Koreksi Terhadap Nalar Fikih Bahar Bin Smith tentang Menikahi Mertua

Koreksi Terhadap Nalar Fikih Bahar Bin Smith tentang Menikahi Mertua

Adagium arab mengatakan “kalau kamu ingin terkenal, kencinglah di atas Ka’bah”. Sekalipun itu kesalahan, namun yang bersangkutan pasti terkenal karena akan disorot oleh masyarakat dunia. Sejatinya, saat ini, banyak orang yang terkenal karena melakukan kesalahan atau kebodohan. Anehnya, tetap pede dan tidak merasa malu.

Bahkan, fenomena seperti itu sering dilakukan oleh mereka yang katanya da’i atau mubaligh. Kalau kepeleset lisan alias tidak disengaja bisa dimaklumi. Tetapi, kalau itu disampaikan berapi-api sungguh suatu sikap yang keterlaluan. Sebagai da’i atau mubaligh seharusnya belajar lebih dulu sebelum menyampaikan materi atau informasi keagamaan supaya tidak terjadi kesalahan yang fatal.

Seperti beberapa hari yang lalu, beredar potongan video ceramah Bahar bin Smith yang sangat memalukan. Secara garis besar ia mengatakan, seorang laki-laki boleh menikahi ibu mertuanya dengan syarat anak mertua yang telah dinikahinya telah diceraikan dan belum disetubuhi. Selengkapnya pernyataan Bahar bin Smith tersebut berikut ini.

“Sekalipun sudah selesai akad nikah tetapi si suami hanya mencium, atau bermain-main di pusar si istri, dan belum menempelkan kemaluannya, maka si suami boleh mentalaknya kemudian menikahi ibu mertuanya,”

Penyampaian Bahar bin Smith tersebut dalam fikih bertentangan dengan pendapat mayoritas atau jumhur ulama. Sebab, pendapat jumhur ulama mengatakan, seseorang yang telah akad nikah dengan seorang wanita, maka menikahi ibu wanita tersebut (mertua perempuannya) hukumnya haram, sekalipun istrinya (anak dari mertuanya) telah dicerai dan belum menjima’ dan menggaulinya.

Keharaman ini berdasar nash al Qur’an dan hadits yang sharih (jelas). Dalam al Qur’an ditegaskan:

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 23).

Secara tegas ayat di atas mengatakan, ibu mertua termasuk mahrom (wanita yang haram dinikahi).

Telah menjadi pengetahuan umum, dalam Islam tidak semua perempuan boleh dinikahi. Ada perempuan yang boleh dinikahi dan ada pula yang tidak boleh. Perempuan yang boleh dinikahi disebut ajnabi atau perempuan lain yang tidak memiliki hubungan mahrom.  Sedangkan perempuan yang sama sekali tidak boleh dinikahi dikenal dengan sebutan perempuan mahrom. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 36/ 200)

Dalam fikih dijelaskan, perempuan haram dinikahi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, hubungan kerabat, yakni perempuan-perempuan yang memiliki ikatan hubungan darah atau kekerabatan, seperti ibu, nenek, anak perempuan, saudari kandung, bibi, keponakan perempuan, dan seterusnya.

Kedua, hubungan sepersusuan, yakni perempuan-perempuan yang memiliki hubungan disebabkan pernah menyusu pada seorang wanita yang sama dengan laki-laki tersebut.

Ketiga, hubungan kemertuaan (mushaharah), yakni perempuan yang mempunyai hubungan kemertuaan dengannya seperti ibu istrinya, istri anaknya, istri ayah atau kakeknya, dll. (Fiqh al-Manhaji ‘ala madzhab Imam Syafi’i 4/ 26 )

Imam Nawawi menjelaskan, dari hubungan perkawinan (mushaharah) lahir dua mahrom. Pertama mahrom muabbad (permanen) dan mahrom muaqqat (sementara). Masuk kategori mahrom muabbad ibu mertua, anak tiri, menantu dan ibu tiri. Sementara mahrom muaqqat adalah saudara perempuan dan bibi-bibi istri.

Jadi, jika laki-laki telah menikahi seorang wanita secara otomatis ibu kandung dan nenek wanita tersebut menjadi mahrom muabbad (haram dinikahi selamanya). (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab: 16/216).

Sampai disini telah dimengerti, setelah terjadi akad sekalipun belum berhubungan suami istri, maka ibu mertua langsung menjadi mahrom muabbad, yakni haram dinikahi selamanya.

Rasulullah bersabda: “…Setiap laki-laki yang menikahi perempuan (kemudian mentalaknya), telah menggaulinya atau belum, maka laki-laki tersebut tidak boleh menikahi ibu perempuan tersebut”. (HR. Turmudzi).

Dengan demikian, jelas bahwa menikahi ibu mertua sekalipun anaknya telah dicerai dan belum digauli hukumnya haram menurut mayoritas ulama.

Memang ada pendapat syadz (tidak wajar) yang mengatakan boleh menikahi ibu mertua setelah anaknya dicerai dan belum digauli. Pendapat ganjil ini disampaikan oleh Mujahid dan Ikrimah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Jauzy. (Zaad al Masir: 2/10).

Pendapat ini disamping lemah juga tidak layak dipakai karena efeknya bisa menyakiti perempuan. Betapa sakit hati perempuan yang dicerai, kemudian mantan suaminya menikahi ibunya sendiri. Tak terbayangkan penderitaannya, apalagi masih tinggal satu rumah.

ISLAMKAFFAH