Si Fulan melakukan perjalanan ke luar negeri dengan pesawat. Dia berangkat dalam keadaan memakai sepatu. Setelah beberapa jam, tibalah waktu salat Subuh. Kemudian, dia pergi ke toilet yang ada di dalam pesawat, hendak berwudu. Setelah masuk toilet, dia hanya melihat ada 1 wastafel, 1 toilet kecil yang hanya cukup untuk duduk saja, dan lantai dengan karpet yang bersih dan kering. Dalam keadaan seperti itu, dia bertanya dalam hatinya, “Di mana dan bagaimana saya berwudu? Bolehkah saya cukup menggunakan wastafel untuk membasuh wajah, tangan, dan mengusap kepala, kemudian mengusap sepatu, sebagai ganti dari membukanya dan membasuh kedua kaki?”
Gambaran permasalahan di atas merupakan hal yang sering terjadi. Syariat Islam memberikan kemudahan dan pengurangan beban bagi orang-orang yang merasa kesulitan. Misalkan, dalam kasus di atas, terasa sulit dan berat untuk melepas kaos kaki dan sepatu, kemudian membasuh kaki ketika berwudu.
Untuk menjawab permasalahan tersebut dan yang semisalnya, berikut ini kami sampaikan pembahasan yang ringan dan ringkas. Namun, insyaAllah menyeluruh, tentang “mengusap khuf” ( المسح على الخفين ), yang telah dibahas secara panjang lebar oleh para ulama di kitab-kitab fikih mereka.
Makna mengusap khuf
“Mengusap khuf”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الخفين – mengusap di atas dua khuf) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan khuf ( الخُفّ ).
Tentang mengusap ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan,
المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ
“Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1]
Sedangkan tentang khuf ( الخُفّ ), disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith [2],
الخُفّ هو مَا يلبس فِي الرجل من جلد رَقِيق
“Khuf adalah apa yang dipakai di kaki (terbuat) dari kulit tipis.” [3]
Dalam pembahasan nanti di bawah, akan kami bahas tentang “kulit” atau “kulit tipis”, di mana ini bukanlah syarat mengusap khuf. Sehingga, termasuk dalam istilah khuf adalah kaos kaki, sepatu, dan semisalnya yang memenuhi syarat-syarat khuf yang nanti akan kami jelaskan.
Oleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwasanya istilah “mengusap khuf” adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran air, di atas sesuatu yang dipakai di atas kaki. Wallaahu a’lam.
Dalil-dalil pensyariatan mengusap khuf
Mengusap khuf merupakan perkara yang diperbolehkan, berdasarkan nas-nas sunah, dan hanya Syi’ah Ja’fariyah yang menyelisihi hukum ini. Oleh karena itu, beberapa ulama menyebutkannya dalam buku-buku tentang akidah. Imam At-Tahawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan akidah salaf:
ويرون المسح على الخفين
“Dan mereka berpendapat bahwa mengusap khuf itu diperbolehkan.” [4]
Di antara dalil-dalilnya adalah:
Pertama: Firman Allah Ta’ala,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan usaplah kepalamu dan kaki-kakimu hingga dua mata kaki.” [5].
Berdasarkan bacaan jar (mengkasrah huruf lam sehingga menjadi arjulikum), usapan dalam ayat ini mencakup kepala dan kaki, dan ini merupakan bacaan mutawatir. Dari ayat tersebut, para ulama mengambil kesimpulan bolehnya mengusap kaki ketika berwudu, yaitu ketika dipakaikan khuf di atasnya. [6]
Kedua: Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya bersama Nabi ﷺ dalam sebuah perjalanan. Saya hendak melepas khuf beliau. Maka, beliau bersabda,
دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين
‘Biarkan keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci.‘ Lalu beliau pun mengusapnya.” [7]
Ketiga: Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dia kencing kemudian berwudu dan mengusap khuf-nya. Ditanyakan kepadanya, “Apakah benar Anda melakukan ini?” Dia radhiyallahu ‘anhu menjawab,
نعم، رأيت رسول الله ﷺ بال ثم توضأ ومسح على خفيه
“Ya, saya melihat Rasulullah ﷺ kencing kemudian berwudu dan mengusap khufnya.” [8]
Hadis tentang bolehnya mengusap khuf telah diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh sahabat. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan dalam hatiku mengenai bolehnya mengusap (atas khuf). Ada empat puluh hadis dari Nabi ﷺ tentang hal itu.” [9]
Syarat-syarat mengusap khuf
Mengusap khuf hanya diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya. Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka harus melepas khuf dan membasuh kedua kakinya ketika berwudu.
