbul keonaran dan kemaksiatan.

Maka, akhirnya Allah mengutus Rasul lagi untuk mengembalikan lagi kepercayaan manusia pada tauhid, di samping membawa syari’ah sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengatur hidup dan kehidupannya. Setelah masa Rasul itu berlalu, terjadi pula penyimpangan pada umatnya. Maka Allah mengutus lagi seorang Rasul untuk memperbaiki kepercayaan dan kehidupan manusia. Demikianlah seterusnya, Rasul diutus satu sesudah yang lain untuk memberi peringatan dan petunjuk, hingga sampai kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai Nabi dan Rasul. Allah Swt. berfirman:

كَانَ النَّا سُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَـقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَـقِّ بِاِذْنِهٖ ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Artinya: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Manusia adalah satu kesatuan 

Kedua ayat tadi menegaskan bahwa manusia itu merupakan satu kesatuan umat dan akidah, berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Kemudian dari kedua manusia itu berkembang menimbulkan bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah. Adanya bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa itu bukan untuk saling bermusuhan, tetapi untuk kenal-mengenal dengan baik. Pertentangan dan permusuhan terjadi karena manusia telah tidak sadar akan asal kejadiannya, lupa akan kesatuan kemanusiaannya dan menyeleweng dari petunjuk-petunjuk Allah. Mereka telah menyimpang dari kesetiaan akidah, yaitu akidah tauhid.

Bahwa Tauhid adalah keyakinan akan keesaan Allah, Maha Pencipta dan Maha Agung, tidak ada Tuhan melainkan Dia, yaitu Allah Swt. Akidah tauhid bukan hasil evolusioner, tetapi ia adalah fitrah manusia sendiri. Selain dalil dari manusia pertama, Adam dan Hawa; dalil lainnya karena al-Qur’an menerangkan bahwa sesungguhnya manusia telah bertauhid sejak ia di alam arwah. Allah Swt. berfirman:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْۤ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰۤى اَنْفُسِهِمْ ۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۗ قَالُوْا بَلٰى  ۛ  شَهِدْنَا  ۛ  اَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَ 

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al-A’raf [7]: 172).

Dengan demikian, betapapun ateisnya atau musyriknya seseorang misalnya, dia adalah seorang bertauhid asalnya, karena berdasar ikrar rohnya dahulu kepada Allah. Kalau sekarang ia menyatakan dirinya ateis atau musyrik, semata-mata adalah pengkhianatan dan pelanggaran ikrar yang telah pernah diucapkannya di hadapan Allah Swt. Karena itu pula dia berhak menerima azab dan siksaan dari Allah atas perbuatannya itu.

Maka sebelum hukuman Allah datang, baik di dunia maupun di akhirat nanti, akidah yang telah rusak itu harus segera diluruskan ke jalan tauhid yang benar, agar dia tetap berkekalan dengan fitrahnya. Mengembalikan atau meluruskan akidah tauhid manusia sebagai fitrahnya, itulah yang menjadi inti dakwah, tugas fardhu ain bagi tiap-tiap muslim.

Tauhid sebagai fitrah manusia 

Tauhid sebagai fitrah manusia berarti bahwa naluriah manusia adalah makhluk yang selalu cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Dhamir (hati nuraninya) selalu mendendangkan dan merindukan kebenaran, dan kebenaran itu tidak akan didapat melainkan dengan Allah Swt. sebagai kebenaran mutlak dan terakhir.

Al-Qur’an menerangkan bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan kodrat yang hanief, sebagaimana juga agama Islam diciptakan Allah atas kodrat yang hanief. Artinya, memihak kepada kebenaran. Sebab, itulah Islam sesuai dengan fitrah manusia, cocok dengan naluriah manusia. Allah Swt. berfirman:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَـلْقِ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ 

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30).

Atas dasar ini, Islam mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang baik, hadapilah semua manusia dengan persangkaan yang baik, jangan menghadapinya dengan jiwa curiga dan purbasangka. Maka secara hukum, seseorang tidak boleh ditahan apalagi dihukum sebelum dibuktikan bahwa dia memang bersalah. Tidak seperti yang sementara ini, bahwa seseorang telah ditahan bahkan dihukum, kemudian dibebaskan karena terbukti bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Ini adalah suatu aniaya besar!

Pengetahuan tentang dhamir manusia yang hanief, menyingkapkan tabir rahasia mengapa agama Islam merupakan agama yang mudah diterima oleh manusia dan akan tetap mudah diterima sepanjang masa buat segala tingkatan intelek. Pengetahuan ini adalah penting bagi setiap petugas dakwah dalam rangka membimbing dan mengajak manusia ke jalan Allah.

Memang iya harus pula diakui, bahwa di antara manusia terdapat golongan yang sesat jalan, golongan yang menolak dan bahkan memusuhi Islam. Apa sebabnya? Bukan karena dasar nalurinya yang sesat dan kafir, tidak ada manusia dilahirkan atas dasar ini.

Dalam hal ini, sebab-sebab seseorang menjadi sesat, menolak atau membenci Islam adalah: Pertama, orang itu tidak mendapat tuntunan rohaniah agama dan pendidikan tauhid. Kedua, orang itu mendapat pengaruh lingkungan yang buruk dari kalangan rumah tangganya, tetangganya, masyarakatnya dan pergaulannya. Atau informasi yang keliru tentang Islam yang sampai kepadanya.

Dan, untuk membangun masyarakat, manusia itulah yang harus dibangun lebih dahulu, membangun manusia pembangunan yang akan membangun. Kedua faktor di atas adalah mendasar dalam usaha membangun manusia itu. Untuk itulah, maka risalah Islam perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, kemudian mengusahakan dan memperjuangkan penerapannya dalam semua macam lapangan hidup dan kehidupan manusia.

 Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH