Para ulama salaf bersedih berpisah dengan Ramadhan, inilah amalah ulama salaf di sepuluh hari pertama dan terakhir bulan Ramadhan
DARI Abu Said Al Khudri bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda, ”Sesungguhnya aku telah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk menemukan mala mini (lailatul qadr), kemudian aku melakukan i’tikaf di sepuluh malam kedua. Lalu ada yang datang kepadaku, dikatakan kepadaku,’ Sesungguhnya ia (lailatul qadr) berada di sepuluh hari terakhir, barang siapa dari kalian menyukai i’tikaf maka hendaklah ia beri’tikaf (Riwayat Ibnu Hibban dan Ash Shahih).
Hadits di atas menunjukkan bahwasannya Rasulullah ﷺ, ketika belum jelas bagi beliau malam lailatul qadr, beliau melakukan i’tikaf di sepuluh hari pertama dan kedua. Namun setelah mengetahui, beliau melaksanakan i’tikaf di sepuluh hari terakhir hingga wafat. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 325).
Inilah yang juga dilakukan oleh para ulama semisal Khatib As Syarbini, ulama Mesir penulis Mughni Al Muhtaj. Tatkala terlihat hilal Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di Masjid Al Azhar, dan tidak pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni Al Muhtaj, 1/5).
Membaca Al Qur`an
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur`an. Bahkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa di tiap tahunnya Jibril Alaihissalammembacakan Al Qur`an kepada Rasulullah ﷺ, dan itu dilakukan di tiap-tiap malam selama Ramadhan.
Oleh sebab itu, dengan berpedoman dengan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa terus-menerus membaca Al Qur`an di bulan Ramadhan akan menambah kemuliaan bulan itu. (Fath Al Bari, 9/52).
Adalah Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Bahwa beliau mengkhatamkan Al-Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6 hari. (dalam Hilyah Al Auliya, 2/224).
Adapula Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini menghatamkan Al Qur`an sekali tiap pekan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau menghatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan apabila datang sepuluh hari terakhir beliau menghatamkannya sekali dalam semalam. (dalam Hilyah Al Auliya, 2/228).
Sedekah
Amalan sedekah amatlah dianjurkan di bulan Ramadhan. Demikian juga yang dilakukan oleh Imam Ahmad, ketika datang peminta-minta kepadanya, maka ia berikan dua potong roti yang telah dipersiapkan untuk berbuka. Karena menyekahkan roti itu, akhirnya Imam Ahmad pun tidak berbuka, hingga paginya berpuasa. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 314).
Sepuluh Hari Terakhir
Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasannya Rasulullah ﷺ jika berada di sepuluh hari terakhir mengencangkan ikatan sarungnya dan menghidupkan malamnya, serta membangunkan keluarganya. (Riwayat Al Bukhari).
Dengan demikian, amalan-amalan yang dikerjakan di sepuluh hari terakhir adalah beberapa hal seperti:
Menghidupkan Malam dan Membangunkan Keluarga
Apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah ﷺ di sepuluh hari terakhir diikuti oleh para ulama. Sufyan Ats Tasuri menyatakan,”Perkara yang paling aku sukai ketika di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah melaksanakan shalat tahajjud, dan bersungguh-sungguh dalam hal itu, membangunkan kelaurga dan anak untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.” (Latha`if Al Ma’arif, hal. 341).
Sebagaimana Ibnu Abbas membangunkan keluarganya dengan memercikkan air kepada mereka di malam 23 di bulan Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 365).
Menjauh dari Perempuan
Para ulama, semisal Sufyan Ats Tsauri menafsirkan “mengencangkan ikatan sarung” adalah menjauh dari perempuan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 341).
Membersihkan Diri dan Berhias
Dalam hadits disebutkan oleh Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasannya Rasulullah ﷺ mandi di antara dua Isya. (Riwayat Ibnu Abi Ashim). Yakni pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan yang dimaksud dua Isya adalah Maghrib dan Isya.
Ibnu Jarir menyatakan bahwasannya para ulama menyatakan sunnahnya mendi di setiap malam di sepulu hari terakhir pada bulan Ramadhan. Sebagaiaman An Nakha’i mandi di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.
Sedangkan Anas Bin Malik, jika memasuki malam ke dua puluh empat, maka beliau mandi dan memakai wewangian serta menggunakan pakaian baru dengan sarung yang dilapisi dengan jubah namun ketika pagi ia mengenakan pakaian yang biasa ia kenakan. Sedangkan Ayyub As Sakhthiyani mandi di malam dua puluh tiga.
Hammad bin Salamah berkata, ”Tsabit Al Bunani dan Humaid Ath Thawil mengenakan pakaian terbagus meraka dan memakai wewangian, dan mereka memberi wewangian untuk masjid di malam-malam yang diharakan sebagai lailatul qadr. Tsabit Al Bunani berkata, ”Tamim Ad Dari memiliki pakaian seharga seribu dirham, yang ia pakai di malam-malam yang diharapkan sebagai lailatul qadr. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 346, 347).
I’tikaf
I’tikaf di seluruh malam bulan Ramadhan memang disyari’atkan namun melaksanakannya di sepuluh hari terakhir lebih ditekankan. Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasannya Rasulullah ﷺ melaksanan i’tikaf di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah Ta’ala memanggil beliau. (Riwayat Al Bukhari).
Bersungguh-sungguh dalam Amalan Siang dan Malam
Imam Asy Sya’bi menyatakan bahwa malam lailatul qadr sama dengan siangnya. Demikian pula Imam Asy Syafi’i, ”Sunnah menjadikan kesungguhan dalam beribadah di malamnya sama dengan kesungguhan di siang harinya. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 368).
Perpisahan dengan Ramadhan
Para salaf dalam beribadah di bulan Ramadhan amat bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mencapai kesempurnaan, lalu mereka berharap agar amalan itu diterima. Malik bin Dinar menyatakan, ”Ketakutan akan tidak diterimanya amal lebih berat dari amalan itu sendiri.”
Jika demikian, tidaklah mengherankan jika sebagian salaf mengatakan, ”Mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar sampai kepada Ramadhan, kemudian berdoa kepada-Nya selama enam bulan agar amalan mereka diterima-Nya. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 375,376).
Pada hari raya Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan berkhutbah, ”Wahai manusia, kalian telah berpuasa selama tiga puluh hari dan kalian telah melakukan qiyam selama tiga puluh malam, dan saat ini kalian keluar untuk mengharap agar Allah menerima apa yang telah kalian perbuat.” (Latha`if Al Ma’arif, hal. 376).
Sebagian salaf pernah terlihat bersedih pada hari raya, saat itu ada yang menyatakan kepadanya, ”Sesungguhnya hari ini adalah hari untuk bergembira!” Kemudian ia pun menjawab, ”Benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang mana tuanku memerintahkanku untuk melaksanakan amalan untuknya, dan aku pun tidak tahu apakah hal itu diterima atau tidak?” (Latha`if Al Ma’arif, hal. 376).*