Syarat-syarat tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu: (1) syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama, dan (2) syarat-syarat yang diperselisihkan.
Syarat-syarat yang disepakati
Syarat-syarat yang disepakati sebagai berikut:
Pertama: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna
Hal ini berdasarkan hadis Al-Mughirah bin Shu’bah radhiyallaahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, hadis Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan,
كان رسول الله ﷺ يأمرنا إذا كنا سَفْرًا ألا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة، ولكن من غائط وبول ونوم
“Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami ketika dalam perjalanan untuk tidak melepaskan khuf kami selama tiga hari dan malam, kecuali karena junub; tetapi (kami tetap memakainya dan mengusap ketika berwudu) dari buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” [10]
Mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa bersuci yang dimaksud adalah bersuci dengan air (bukan debu atau semisalnya), baik melalui wudu atau mandi. Hal ini berdasarkan hadis, “Karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci“, yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersuci dengan wudu sebelum mengenakan khuf. Sehingga tidak ada hubungan antara bersuci yang diperoleh melalui tayamum, dengan mengusap khuf.
Kedua: Kemampuan untuk berjalan dengannya
Jika khuf tidak menempel erat pada kaki (sehingga tidak bisa digunakan untuk berjalan), maka tidak boleh mengusapnya. Baik itu menempel erat dengan sendirinya (hal ini boleh, dengan kesepakatan para ulama) atau dengan bantuan dari pengikatnya (inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam dan Syekh Ibn Utsaimin rahimahumallah).
Ketiga: Khuf harus suci
Tidak boleh mengusap khuf yang najis, seperti jika khuf terbuat dari kulit babi, atau semisalnya.
Syarat-syarat yang diperselisihkan
Sedangkan syarat yang diperselisihkan adalah sebagai berikut:
Pertama: Khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh saat berwudu
Tidak diperbolehkan mengusap khuf yang tidak menutupi kedua mata kaki beserta kaki, baik karena tipisnya atau karena menunjukkan bentuk kulit. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, termasuk Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da,’imah (Lembaga Tetap) untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi.
Beberapa ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahumallah, berpendapat bahwa tidak diwajibkan khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh, karena:
Pertama, nas tentang mengusap khuf datang secara mutlak. Dan apa yang datang secara mutlak harus tetap pada keumumannya.
Kedua, kebanyakan dari para sahabat itu miskin, dan biasanya khuf milik orang miskin itu tidak terlepas dari lubang. Namun, tidak terdapat keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa khuf yang berlubang tidak diperbolehkan untuk diusap.
Dari sini, syarat “khuf harus menutupi bagian yang wajib dibasuh” menjadi syarat yang lemah.
Kedua: Khuf harus terbuat dari kulit
Para fuqaha (ulama fikih) berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah berpendapat bahwa syarat mengusap khuf adalah harus terbuat dari kulit. Jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan mengusap khuf yang terbuat dari kulit atau selainnya. Ini merupakan pendapat yang benar, yang juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah untuk Riset Ilmiah dan Ifta di Arab Saudi. Mereka berdalil dengan hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي توضأ ومسح على الجوربين والنعلين
“Nabi melakukan wudu dan mengusap pada jawrab (kaos kaki) dan na’lain (sandal).” [11]
Juga terbukti dari sejumlah sahabat bahwa mereka mengusap pada jawrab, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Umamah, dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum. Wallaahu a’lam
Ketiga: Khuf harus mubah (halal).
