Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasa
Orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan dan malas tidaklah menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang itu tetap dihukumi pada asalnya muslim sampai tegaknya dalil yang membuktikan bahwa dia telah keluar dari Islam. Sementara tidak tegaknya dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak berpuasa keluar dari Islam selama dia meninggalkan puasa itu karena meremehkan atau malas.
Berbeda halnya dengan salat. Karena untuk masalah salat, telah terdapat dalil-dalil dari Kitabullah, Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat radhiyallahu ’anhum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi sebagai kafir yang dia meninggalkan salat karena meremehkan dan malas. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatu perkara yang apabila ditinggalkan menjadikan pelakunya kafir, selain salat.”
Meskipun demikian, orang ini (yang tidak mau puasa karena meremehkan dan malas) semestinya diajak untuk berpuasa. Dan apabila ternyata dia enggan, seharusnya dia diberikan ta’zir/hukuman pelajaran sampai dia mau menjalankan puasa.
(Sumber : Fatwa Syekh Al-‘Utsaimin yang dikumpulkan dalam Min Fatawa Al-‘Ulama’ fi Ash-Shiyam wa Al-Qiyam, hal. 41-42, penerbit Baitul Afkar Ad-Dauliyah, cet I/1420 H)
Kedua: Keistimewaan puasa
Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadis qudsi),
كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به
‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.‘ Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?”
Beliau menjawab,
“Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena, bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus.
Begitu pula, setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab,
عليك بالصوم، فإنه لا مثل له
‘Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.’
Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.”
(Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4254)
Ketiga: Perusak puasa Ramadan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafaz ini milik Abu Dawud)
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin. (Lihat Subul As-Salam, 2:876)
Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadis ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong, serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan, seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta, atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya. (Lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 4:147)
Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah gibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:482-483)
Keempat: Berkumur-kumur ketika puasa
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadan?”
Beliau menjawab,
“Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudu. Sama saja, apakah hal itu pada siang hari Ramadan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
فَٱمۡسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمۡ
‘Maka, cucilah wajah-wajah kalian.’ (QS. Al-Ma’idah: 6)
Meskipun demikian, tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Sempurnakanlah wudu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.’ (HR. Tirmidzi dan Nasa’i Disahihkan Al-Albani.)”
(Sumber : Tsamaniyah wal Arba’una Su’alan fish Shiyam, hal. 58.)
Kelima: Niat puasa Ramadan
Suatu saat, Syekh Muqbil ditanya, “Apakah wajib niat puasa Ramadan itu (dilakukan setiap hari, pent), ataukah cukup berniat puasa untuk sebulan penuh dengan sekali niat di awal? Dan kapankah berniatnya?”
Beliau menjawab,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
‘Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang yang beramal akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.’ Ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya berniat dalam seluruh amal yang hendak dilakukan.
Maka, yang lebih tampak kuat (bagi kami) adalah setiap orang wajib berniat di setiap hari. Namun, itu bukanlah berarti dia mengucapkan ‘nawaitu an ashuma yauma kadza wa kadza’ (saya berniat untuk puasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadan). Akan tetapi, yang dimaksud niat itu adalah keinginan/maksud dan kesengajaan. Sehingga, ketika Anda bangun untuk makan sahur, ini pun sudah dianggap niat. Ketika anda menyengaja menahan makan dan minum, ini pun sudah termasuk niat.
Adapun hadis ‘Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam, maka tiada puasa baginya.’, ini adalah hadis yang lemah dan mudhthorrib/goncang, meskipun hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, pendapat yang benar/lebih kuat adalah hadis ini mengandung kegoncangan/idhthirrab.”
(Sumber : http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3321)
Keenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به،…والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك
“Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya… Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi.’” (HR. Muslim)
Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi, karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya, maka hal itu pun tidak dilakukannya. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209)
Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat, maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila salat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya Yang mewajibkan puasa sama dengan Yang mewajibkan salat. Terlebih lagi, salat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan salat, sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan, maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya salat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faedah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209-210)
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/93049-faedah-ilmu-seputar-puasa-ramadan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id