Menjadi haji mabrur banyak kita dengar menjelang musim haji. Pertanyaanya, bagaimana menjadi haji mabrur?
Doktor fikih muamalat lulusan Al-Azhar University Kairo, Dr Oni Sahroni mengatakan ada empat cara menjadi haji mabrur. Pertama, berazam atau niat yang kuat untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Contohnya, seseorang cukup hanya memenuhi rukun dan syarat. Orang yang haji diawali tamattu’ (memakai pakaian ihram) dan diakhiri dengan tawaf wada, yang bersangkutan telah berhaji dan telah menyandang gelar haji. Tetapi, rafats (berkata-kata kotor) dan fusuq (berbuat maksiat), etika melempar jumrah untuk tidak mendorong-dorong, dan etika tawaf untuk tidak mencerca tidak masuk dalam kriteria rukun dan syarat dalam fikih.
Kedua, menghayati makna yang mendasar dalam hidupnya, yakni kembali kepada Allah SWT. Hal itu diconthohkan dengan rukun ihram, di mana jamaah haji memakai dua helai pakaian ihram, siapa pun mereka dan apa pun jabatannya.
Ketiga, menghayati totalitas komitmen kepada Allah. Karena dalam fikih maqashid (fikih tentang tujuan-tujuan Allah di balik syariatnya) ibadah haji adalah ibadah yang paling sarat dengan aspek yang tidak logis,
Contohnya, jumlah tawaf tujuh putaran, sai tujuh kali, melempar jumrah, semuanya tidak logis. Bahkan, Umar bin Khattab sempat melontarkan pertanyaan ketika hendak mencium hajar Aswad. Umar berkata, “Engkau hanyalah batu hitam yang tidak memberikan manfaat maupun mudharat. Andaikan Rasulullah tidak memerintahkan aku untuk menciummu, maka aku tidak akan menciummu.”
Keempat, menghayati makna esensial di balik haji, yakni kemampuan berkorban dan berempati untuk sesama. Sebagaimana dicontohkan dalam surah ash-Shafat tentang kisah penyembelihan Nabi Ibrahim terhadap anaknya, Ismail.