Makna nama Allah As-Sittiir
Di antara nama Allah adalah As-Sittiir. Nama ini terdapat penetapannya dalam hadis yang shahih, dikisahkan oleh sahabat Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ بِلاَ إِزَارٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang mandi di tempat terbuka tanpa mengenakan kain penutup. Beliau pun naik mimbar, lalu memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Hayiyun (Yang Mahamalu), Sittir (Yang Maha Menutupi). Allah mencintai sifat malu dan sifat menutupi. Jika seseorang di antara kalian mandi, maka hendaklah dia menutupi dirinya dari pandangan orang lain.“ (HR. Abu Dawud, shahih)
Kata (سِتِّيرٌ) bisa dibaca dengan mengkasrah huruf sin dan huruf ta’ dikasrah dengan tasydid (As-Sittiir) atau bisa dibaca juga dengan memfathah huruf sin dan mengkasrah huruf ta’ tanpa tasdid (As-Satiir).
Al-Baihaqi rahimahullah menjelaskan, “Allah As-Sittiir (سِتِّيرٌ) maksudnya adalah Dia banyak menutupi aib hamba-hamba-Nya dan tidak menampakkannya di hadapan manusia lain. Demikian pula, Allah Ta’ala menyukai para hamba yang menutup aib mereka sendiri dan meninggalkan hal-hal yang menghinakan dirinya sendiri. Allahu a’lam.“ (Dinukil dari An-Nahju Al-Asmaa’)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan makna nama Allah ini dalam bait-bait Nuniyyah-nya,
وَهُوَ الْحَيِيُّ فَلَيْسَ يَفْضَحُ عَبْدَهُ عِنْدَ التَّجَاهُرِ مِنْهُ بِالْعِصْيَانِ
لَكِنَّهُ يُلْقِي عَلَيْهِ سِتْرَهُ فَهُوَ السِّتِّيْرُ وَصَاحِبُ اْلغُفْرَانِ
“Dan Dialah Al-Hayiyyu (Yang Maha Pemalu), Dia tidak akan membuka aib hamba-Nya saat hamba tersebut terang-terangan dalam bermaksiat.
Namun, Dia justru melemparkan tirai penutupnya, dan Dialah As-Sittiir (Yang Maha Menutupi) dan mampu memberikan ampunan.” (Dinukil dari An-Nahju Al-Asmaa’)
Allah tidak menyukai orang yang menampakkan kemaksiatan
Allah menyukai menutup aib hamba-Nya apabila berbuat dosa dan Allah tidak suka dengan hamba yang membeberkan aibnya sendiri. Bahkan, Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang sengaja menampakkan dan terang-terangan dalam melakukan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap ummatku dimaafkan, kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Sesungguhnya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah seseorang berbuat suatu perbuatan maksiat di malam hari kemudian di pagi harinya dia menceritakan perbuatannya tersebut, padahal Allah sendiri telah menutupinya. Dia mengatakan, ‘Hai Fulan! Tadi malam saya berbuat demikian dan demikian.’ Sepanjang malam Tuhannya telah menutupi aibnya, tetapi ketika pagi hari dia justru membuka penutup yang telah Allah tutupkan padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur: 19)
Allah menutup aib hamba di dunia dan di akhirat
Apabila seorang mukmin terjatuh dalam perbuatan dosa, hendaknya dia berusaha menutupinya dan tidak membeberkan aibnya. Allah Ta’ala akan menutupinya dengan sebab-sebab yang telah Dia siapkan. Setelah itu, Allah Ta’ala akan memaafkan dan mengampuninya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyalllahu ‘anhuma,
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mendekatkan seorang mukmin kepada-Nya, lalu Allah menutupkan untuk hamba tersebut penutup-Nya. Allah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu juga mengetahui dosa ini?’ Hamba itu pun mengatakan, ‘Ya, wahai Rabbku.’ Sampai kemudian ketika Allah Ta’ala meminta dia agar mengakui dosanya dan dia pun menyangka dirinya akan celaka, maka Allah Ta’ala mengatakan kepadanya, ‘Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia, dan pada hari ini Aku ampuni dosamu.’” (HR. Bukhari)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لاَ يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِى الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika Allah menutupi dosa seorang hamba di dunia, maka Allah akan menutupinya pula pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)
Hal ini menunjukkan kabar gembira bagi orang beriman, bahwasanya barangsiapa yang Allah tutup aibnya di dunia, maka ini merupakan pertanda bahwa Dia pun akan menutup aibnya kelak di akhirat.
Jangan mengumbar aib orang lain
Selain menutup aib sendiri, hendaknya kita juga memiliki sifat agar tidak membuka dan membeberkan aib orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR Muslim)
Bahkan, Nabi secara khusus melarang untuk mencari-cari dan membuka aib orang lain sebagaimana disebutkan dalam hadis,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتاَبوُا الـْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِـعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah kepada kaum muslimin dan janganlah mencari-cari aurat (aib) mereka! Karena siapa saja yang suka mencari-cari aib kaum muslimin, maka Allah pun akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hasan shahih)
Berdoa memohon agar Allah menutup aib kita
Hendaknya kita pun banyak berdoa kepada Allah agar Allah menutup aib dan dosa kita. Di antara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan adalah membaca doa berikut ini sekali setiap pagi dan setiap petang,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِي، وَآمِنْ رَوْعَاتِي…
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf serta keselamatan di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga, dan harta bendaku. Ya Allah, tutupilah auratku …” (HR. Abu Dawud, shahih)
Syekh ‘Abdurrozzaq hafidzahullah menjelaskan bahwa dalam doa di atas terdapat permohonan agar aurat kita senantiasa ditutupi Allah, baik aurat yang sifatnya fisik maupun non fisik. Aurat fisik adalah bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan kepada orang lain. Bagi kaum wanita adalah seluruh badannya, sedangkan aurat laki-laki adalah antara lutut hingga pusar. Adapun aurat non fisik adalah aib, kekurangan, dan setiap perbuatan yang jelek apabila ditampakkan. Kita memohon agar kedua jenis aurat tersebut selalu ditutupi Allah Ta’ala.
Kita berdoa semoga Allah Ta’ala senantiasa menutup aib-aib kita dan mengampuni dosa-dosa kita.
***
Penulis: Adika Mianoki
Referensi:
Fiqhu Al-Asmaai Al-Husna karya Syekh ‘Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr
An-Nahju Al-Asmaa’ fii Syarhi Asmaaillahi Al-Husna karya Syekh Muhmmad Al-Humuud An-Najdy
Syarhu Asmaaillahi Al-Husna fii Dhoui Al-Kitabi wa As-Sunnati karya Syekh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahtany
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81266-allah-maha-menutupi-aib-hamba-nya.html