Wanita itu berkata, “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena tertarik kepadanya. Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya kepadaku, akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” (QS Yusuf: 32).
Alquran telah menceritakan kepada kita kisah seorang perempuan yang mencintai suami orang lain. Dialah kisah Zulaikha, sang istri pembesar Mesir al-Aziz, yang mencintai pembantunya, Yusuf AS. Rasa cintanya mendorongnya melakukan berbagai hal yang memalukan.
Diam-diam, Zulaikha berusaha merayu Yusuf agar mau berselingkuh dengannya. Namun, Yusuf selalu menolak. Akhirnya, Zulaikha menarik baju Yusuf dari belakang hingga robek. Pada saat yang sama, datanglah raja Mesir. Takut perbuatan jahatnya diketahui oleh suaminya, Zulaikha menuduh Yusuf akan berbuat tak senonoh kepadanya (QS Yusuf: 25).
Namun, Allah SWT menunjukkan kejadian yang sesungguhnya. Yusuf berkata, “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya).” Dan, seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya. “Jika baju gamisnya koyak dari depan, wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang yang berbohong. Dan, jika baju gamisnya koyak di belakang, wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang yang benar.” (QS Yusuf: 26-27).
Mendapati kondisi tersebut, raja Mesir itu berkata kepada Yusuf agar merahasiakan kejadian itu dan meminta istrinya agar bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Untuk menutupi keburukannya, Zulaikha mengundang para istri-istri pembesar Mesir untuk melihat ketampanan Yusuf. Mereka pun terkagum-kagum melihat rupa Yusuf yang tampan. Dan, tanpa sadar, mereka mengiris pergelangan tangan mereka sendiri hingga mengeluarkan darah.
Ada ungkapan, rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri. Adagium ini terjadi manakala seorang istri lupa bersyukur akan suami yang mendampinginya. Perasaan cinta pun ditumbuh-tumbuhkan karena lelah dan jenuh dengan rumah tangga, romantika dengan cinta masa lalu atau terpesona dengan lelaki lain.
Adanya pihak ketiga dalam pernikahan pun tidak jarang menyebabkan terjadinya perceraian. Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Agama (Kemenag) pernah melakukan riset terhadap 105 Kantor Urusan Agama (KUA) di 33 provinsi di Indonesia.
Dari dua juta pasangan yang menikah, 15 persen di antaranya memutuskan untuk bercerai. Kasus tertinggi disebabkan ketidakharmonisan hubungan suami istri (97.615 kasus). Sementara, kasus perceraian yang disebabkan pihak ketiga dan faktor cemburu berada di periangkat keempat dan kelima dengan masing-masing mencatat angka 25.340 kasus dan 9.338 kasus.
Pada kehidupan sekarang, perselingkuhan seolah tak menjadi tabu. Pemberitaan mengenai pesohor berselingkuh sudah terlalu sering diceritakan. Perselingkuhan pun dikhawatirkan sudah menjadi budaya masyarakat perkotaan.
Padahal, Allah SWT berfirman mengenai akad nikah antara suami dan istri dengan bahasa perjanjian atau komitmen. “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS an-Nisa: 21). Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari menjelaskan bahwa definisi perjanjian yang kuat adalah akad yang mewajibkan kedua belah pihak, yakni suami istri untuk saling menepati janji. Tentunya sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah SWT. Karena itu, dalam surah lain Allah berfirman. “Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji kalian.” (QS: al-Maidah: 1).
Yusuf Qardhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer menjelaskan, di antara perkara yang halal dan jelas adalah saat suami mencintai istrinya dan istri mencintai suami. Kondisi lainnya, ketika lelaki mencintai wanita pinangannya dan perempuan yang dipinang itu mencintai lelaki peminang. Qardhawi melanjutkan, di antara perkara haram yakni ketika seorang lelaki mencintai wanita bersuami lalu hatinya sibuk memikirkannya. Ini dapat merusak kehidupan rumah tangganya.
Tak jarang, kejadian ini juga memicu pengkhianatan suami istri. Perilaku seperti ini pun mendapat kecaman keras dari Rasulullah SAW. “Bukan dari golongan kami orang yang merusakkan hubungan seorang wanita dengan suaminya.” (HR Ahmad, al-Bazzâr, Ibn Hibbân, al-Nasa-i dalam al-Kubra dan al-Baihaqi).
Qardhawi lebih jauh menjelaskan, cinta sebenarnya memiliki permulaan yang dapat dikuasai dan dikendalikan seorang mukalaf. Memandang, bercakap-cakap, menyampaikan salam, saling berkunjung, berkirim-kiriman surat, dan bertemu, semua itu merupakan hal yang berada dalam kmampuan seseorang untuk meninggalkan atau melakukannya.
Ketika dibiarkan begitu saja dan nafsunya tidak dipisah dari hawa (kemauan buruknya) dan tidak dikendalikan dengan takwa, maka ia akan semakin berkubang dalam penyimpangan. Ketika nafsu sudah semakin bergantung kepada perasaan, jiwanya pun kehilangan kemerdekaan. Dia pun menjadi tawanan segala kemauannya. Padahal, dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang segala yang dilakukan pada hari akhir kelak. Wallahu a’lam bisshawab.