KisahMuallaf.com – Sejak kecil ia sangat suka mendengar lantunan azan. Gotfridus Goris Seran. Begitulah nama asli pria calon pastor asal Kupang tersebut. Ia mengubah namanya dengan mengambil dua nama Nabi dan Rasul sekitar 20 tahun silam, saat ia memeluk agama Islam.
“Saya ingat betul saat itu 29 November 1992, saat saya sedang kuliah pascasarjana di UI Salemba. Teman-teman saya sudah menjadi pastor di Amerika Latin, Afrika, Australia, Jepang, banyak,” ungkap Seran memulai kisahnya menemukan Islam.
Sejak kecil, Seran rupanya telah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi pastor Katolik. Tak heran, ia yang kini merupakan salah seorang pejabat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bogor menempuh pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas di seminarium, sekolah pencetak para pastor. “Seminarium itu dalam bahasa familiar mungkin disebut kaderisasi. Kalau di Islam, mungkin seperti pesantren, madrasah,” jelas Seran.
Layaknya pesantren yang mencetak para dai atau ustadz, pendidikan di seminarium membutuhkan waktu empat tahun dengan setahun persiapan. Mata pelajaran umum tetap diajarkan di sekolah khusus ini.
Setiap tahun harus melalui ujian, baik ujian umum maupun ujian agama. Jika lulus dalam ujian agama, lulusannya dianggap faqih dalam agama dan dapat menjadi juru dakwah. Bagi Seran, ujian umum bukanlah perkara sulit. Tetapi, entah mengapa ia tak lulus ujian agama atau yang disebut ujian seminari.
Seran kecil juga sangat menyukai lantunan azan yang disiarkan di radio ataupun televisi. Di daerah asalnya, Timor Timur, atau tempat tinggalnya, Kupang, azan bukanlah sesuatu yang dapat didengar setiap saat.
Hal itu lantaran tak ada masjid di sana. Maka, lantunan azan hanya bisa ia dengar lewat siaran radio ataupun televisi. Ia merasa ada “sesuatu” di balik panggilan shalat itu.
Di sekolah Katolik, Seran mengambil pelajaran Islamologi. Meski saat itu belum berislam, Seran sudah mengenal Islam dari sisi ilmu budaya. Bisa jadi, inilah langkah kecilnya untuk memulai perjalanan panjangnya menuju agama rahmatan lil alamin tersebut.
Meski tak lulus ujian seminari, yayasan Katolik pemilik sekolah seminari memberikan beasiswa sarjana karena melihat kecerdasan Seran. Ia pun melanjutkan pendidikan, tetapi bukan untuk mendalami teologi, melainkan ilmu pemerintahan.
Meraih gelar sarjana, Seran kembali mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan jenjang magister.
“Saya mendaftar S-2 di UI dan UGM. Dua-duanya diterima, tapi saya memilih UI. Padahal, kebanyakan pemuda dari tempat kita memilih UGM. Entah mengapa saya memilih UI. Jika tidak memilih ke Jakarta, mungkin cerita saya akan berbeda,” kata dia.
Sebuah mimpi
Pindah ke Ibukota membentangkan jalan kehidupan baru bagi Seran. Satu hal yang membuatnya girang, ia dapat mendengar azan, lima kali sehari, secara langsung tanpa melalui radio atau televisi.
“Tak tahu mengapa, saya merasa terhanyut sedih setiap mendengar azan. Bahkan, saya sering kali menangis tersedu-sedu sendiri di kamar kos di Salemba saat mendengar azan,” ujarnya tersipu.
Hingga suatu hari, lewat tengah malam, Seran bermimpi. Ia seakan dibawa ke suatu tempat yang sangat gelap, benar-benar gelap hingga tak mampu melihat apa pun. Kemudian, tiba-tiba muncul sebuah titik cahaya dari sebuah tempat.
Cahaya tersebut lambat laun makin besar. Dari cahaya itu, muncul sesosok tubuh berjubah, tetapi tak terlihat rupa wajahnya. Sosok tersebut kemudian berjalan menghampirinya. Sesaat kemudian, Seran terbangun. Ia terdiam dengan perasaan penuh tanya. Mimpi itu terasa sangat nyata bagi Seran. Pagi harinya, Seran menemui ibu kos dan menceritakan mimpinya. Ibu kos yang beragama Islam itu pun menjawab, “Kamu sudah dekat, Nak.”
