“Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (Ramadhan), (setelah itu) hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) asma’ Allah, mudah-mudahan kamu menjadi (hamba) yang bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 185)
ALHAMDULILLAH, tanpa terasa kita sudah berada di penghujung ramadhan, yaitu sepuluh yang akhir, memasuki babak finalis setelah sukses melewati dua fase sebelumnya yaitu babak penyisihan (sa’ah rahmat) dan babak semi final (maghfirah). Pada babak ketiga (finalis) setidaknya ada dua hal yang diburu yaitu itqun minannar (sa’ah terbebas dari api neraka), dan sa’ah meraih reward, yaitu penganugerahan malam lailatul qadar dari Allah swt kepada hamba-Nya yang dikasihi.
Bila sejenak kita renungkan kembali, bahwa ibadah puasa yang kita kerjakan, mengandung aspek ibadah fisik (badaniyah), di samping ibadah mental (rohaniyah). Melalui ibadah (fisik) kita telah mampu menahan lapar dan haus dan segala yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat semata-mata menjalankan perintah Allah. Demikian pula melalui ibadah (rohaniyah), telah pula menyesuaikan sikap, prilaku tutur kata dan kepribadian kita dengan nilai-nilai akhlak al-karimah.
Melalui work shop dan tarbiyah selama satu bulan telah memberikan support yang sangat berarti bagi dorongan berbuat kebaikan (quwwah al-malakiyah) dan sekaligus akan mengikis segala dorongan berbuat jahat (quwwah al-syaitaniyah) dengan demikian diharapkan pula mampu mengendalikan diri dari segala dorongan hawa nafsu dan fatamorgananya dunia ini.
Reputasi nilai
Pertama, menyempurnakan bilangan puasa. Bilangan ibadah puasa Ramadhan, hanya beberapa hari yang ditentukan Allah (ayyaman ma’dudat). Bermodalkan iman dan ihtisaban memberikan reputasi nilai dan energisitas kuat dalam menggapai surga, yang disiapkan Allah Swt kepada hamba-Nya yang takwa seluas langit dan bumi.
Rasulullah saw menjelaskan, law ta’lamu ummati ma fiRamadhan latamannaw anta kunassanatu kulluha Ramadhan(sekiranya umatku tahu apa saja yang terkandung dalam (bulan suci Ramadhan), sungguh ia berkeinginan (besar) agar semua bulan (dalam setahun) semuanya Ramadhan). Namun satu bulanRamadhan bisa mengungguli sebelas bulan yang lain.
Karena bulan Ramadhan merupakan “proyek” Allah tanpa harus tender, sarat dengan nilai kebajikan, sebagaimana disebutkan Rasulullah saw: Liannal hasanata mujtami’ah, wa ta’atun maqbulah, wa da’watun mustajabah, wa zunubun maghfurah, wal jannatu musytaqah (karena Ramadhan sarat dengan nilai kebajikan, ketaatan yang diterima, doa yang diijabah, dosa-dosa yang diampuni dan surga merindukannya).
Di sepuluh yang akhir, Allah swt juga menyiapkan reward, yaitu lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, khusus diberikan kepada umat Muhammad, dan tidak diberikan kepada umat sebelumnya. Barang siapa yang mendapatkannya seolah-oleh ia sudah beribadah selama 83 tahun tiga bulan. Pastikan diri kita masuk dalam daftar yang akan mendapatkan penganugerahan malam kemuliaan tersebut, setelah melewati proses ketat di babak final, dengan terus memperbanyak iktikaf, qiyamullail, membaca Alquran, berzikir dan amal shalih lainnya.
Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah swt, pada malam lailatul qadar kepada orang mukmin umat Muhamad saw, Allah ampuni kesalahanmereka, Allah berikan rahmat kepada mereka, kecuali empat golongan, yaitu peminum khamar, orang durhaka kepada orang tuanya, orang yang selalu dan terus berselisih (tanpa akhir) dan orang-orang yang memutuskan silaturrahmi (HR. dari Ibnu Abbas).
