Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3)

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 3)

Faedah 6. Persiapan iman dan ilmu

Di antara perkara yang penting untuk diketahui oleh seorang muslim adalah bahwa amal ibadah dibangun di atas iman dan ilmu. Beribadah tanpa iman, maka tidak akan diterima; sebagaimana beramal tanpa ilmu, akan tersesat.

Termasuk di dalamnya adalah persiapan untuk menghadapi bulan Ramadan, bulan yang penuh dengan kebaikan. Dibutuhkan pondasi-pondasi iman dan kekuatan tauhid agar amal yang dilakukan bisa terangkat menuju Allah. Diperlukan pengokohan ilmu dan pemahaman mengenai makna dan kandungan ibadah itu sendiri.

Ibadah puasa bukanlah suatu ibadah yang berdiri sendiri. Ia ditopang oleh akidah sebagaimana termuat dalam dua kalimat syahadat dan rukun-rukun iman. Tidak diragukan bahwa puasa adalah ibadah yang sangat agung di antara rukun Islam. Meskipun demikian, orang yang menjalankan puasa dalam keadaan memiliki akidah yang rusak dan menyimpang, sungguh amal yang dia lakukan berisiko besar, justru tidak akan diterima di sisi Allah.

Hal ini sebagaimana pernah kita dengar dalam riwayat Muslim ketika Abdullah bin Umar menanggapi ada sebagian penduduk Bashrah yang berkeyakinan bahwa takdir itu tidak ada dan segala sesuatu terjadi secara tiba-tiba (dalam artian Allah tidak mengetahui sesuatu, kecuali setelah terjadinya). Ibnu Umar pun dengan tegas mengatakan, “Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim)

Ucapan beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mengingkari takdir (yang masyhur disebut dengan kaum Qadariyah) telah keluar dari Islam akibat menolak salah satu rukun iman, yaitu iman kepada takdir. Karena imannya batal, maka semua amalnya tidak bernilai. Sungguh mengenaskan!

Oleh sebab itu pula, para ulama selalu mengingatkan tentang pentingnya akidah tauhid karena ia menjadi syarat diterimanya semua amalan dan pondasi amal-amal ketaatan. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Bahwa ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah, kecuali bersama dengan tauhid. Maka, apabila syirik mencampuri suatu ibadah, menjadikan ibadah itu rusak; sebagaimana hadas apabila menimpa pada taharah.”

Adapun persiapan bekal ilmu mengenai aturan ibadah, maka itu menjadi perkara yang secara luas telah diketahui oleh umat Islam, meskipun dalam kenyataannya tidak sedikit orang yang cenderung meremehkan dan seolah menganggap ibadah puasa sebagai suatu rutinitas tahunan dan kebiasaan semata. Sehingga belajar tentang fikih puasa menjadi kurang urgen bagi mereka.

Sungguh menakjubkan perkataan para ulama terdahulu, “Ibadahnya orang yang ghaflah (lalai) hanya berubah menjadi tradisi (kebiasaan), sementara adat (kebiasaan) orang yang yaqdhah (berilmu) dan menyadari hakikat ibadahnya, justru bisa berubah bernilai ibadah.”

Baca juga: Memahami Tafsir Tauhid

Faedah 7. Kandungan Islam

Para ulama menjelaskan tentang makna Islam, bahwa Islam itu merupakan sikap pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Pengertian ini pada dasarnya merupakan kesimpulan dan rangkuman dari berbagai dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebagaimana telah diketahui bahwa seluruh nabi dan rasul berada di atas satu akidah dan satu agama, yaitu Islam. Mereka semua mengajak kepada tauhid.

Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami utus seorang pun rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Allah berfirman,

مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ

“Dan barangsiapa yang taat kepada rasul itu, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80)

Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

“Dan mereka tidaklah diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama (amal) untuk-Nya dengan hanif (bertauhid), dan supaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah berfirman,

وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Allah berfirman,

إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Allah berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Benar-benar jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Allah berfirman,

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةࣱ فِیۤ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ وَٱلَّذِینَ مَعَهُۥۤ إِذۡ قَالُوا۟ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَ ٰۤ⁠ ؤُا۟ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ

“Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang bersamanya. Yaitu, ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah…’. ” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Allah berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنࣲ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥۤ أَمۡرًا أَن یَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِیَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن یَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَـٰلࣰا مُّبِینࣰا

“Dan tidak pantas bagai seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Allah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا

“Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka belumlah beriman sampai mereka menjadikan kamu (Rasul) sebagai hakim (pemutus) perkara dalam apa-apa yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati dalam hati mereka rasa sempit terhadap keputusan yang telah kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Faedah 8. Pondasi iman

Sebagaimana telah diketahui bahwa iman mencakup ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Iman memiliki pokok-pokok dan cabang-cabang. Ada bagian dari iman yang jika ditinggalkan, iman menjadi menyusut, dan ada pula yang jika ditinggalkan, iman menjadi hilang.

