MENJELANG perpisahannya dengan Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi Khidir ‘alaihissalam, memberi nasihat, “Hai Musa, janganlah terlalu banyak bicara, dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa, juga jangan mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang telah kamu perbuat, hai putra Ali Imran.” (Tanbighul Ghafilin: 192-193).
Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin. Dengan tertawa menunjukkan, bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang. Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang penulis untuk membuat sebuah buku. Akan tetapi, tertawa dalam pengertian mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka, geli apalagi mengandung unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya. Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga masalah tertawa.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 82).
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa, .” (HR.Abu Dzar) . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah tertawa, kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah penuh (maksudnya: tidak melirik). (Jafar Auf, Masud dari Auf Abdillah)
Berdasarkan hadis di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah, sedang tertawa terbahak-bahak makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat akalnya, seyogyanya menjauhi tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledak-ledak), kata Al-Faqih Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa mengendalikan diri dan gemar tertawa, akan membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan lupa diri, yang berarti membuka pintu bagi setan untuk masuknya godaan.
Dalam surat An-Najm (53): 59-61 Allah memperingatkan, “Apakah dengan ajaran ini, kalian takjub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis. Sedangkan kalian lengah.” (An-Najm: 59-61)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa tertawa di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis di neraka.” Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan hati seorang menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu: belum lapar sudah makan lagi dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang tak berguna). Terkadang kita mendapati seseorang yang kesibukannya membuat orang tertawa-tawa, sehingga bukan semata menjadi hiburan hati, tapi sudah mengarah pada membuat orang menjadi lengah dan lupa. Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi peringatan: “Celakalah orang yang berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!” (HR. Tirmidzi)