Kedua, membayar zakat fitrah. Zakat fitrah, diwajibkan bagi orang yang mampu, seperti juga halnya dengan zakat mal (harta). Zakat fitrah wajib karena berkaitan dengan ramadhan dan ibadah puasa, dengan kadar (nilai) yang dikeluarkan 2.5 kg lebih untuk setiap orang, baik dikeluarkan dengan makanan pokok (beras) yang sehari-hari dikonsumsikan maupun dengan harga setara dengan kadar yang ditentukan syara’. Bila dilihat nilainya sangat kecil, dibandingkan dalam limit waktu setahun, namun dalam pandangan Allah berat timbangannya.
Utsman bin Affan suatu ketika terlupa membayar zakat fitrah, ia baru teringat setelah shalat Id, 1 syawal. Segera ia melapor kepada Rasulullah saw, Rasulullah menegaskan: Ya Utsman, law a’taqta miata raqbatin, lam tablugh tsawaba mitsla tsawaba zakatal fitri (Wahai Utsman, seliranya hari ini kamu menggantikan dengan seratus ekor unta, tidaklah sama balasannya dengan balasan zakat fitrah yang kamu keluarkan sebelum shalat Id).
Zakat fitrah memiliki dua tujuan, (1) tuhratan lish shaimi (mensucikan bagi orang yang berpuasa) dan (2) tu’matan lil masakin (makanan bagi orang miskin). Hal ini menunjukkan satu hikmah dari puasa adalah agar orang kaya merasa iba dan kasihan kepada sesama, terutama fakir miskin dan anak yatim, sehingga dapat berhari raya secara bersama-sama di hari fitrah, hari kemenangan.
Idul Fitri 1 Syawal, merupakan hari kemenangan. Menang menundukkan hawa nafsu, menang melawan bisikan setan la’natillah, hari melahirkan kasih sayang kepada sesama –termasuk fakir miskin, anak yatim– lewat jalur zakat dan sadakah. Idul Fitri juga merupakan “reuni keluarga” dalam suasana gembira dan penuh persaudaraan. Lebih dari itu, Idul Fitri merupakan hari ta’aruf dan saling bermaafan satu sama lain, memupuskan semua dosa dan kesalahan, menggeser semua sekat yang selama ini menghijab disebabkan dendam dan permusuhan.
Ketiga, bertakbir (mengagungkan asma Allah). Gema takbir yang dikumandangkan sejak malam satu syawal setidaknya telah menggugah hati setiap insan akan kebesaran Tuhan-Nya, sekaligus sebagai rasa syukur atas hidayah-Nya, serta sukses besar melawan hawa nafsu dari berbagai syahwat selama ramadhan. Melalui gema takbir juga kita telah memproklamirkan diri ke tengah umat betapa mutlaknya kekuasaan Allah Swt di seantero alam yang fana ini.
Takbir telah menggugah hati insan yang bertakwa, takbir juga telah menimbulkan keberanian moril untuk senantiasa berpihak pada yang benar, (qulil haqqa walaukana murran), berani menempuh risiko dalam perjuangan sekalipun pahit dan getir, sesuai ikrar yang selalu diucapkan dalam shalat, inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin (sesungguhya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam).
Akhirnya renungkan pula ucapan hukama; laitsa al-‘idu liman labitsal jadid, wala akala al-qadid, wa lakinna al-‘idu liman ta’atahu tazid (tidaklah dinamakan hari raya bagi orang yang hanya memakai baju baru, tidak pula bagi orang yang memakan berbagai hidangan yang lezat tetapi hari raya itu hanya bagi orang-orang yang ketaatannya bertambah kepada Allah swt). Insya Allah, semoga kita menjadi hamba yang bersyukur dan meraih predikat takwa. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lamu bish shawab.
Oleh Abdul Gani Isa