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai syarat ini. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah mengusap khuf yang berasal dari harta rampasan, curian, atau terbuat dari sutera. Menurut pendapat yang paling sahih dari Syafi’iyah, bahwasanya sah mengusap khuf, meskipun tidak halal.
Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, yaitu tidak diwajibkan bahwa khuf tersebut harus halal. Namun, tetap ada dosa bagi orang yang merampas, mencuri, atau lainnya, yang memakai khuf yang tidak halal tersebut. Wallaahu a’lam. [12]
Kadar dan cara mengusap khuf
Tentang kadar yang diusap dari khuf, maka cukup dengan melewatkan tangan (yang telah dibasahi) dari ujung jari kaki sampai ke betis. Sedangkan, tentang bagaimana cara pengusapannya, maka bagaimanapun cara mengusapnya, itu cukup. Namun, yang lebih utama adalah mengusap yang kanan terlebih dahulu, kemudian yang kiri. Hal tersebut berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كان النبي الله يعجبه التيمن في تنعله وترجله وظهوره وفي شأنه كله
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang melakukan sesuatu mulai dari sisi kanannya, baik dalam memakai alas kaki, menyisir rambut, dan dalam semua urusannya.” [13]
Perkara-perkara yang membatalkan mengusap khuf
Mengusap khuf menjadi batal dengan salah satu dari perkara-perkara berikut:
Pertama: Segala sesuatu yang membatalkan wudu, juga membatalkan pengusapan pada khuf.
Kedua: Keberadaan penyebab mandi wajib, seperti junub, haid, atau nifas. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini terjadi, maka pengusapan pada khuf menjadi batal.
Ketiga: Mencopot kedua khuf atau salah satu darinya. Ini merupakan masalah perbedaan pendapat di antara para ulama.
Ringkasnya, wudu menjadi batal dengan melepaskan khuf; karena wudu telah batal di anggota tubuh tertentu (yaitu kaki), maka wudu menjadi batal di seluruh anggota wudu. Hal ini sebagaimana jika berhadas. Ini adalah pendapat yang paling kuat sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah.
Keempat: Berakhirnya durasi (masa waktu) mengusap khuf. Ketika masa waktu pengusapan telah berlalu, yaitu satu hari dan satu malam bagi muqim, dan tiga hari beserta malamnya bagi musafir, sebagaimana akan berlalu penjelasannya, maka pengusapan pada khuf menjadi batal. Walllahu a’lam. [14]
Hukum bagi orang yang mengenakan khuf di atas khuf
Pada zaman sekarang, kebanyakan dari pemakai khuf adalah memakai khuf di atas khuf yang lain. Misalkan, memakai sepatu di atas kaos kaki. Berikut ini ringkasan penjelasan para ulama tentang perkara tersebut.
Jika seseorang berwudu, kemudian mengenakan khuf. Setelah itu, terjadi hadas, lalu ia mengenakan khuf lainnya. Maka, tidak diperbolehkan untuk melakukan pengusapan di atas khuf yang terakhir dipakai itu. Karena ia memakainya dalam keadaan tidak suci. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah (pertama). Jika seseorang sudah melakukan pengusapan pada khuf bagian bawah setelah terjadinya hadas, lalu ia mengenakan khuf kedua dalam keadaan suci, maka tidak diperbolehkan melakukan pengusapan di atas khuf yang kedua. Karena bagian yang sudah diusap telah menggantikan proses membasuh bagian di bawahnya, dan penggantian tidak diperbolehkan untuk diganti lagi. Dengan demikian, maka pengusapan dilakukan pada khuf bagian bawah, karena bolehnya pengusapan terkait dengan bagian tersebut.
