Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mayarakat, kita dapat memperhatikan bahwa era ini memang merupakan masa pasca kebenaran. Pasca kebenaran adalah sebuah frasa populer yang berarti sulitnya mencari dan menemukan kebenaran sejati dari sebuah kejadian. Kita bahkan sering mendengar istilah “tidak ada yang benar atau salah, tergantung sudut pandang”.
Sekilas, ungkapan tersebut terlihat sederhana dan mungkin ada benarnya. Tetapi, apa jadinya jika istilah tersebut kemudian disangkutpautkan dengan persoalan yang menyentuh syariat Islam dan membutuhkan hukum benar atau salah?
Kekeliruan yang dibela
Isu sosial yang viral terjadi pada sebuah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh seorang tokoh dengan pemahaman dan praktik agama yang membuat kami berani berkata bahwa jangankan menilainya dari indikator syariat yang lurus, bahkan dari kelaziman pemahaman dan praktik yang dilaksanakan oleh awam pun sangat bertentangan. Sebut saja ucapan salam yang diganti dengan kalimat-kalimat populer bagi agama yahudi, praktik salat dengan mencampuradukkan saf laki-laki dan perempuan, mengganti kalimat syahadat, menganggap bolehnya melaksanakan ibadah haji di Indramayu, hingga kalimat azan dengan redaksi sendiri. Wal ‘iyadzu billah.
Namun, meskipun demikian, tetap saja ada yang membela, bahkan dari mereka yang mengaku tokoh dan cendekiawan Islam. Pembelaan mereka bahkan memaksakan untuk mengambil pembenaran dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan penafsiran dan pemahaman mereka sendiri.
Saudaraku, bayangkan apa dampaknya pada umat Islam yang awam dengan ilmu agama atau mereka yang sudah mulai condong hatinya untuk memeluk agama Islam. Bagaimana mereka menyikapi hal ini? Terlebih yang membela adalah orang-orang yang dianggap intelektual muslim? Bukankah potensi penyimpangan itu akan semakin merajalela?
Menguak kebenaran absolut
Diskursus ini dimaksudkan untuk membawa kita untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan:
“Apakah ada kebenaran yang absolut?”
Kebenaran di mana dengannya kita dapat berpegang teguh dan menjadikannya sebagai rujukan permanen dalam menyikapi segala isu dan problematika kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Jawabannya adalah “Ya! Tentu saja, ada.” Kebenaran absolut itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pemahaman paling dasar sebagai seorang muslim yang beriman. Jelas, dalam rukun iman, sebagai komitmen mukmin kita wajib beriman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (beriman kepada Rasul).
Terhadap persoalan kebenaran absolut ini, sangat jelas. Allah Ta’ala pada awal surah Al-Baqarah menegaskan bahwa tidak ada keraguan yang patut dipersoalkan lagi dalam Al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَ ٰلِكَ ٱلۡكِتَـٰبُ لَا رَیۡبَۛ فِیهِۛ هُدࣰى لِّلۡمُتَّقِینَ
“Kitab (Al-Qur`ān) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Lebih lanjut, terhadap kebenaran risalah As-Sunnah yang telah sempurna disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala pun menegaskan bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wahyu dari Allah yang wajib kita imani dan laksanakan.
وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ ○ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡیࣱ یُوحَىٰ
“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`ān itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3 – 4)
Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan,
“Allah bersumpah dengan bintang ketika terbenam. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyimpang dari jalan hidayah dan kebenaran, tetap istikamah dan berada dalam kebenaran. Ucapannya tidak berasal dari kemauan hawa nafsunya. Al Qur’an dan sunnah itu tiada lain hanyalah wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Muyassar)
Oleh karenanya, pemahaman prinsip yang sangat mendasar ini seharusnya terpatri dengan kokoh pada hati dan jiwa seorang muslim. Sehingga, tidak mudah bagi siapapun menggoyahkan keimanannya yang kokoh.
Buah dari iman yang kokoh
Kembali pada persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama di atas, mungkin membingungkan bagi sebagian orang. Tapi, tidak untuk seorang mukmin yang berilmu. Persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama tersebut adalah masalah pokok yang tidak perlu diperbaharui.
Syariat telah dengan jelas dan paripurna menuntun kita untuk urusan ukhrawi, kita hanya tinggal mengikuti saja. Namun, orang-orang jahil tetap saja membuat masalah pokok yang tidak membutuhkan perdebatan itu muncul ke permukaan.
Entah apa maksudnya, apakah memang disengaja untuk mencari jalan memperoleh keuntungan duniawi, atau memang benar-benar tidak mengetahui bagaimana seharusnya memilih jalan yang benar dalam kehidupan beragama.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
العلم نقطة كثرها الجاهلون
“Ilmu syariat dahulu hanya satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang tidak berilmu.” (Lihat Mu’jam A’lamul Jazair karya Adil Nuhaid, hal 98)
Sebagai seorang mukmin, sepatutnya kita tunduk dan patuh pada apa yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah dikerjakan, larangan ditinggalkan. Pada prinsipnya, sesederhana itu.
Karena kebinasaan umat terdahulu tidak lain disebabkan oleh banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada nabi-nabi mereka yang berkaitan dengan perkara agama ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang aku larang, hendaklah kalian menghindarinya. Dan apa yang aku perintahkan, hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Jika tidak punya Ilmu agama, bagaimana kita bisa membedakan salah benarnya?
Syarat mutlak pada kebenaran absolut
Saudaraku, memang kebenaran absolut itu tidak ada, kecuali yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Namun, akan sangat berpotensi pada penyimpangan dan salah kaprah dalam pemahaman ketika jalan yang kita ambil dan cara kita memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak berpegang teguh pada sebuah metode (manhaj). Adapun manhaj yang telah dikenalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita adalah manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan Tirmidzi dan dia berkata hasan sahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita memahami bahwa kebenaran absolut itu adalah hanya ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
Penulis: Fauzan Hidayat
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86897-adakah-kebenaran-absolut.html