Menghafal Delapan Jam Sehari, Full Main Empat Hari Sekali
INGKAHNYA tidak berbeda dengan layaknya anak yang belum genap berusia enam tahun. Suka bermanja-manja dan kadang-kadang rewel. Sepintas orang tak akan menyangka bocah asal Bangka Barat, Bangka Belitung, tersebut sudah tuntas menghafal 30 juz Alquran.
————–
Laporan Bayu Putra, Jakarta
————-
Saat dia kali pertama tampil di panggung, seisi studio RCTI menangis haru menyaksikan kemampuannya. Prof Amir Faishol, pakar tafsir Alquran yang menjadi salah seorang juri, sembari berlinang air mata mendatangi Musa, lalu mencium tangannya.
Musa sebetulnya sangat pemalu. Dia jarang bertemu banyak orang sehingga saat kali pertama tampil di panggung sangat gugup. ”Saat itu dia sudah mau menangis,” ujar La Ode Abu Hanafi, ayah Musa. Setelah ditenangkan, perlahan Musa mulai bisa menyesuaikan diri. Untuk memudahkan adaptasi, Hanafi membaurkan Musa dengan para peserta lainnya.
Minat Musa terhadap Alquran sudah tampak sejak dirinya belum genap berusia dua tahun. ”Setiap kali saya perdengarkan kaset murottal (pembacaan) Alquran anak, dia senang dan sangat antusias menirukan,” ungkap pria 33 tahun itu. Melihat kondisi tersebut, Hanafi pun makin sering memperdengarkan kaset murottal kepada Musa.
Tidak lama setelah ulang tahun kedua Musa, Hanafi memulai bimbingan Alquran untuk anaknya itu. Karena Musa belum bisa membaca Alquran, Hanafi membimbingnya dengan metode talqin atau membacakan hafalan. Musa diminta menirukan pelafalan sang ayah. Mengingat usia sang anak, Hanafi mengajarinya dengan perlahan. Satu sesi belajar hanya berlangsung lima sampai sepuluh menit.
Bukan hal mudah mengajarkan Alquran kepada bocah yang ketika itu berusia dua tahun. Proses Musa untuk menjadi hafiz, beber Hanafi, tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Bagian pertama yang diajarkan kepada Musa adalah surat terakhir Alquran, yakni An Naas.
”Saya ajarkan qul saja, butuh dua sampai tiga hari dia ikuti,” kenangnya. Kemudian, menyambungkan kata qul dengan a’udzu juga butuh waktu.
Durasi Musa untuk menghafal Qul a’udzu birobbinnaas (ayat pertama surat An Naas yang berarti Katakanlah, aku berlindung dari Tuhan manusia) butuh setidaknya satu pekan.
Kemudian, saat berhasil menghafal ayat kedua,Musa lupa bagaimana bunyi ayat pertamanya sehingga hafalan harus diulang dari awal. ”Jadi, surat An Naas itu mungkin bisa ratusan kali diulang sama saya,” ungkapnya.
Metode talqin tersebut hanya dilakukan selama dua tahun dan menghasilkan hafalan dua juz ”saja”, yakni juz 30 dan 29. Hanafi mengajari Musa menghafal dari belakang, yakni dari juz 30 hingga 18. Kemudian, dia melanjutkan pelajaran menghafal dari juz 1.
Di usianya yang keempat tahun, Musa sudah bisa membaca Alquran sehingga proses hafalan menjadi lebih ringan daripada sebelumnya. Karena sudah bisa membaca Alquran, Musa mulai bisa belajar mandiri. Setiap hari Musa mampu menghafal 2,5 sampai 5 halaman Alquran dan diperdengarkan di depan Hanafi.
Dalam bimbingan Hanafi, Musa bisa menghabiskan waktu enam sampai delapan jam untuk menghafal Alquran. Hanafi memang seorang guru mengaji. Hanafi juga menghidupi keluarganya lewat kebun karet miliknya dan usaha dagangnya.
Lazimnya seorang bocah, waktu bermain juga menjadi kebutuhan yang tak bisa diabaikan. Untuk itu, setiap empat hari Hanafi meliburkan pelajaran menghafal Alquran dan memberi Musa kesempatan bermain seharian.
”Musa main mobil, kereta, sama bola sampai kotor,” ucap Musa saat ditanya mainan kesukaannya sembari bergelayut manja di pangkuan sang ayah.
Selain bermanja-manja dengan sang ayah, selama wawancara, Musa menggoda sang adik Hindun yang masih berusia dua tahun. Sempat pula Musa menangis karena lelah. Namun, setelah diberi mainan, tangisnya mereda.
Hanafi menuturkan, putranya bisa jadi apa saja suatu saat kelak. Bisa dokter, ulama, tentara, atau profesi lainnya. Namun, Hanafi memang punya target agar Musa menjadi hafiz dahulu. ”Agar dia bisa bermanfaat untuk (agama) Islam dan umat Islam,” tutur suami Yulianti itu.
Musa tampak tidak terbebani gelar hafiz yang disematkan kepada dirinya. Sebagaimana layaknya bocah, dia sangat senang manakala disodori mainan. Musa juga sudah punya cita-cita yang ingin diraihnya. ”Ingin jadi pilot,” ucap Musa lugas.
Hanafi mengakui bahwa dirinya dan istrinya bukanlah hafiz. Dia juga awalnya tidak yakin anaknya mampu. Namun, setelah merenung, dia dan sang istri memantapkan niat untuk menjadikan Musa seorang hafiz.
Musa yang merupakan sulung dari tiga bersaudara mampu menuntaskan hafalannya pertengahan Juni lalu. Surat terakhir yang dihafalkannya adalah Al Isra dan An Nahl.
Kemudian, pada akhir Juni, Musa diikutsertakan dalam ajang perlombaan hafiz internasional di Jeddah, Arab Saudi. Musa menjadi satu-satunya peserta asal Indonesia. Dia pun menjadi buah bibir di ajang tersebut karena usianya yang belum genap enam tahun.
Kedua orang tua Musa bertekad menjaga Musa agar tetap bisa konsisten. Untuk itu, mereka berencana menyekolahkan Musa dengan metode homeschooling.
”Itu upaya kami untuk menjaga hafalan Musa. Kami sedang mengajukan izin kepada pemerintah kabupaten dan menyesuaikan kurikulumnya,” terang Yulianti, ibu Musa, saat diwawancarai dalam kesempatan berbeda. (*/c9/sof)