Seran makin bertanya-tanya, pertanda apakah ini? Apanya yang sudah dekat? Sejak itu, Seran terus memikirkan mimpinya. Ia pun mencoba bertanya kepada sejumlah orang terkait mimpi itu. Akhirnya, Seran meyakini, lokasi munculnya cahaya dalam mimpinya adalah Ka’bah, kiblat umat Islam.
Sebulan setelah mimpi itu, ia pun merasa mantap untuk menjadi Muslim. “Pengalaman mimpi itu, entah apa itu hidayah atau apa, tapi dari situ akhirnya masuk Islam. Hari Minggu tanggal 29, pagi-pagi saya ke Masjid Agung Sunda Kelapa, kemudian membaca syahadat,” ungkapnya.
Seran juga mendapatkan sertifikat, sajadah, Al-Quran, dan buku tuntunan shalat. “Saya ingat betul, warna buku itu putih-ungu. Tapi, saat itu saya nggak bisa baca sama sekali. Setelah itu, saya belajar,” tutur pria murah senyum itu.
Setelah menjadi Muslim, Seran giat mempelajari Islam, cara beribadah, dan mengimani seluruh sendi rukun iman. Pada Maret mendatang, ia berniat mengajak keluarganya beribadah umrah.
Ia ingin melihat langsung Ka’bah yang ada dalam mimpinya. Seperti dalam mimpinya, ia pun ingin melihat Ka’bah dari sebuah bukit. “Saya ingin membuktikan mimpi saya.”
Lapang Dada Hadapi Tantangan
Seusai menempuh pendidikan magister, Seran pulang ke Kupang. Ia berkewajiban mengajar sebagai dosen di kampus Katolik yang telah memberinya beasiswa. Betapa tak enak hatinya saat itu. Keluarga dan pemberi beasiswa tentu berharap banyak darinya, tetapi ia justru pulang sebagai Muslim.
Sejak awal, Seran sudah menyadari bakal menghadapi risiko dan tantangan itu. Maka, ia pun tak merasa gamang. Ia siap menghadapi tantangan demi tantangan dengan lapang dada. Tekadnya semakin bulat kala sebuah mimpi kembali mengisi tidur malamnya. Kali ini, Seran melihat bumi terbelah dua.
Ia berada di satu sisi sementara keluarganya berada di sisi lain. Dari mimpi itu, pahamlah ia bahwa jalannya telah berbeda dengan keluarganya.
Sehari, dua hari, Seran merasa terasing di kampung halamannya. Dalam berkarier, ia pun tak mendapat hak ataupun kesempatan yang sama. Tak jarang orang menganggap Seran memeluk Islam hanya karena sang istri yang ia nikahi tak lama setelah berislam.
Seran membantah tudingan itu. Sebab, ia memeluk Islam dengan tulus, sepenuh jiwa dan raga. “Saya bukan karena mau menikah dengan Muslimah. Kalau masuk Islam karena wanita, itu agama jadi bernilai sangat rendah,” ujarnya.
Bertahan beberapa tahun, ia kemudian merasa jalannya semakin berat. Lagi-lagi, Seran mendapat petunjuk dari mimpi. Ia bermimpi berada dalam kondisi yang menakutkan, gelap, hujan lebat, dan petir yang sambar-menyambar.
Bumi seakan sedang mengalami masa akhirnya, Kiamat. Dalam kondisi yang sangat mencekam itu, Seran melihat asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bercahaya terang.
Ia pun lalu memutuskan untuk meninggalkan Kupang dan kembali ke Jakarta pada 2001. Ia ingin hijrah ke tempat yang lebih baik. Padahal, saat itu, Seran tak memiliki apa pun, baik pekerjaan maupun tempat tinggal di Ibukota.
Ia akhirnya memilih tinggal di Bogor, kota kelahiran sang istri. Berkat pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala , Seran segera mendapat pekerjaan. Sekali melamar menjadi dosen di Universitas Djuanda (Unida) Bogor, ia langsung diterima.
Hingga kini, ia masih mengajar di kampus tersebut, selain menjadi kepala sosialisasi di KPU Kabupaten Bogor. Kini, ia hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya: Ridho Islam Seran, Ilham Islam Seran, dan Riskia Islam Seran.
Mengenai nama anak-anaknya, Seran memang sengaja membubuhkan kata ‘Islam’, lalu diikuti nama keluarga, Seran. “Saya dan istri ingin mereka dikenal sebagai Seran Muslim. Jadi, kalau pergi ke Kupang biar diidentifikasi Islam. Ada Seran yang Muslim,” pungkasnya.