Jika seseorang mengenakan khuf di atas khuf lain sebelum terjadi hadas, kemudian melakukan pengusapan khuf yang pertama (atas), lalu melepaskan khuf yang pertama yang sudah diusap, apakah ia harus melepaskan yang kedua (bawah) dan melakukan wudu kembali? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat. Yang benar adalah cukup baginya melakukan pengusapan pada khuf yang kedua (bawah). Wallahu a’lam [15]
Durasi mengusap khuf
Sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan,
جعل رسول الله ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم
“Rasulullah ﷺ menetapkan tiga hari dan malamnya untuk musafir, dan satu hari serta malam untuk muqim.” [16]
Hadis tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa penentuan durasi mengusap khuf, adalah satu hari dan satu malam untuk muqim (orang yang sedang tidak dalam perjalanan), dan tiga hari serta malamnya untuk musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. [17]
Kapan mulai durasi pengusapan?
Durasi mengusap khuf dimulai sejak pengusapan pertama kali dilakukan pada khuf. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dipilih oleh Syekh Ibn Utsaimin. Hal ini berdasarkan hadis yang menyebutkan,
يمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثا
“Bagi muqim, durasi pengusapan adalah satu hari dan satu malam, sedangkan bagi musafir, durasi pengusapan adalah tiga hari.” [18]
Tentang durasi membasuh khuf dalam safar
Jika seseorang memulai memakai sepatu sebelum safar, kemudian dia bersafar, durasi manakah yang dia pakai? Atau sebaliknya, dia memakai sepatu ketika safar, kemudian sampai di kampung halaman, durasi manakah yang dia pakai?
Berikut ini penjelasan dari permasalahan di atas:
Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian melakukan perjalanan sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir.
Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian ia tinggal di suatu tempat (muqim) sebelum terjadi hadas, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim.
Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum melakukan pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi musafir.
Jika seseorang mengenakan khuf di kampung halaman (muqim), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian melakukan perjalanan sebelum berakhirnya masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim.
Jika seseorang mengenakan khuf di saat sedang melakukan perjalanan (musafir), kemudian terjadi hadas, melakukan pengusapan, dan kemudian tinggal di suatu tempat (muqim). Jika masih ada sisa masa pengusapan, maka durasi pengusapan adalah durasi muqim.
Jika seseorang ragu, sementara ia sedang dalam keadaan musafir ketika ia memulai pengusapan, artinya apakah ia pengusapan sebagai musafir atau muqim; maka ia menggunakan durasi musafir. [19]
Hukum orang yang membasuh kaki kanannya, kemudian mengenakan khuf, lalu mencuci kaki kirinya dan mengenakan khuf
Dari Mugirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين
“Biarkan keduanya, sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” [20]
Berdasarkan hadis tersebut, banyak dari para ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengenakan khuf, kecuali setelah selesai mencuci kaki kirinya. Pendapat ini adalah yang paling tepat dan lebih hati-hati.
Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap khuf. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.
***
1 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.
Penulis: Prasetyo, S.Kom.
Artikel: Muslim.or.id
Referensi utama:
Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan Riyadh, cet. ke-4 2018 M
Catatan kaki:
[1] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah
[2] Al-Mu’jamul Wasith, hal. 256, Majma’ Lughah Arabiyah, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah
[3] Lihat https://dorar.net/feqhia/322
[4] Matn Aqidah Thahawiyah, hal. 49
[5] QS. Al-Ma’idah: 6
[6] Lihat https://binothaimeen.net/content/556
[7] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274
[8] HR. An-Nasa’i no. 24 dan Ibnu Majah no. 543
[9] Lihat Al-Mughniy, 1: 360
[10] HR. An-Nasa’i no. 158 dan Tirmidziy no. 97. Imam Tirmidziy mengatakan, “Hasan sahih.”
[11] HR. Ahmad, 4: 252 dan Abu Dawud no. 159
[12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 87-90
[13] HR. Bukhari no. 166 dan Muslim no. 268
[14] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 92
[15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94
[16] HR. Muslim no. 267
[17] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 86
[18] HR. Muslim no. 267 dan Ibnu Khuzaimah no. 194. Lafaz dari Ibnu Khuzaimah
[19] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism Ibadat, hal. 94
[20] HR. Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274
Sumber: https://muslim.or.id/91699-mengusap-khuf-kaos-kaki-dan-sepatu-ketika-wudu.html
Copyright © 2024 muslim.or.id