Ketika datang ke suatu negeri, Islam tidak saja menyerap segala sesuatu di sekitarnya, tapi juga aktif memilahnya. Seluruh nilai yang dianggap kebenaran dan kebaikan disaring lagi oleh prinsip dasar Islam sebelum mendapat tempat dalam agama.
Sedangkan, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai Islam dan fitrah manusia maka terjadilah proses Islamisasi jika memungkinkan. Oleh sebab itu, seorang Muslim–sebagaimana lebah–kiranya hanya menyerap apa yang baik bagi kemaslahatan dirinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu bagaikan lebah yang selalu memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Ia hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak. (HR Imam Ahmad, disahihkan Ahmad Syakir).
Sebagaimana lebah, setiap Muslim berjalan di atas kaidah ini di dalam kehidupannya, misalnya, seperti ketika memilih makanan dan minuman. Allah berfirman: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (QS al-Baqarah: 168).
Lebih jauh lagi, seorang Muslim mampu memilah dan memilih ketika menjumpai suatu berita atau hendak menyerap suatu ilmu pengetahuan. Para ulama hadis telah purna merumuskan metode kritik sanad hadis yang begitu komprehensif dan sistematik, metode yang belum pernah ada sebelumnya bahkan melampaui di zaman di saat kemuncul annya, untuk menyaring dan memilah suatu kabar sebelum menetapkannya sebagai hadis Nabi.
Metode sanad hadis merupakan landasan vital bagi kaidah jurnalistik pada zaman ini jauh sebelum jurnalisme dijadikan sebagai cabang ilmu dunia modern. Da lam metode ini, seluruh informasi yang di klaim berasal dari Rasulullah dipilah seba gai upaya memurnikan sumber hukum Islam.
Bahkan, mengambil yang baik dan menyingkirkan yang buruk merupakan asas penting dalam tujuan syariat itu sendiri. Hal ini tampak pada penjagaan syariat terhadap pada lima hal pokok (dharurriyatul khamsah) yakni agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan. Sehingga, tampaklah bahwa seorang Muslim idealnya mampu memilah segala sesuatu berdasarkan tuntunan Islam.
Namun, untuk memilah antara baik dan buruk membutuhkan ilmu. Selanjutnya, untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang buruk setelah mengetahuinya membutuhkan taufik dan hidayah. Sebab, terkadang mengetahui kebaikan dan keburukan tidak cukup untuk mendorong seseorang untuk mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk kecuali dengan petunjuk Allah.
Berilmu, beriman, dan berdoa mengais taufik dan hidayah merupakan di antara upa ya bagi seorang Muslim untuk adil dalam memilah. Sebagaimana lebah, ia mampu membedakan tempat-tempat kebaikan, sehingga mereka tidak akan mencari sari bunga di gundukkan sampah. Wallahu a’lam.
OLEH:Â WISNU TANGGAP PRABOWO