Melakukan dosa tersembunyi saat tidak bersama dengan handai taulan dan beribadah dalam suasana ramai pernah diramalkan Rasulullah SAW. Dalam hadis dari Tsauban, dikisahkan bahwa orang-orang itu menerjang apa yang diharamkan Allah SWT saat sedang bersepian. “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar Gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu berterbangan. Tsauban bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa disadari.’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian. Mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.”(HR Ibnu Majah).
Makna hadis Tsauban, yakni menerangkan sifat-sifat manusia. Di antara mereka, ada yang bermaksiat saat sendiri dan hatinya memang menentang Allah. Manusia lainnya bermaksiat saat sendiri karena dikalahkan syahwatnya. Padahal, seharusnya keimanannya mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. Namun, dalam beberapa kondisi, syahwatnya telah menguasainya dan membutakannya. Syahwat itu menjadikan pemiliknya buta dan tuli. Akhirnya, dia pun terjerembap dalam lembah dosa.
Dosa-dosa tersembunyi dilakukan seakan Allah tak bisa mengetahui apa yang disembunyikan. Sudah sejak lama seorang Muslim diajarkan bahwa Allah lebih dekat daripada urat leher seseorang. Dalam Asmaul Husna, Allah pun memiliki sifat Maha Mengetahui atau al-Khabir. Allah merupakan Zat Pencipta yang lebih tahu apa yang diciptakan. Allah juga mengetahui mana yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada. Lantas, mengapa manusia masih melakukan dosa ‘tersembunyi’?
Fariq Gazim Anuz menguraikan beberapa hal agar kita tidak melakukan dosa tersembunyi. Pertama, tobat dari dosa yang berulang. Seorang pendosa setelah menyadari dan mengakui kesalahan dan dosanya kemudian bertekad untuk tidak mengulanginya sambil beristighfar, tobatnya akan diterima dengan seizin Allah SWT. Allah yang Maha Pengampun pun memberi motivasi kepada para pendosa agar tidak berputus asa dalam bertobat. “Wahai hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan maksiat), janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS az-Zumar [39]:53).
Berikutnya, menumbuhkan perasaan selalu diawasi Allah. Adanya rasa bahwa Allah dekat dan mengawasi makhluk-Nya akan membuat kita takut berbuat dosa. Allah yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu bersama dengan kita di belahan dunia manapun kita berada. Ibnu Rajab Rahimahullah pernah berkata dalam kitabnya Syarhu Kalimat al Ikhlas. “Seorang lelaki pernah merayu seorang wanita di tengah gurun pasir pada malam hari. Namun, si wanita menolak. Lelaki itu berkata, ‘Tak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.’ Kemudian, dijawab si perempuan. ‘Lantas ke manakah pencipta bintang-bintang itu?'”
Tak hanya itu, perasaan malu pun selayaknya ditumbuhkan untuk menghindari dosa. Sebagai bagian dari iman, malu akan membuat seorang hamba menjaga diri. Sebagaimana wasiat Rasulullah SAW, “Bersikap malulah kalian kepada Allah. Para Sahabat menyatakan: Wahai Rasulullah, kami telah bersikap malu kepada Allah, Alhamdulillah. Nabi bersabda: Bukan demikian. Tapi, sesungguhnya sikap malu dengan sebenar-benarnya kepada Allah adalah menjaga kepala dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan yang dikandungnya, dan mengingat kematian dan akan datangnya kebinasaan, dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat dan meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa yang melakukan hal itu, maka ia telah bersikap malu dengan sebenar-benarnya kepada Allah.”(HR at-Tirmidizi, an-Nasai).