Dalam hadis Jibril, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan enam perkara yang biasa disebut dengan istilah rukun iman. Yaitu, iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir. Keenam perkara ini merupakan pokok-pokok keimanan. Barangsiapa yang mengingkari salah satunya, maka dia bukan termasuk golongan umat Islam.

Di antara para ulama yang memiliki perhatian besar dalam hal ini adalah para ulama hadis seperti Imam Al-Bukhari rahimahullah. Di dalam kitab Sahih-nya, beliau membuat bab-bab khusus seputar iman di bawah pembahasan Kitabul Iman.

Bahkan, pada bagian akhir kitab Sahih-nya, beliau juga membuat pembahasan khusus tentang iman kepada Allah dalam Kitab Tauhid. Salah satu hadis yang dibawakan di dalamnya adalah hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma yang mengisahkan pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan,

فليكن أول ما تدعوهم إلى أن يوحِّدوا الله

“Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari)

Tauhid kepada Allah merupakan kandungan dari rukun iman yang pertama. Makna tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hak Allah atas setiap hamba. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا

“Hak Allah atas segenap hamba adalah mereka harus beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu)

Iman kepada Allah juga mencakup keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta. Inilah yang biasa disebut oleh para ulama akidah dengan tauhid rububiyah. Iman kepada Allah juga mengandung keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Ini yang biasa disebut dengan tauhid ibadah atau tauhid uluhiyah. Adapun keimanan kepada Allah dalam hal kesempurnaan nama dan sifat-Nya, ini dikenal dengan nama tauhid asma’ wa shifat.

Ilmu tauhid dan akidah ini sudah mendapatkan perhatian besar dari para ulama sejak dahulu kala. Oleh sebab itu, banyak kita temukan para ulama menyusun pembahasan khusus mengenai hal itu, sebagaimana sudah kita sebutkan, yaitu Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya. Sebelum itu ada juga Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyusun kitab Ushul As-Sunnah yang juga menjelaskan pokok-pokok keyakinan dan jalan beragama kaum muslimin. Ada banyak ulama yang menjelaskan masalah akidah dengan judul kitab yang beraneka ragam. Ada yang berjudul ‘Iman’. Ada juga yang diberi nama At-Tauhid. Ada juga yang diberi nama Asy-Syari’ah. Ada juga As-Sunnah. Dan sebagainya.

Dengan mempelajari akidah inilah, kita akan bisa terhindar dari berbagai pemahaman sesat dan menyimpang, semacam Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, Syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, dan sebagainya. Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, begitu banyak pemikiran dan ideologi yang dipasarkan dengan mengatasnamakan kebebasan dan demokrasi. Apabila seorang muslim tidak membekali dirinya dengan akidah yang lurus, niscaya ia akan hanyut dan tenggelam dalam berbagai bentuk aliran pemikiran yang sesat dan menyesatkan.

Ketika banyak orang terseret dalam pemahaman yang menyimpang, sementara akidah yang lurus banyak tidak dikenali kaum muslimin, maka pada saat itulah orang yang berpegang teguh dengan ajaran Islam yang murni akan mengalami keterasingan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بدأ الإسلام غريباً وسيعود غريباً كما بدأ فطوبى للغرباء

“Islam itu datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya. Maka, beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim)

Orang yang rajin salat berjamaah di masjid dituduh sebagai radikal. Orang yang rajin ikut pengajian sunnah dianggap sebagai penganut aliran sesat. Orang yang berupaya kembali kepada pemahaman para sahabat dianggap sebagai perusak tatanan masyarakat. Orang yang berpegang teguh dengan syariat dinilai jumud dan kaku. Sementara orang yang larut dalam hawa nafsu dianggap sebagai bentuk kemajuan dan menjunjung tinggi Hak Asasi.

Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى

“Semua umatku pasti akan masuk surga, kecuali yang enggan.”

Para sahabat pun heran dan bertanya,

يا رسول الله ومن يأبى؟

“Wahai Rasulullah siapakah orang yang enggan itu?”

Beliau menjawab,

من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى

“Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari)

Wallahu a’lam bish-shawaab.

Lanjut ke bagian 4: Bersambung Insyaallah

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/90773-untaian-23-faedah-seputar-tauhid-dan-aqidah-bag-3.html
Copyright © 2024 muslim.or.id