Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3: 280, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Penjelasan teks hadis
Sahabat Ja’far yang dimaksud dalam hadis ini adalah Ja’far bin Abu Thalib, saudara laki-laki dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Istri beliau adalah Asma’ binti Umais. Beliau (Ja’far) terbunuh mati syahid beliau berusia empat puluh satu tahun.
Kalimat (perintah), “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far!” ditujukan kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ditujukan pula untuk kerabat Ja’far, tetangga beliau, dan semacamnya, agar mereka membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far. Yang dimaksud dengan “keluarga Ja’far” di sini adalah istri beliau (Asma’ binti Umais) dan juga anak-anaknya.
“Telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”, maksudnya adalah mereka tertimpa musibah yang kemudian membuat mereka tidak sempat atau tidak terpikir untuk membuat makanan yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari.
Kandungan hadis
Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya menghidangkan atau membuatkan makanan untuk keluarga yang ditinggal mati pada hari terjadinya musibah tersebut. Hal ini karena kasih sayang kita kepada mereka dan juga karena memperhatikan kondisi mereka yang baru saja tertimpa musibah. Ini termasuk dalam kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh agama Islam untuk memperkuat hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin, dan disyariatkannya gotong royong ketika ada saudara yang sedang tertimpa musibah.
Di dalam hadis ini, tidak disebutkan lama waktu membuatkan makanan. Sebagian ulama mengatakan bahwa lamanya adalah sehari semalam. Hal ini karena dalam sebagian besar kondisi, kesedihan yang bisa membuat seseorang tidak terpikir untuk membuat makanan dan minuman itu tidak akan berlangsung sampai lebih dari sehari. Sebagian ulama mengatakan tiga hari, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab fikih mazhab Hambali dan selainnya, juga karena melihat bahwa tiga hari itu adalah masa duka cita.
Tidak boleh berlebih-lebihan di dalam membuatkan makanan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Hal ini karena berlebih-lebihan itu termasuk perbuatan yang dilarang oleh syariat. Hendaknya kita membuatkan makanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Diperbolehkan untuk orang-orang yang mengunjungi keluarga yang ditinggal mati tersebut untuk ikut makan, karena makanan itu memang dibuatkan untuk keluarga si mayit, bukan mereka buat (siapkan) sendiri.
Hukum membuatkan makanan untuk keluarga si mayit
Zahir dari perkataan ulama menunjukkan bahwa hukum membuatkan makanan untuk keluarga si mayit adalah sunah secara mutlak. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukumnya bukan sunah secara mutlak, akan tetapi sunah bagi mereka yang memang betul-betul tidak sempat untuk membuat makanan sehari-hari. Hal ini sebagaimana perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
“Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”
Sehingga jika kondisi keluarga si mayit itu memiliki makanan yang cukup, apalagi berlimpah, maka zahir hadis ini menunjukkan bahwa hal itu (membuatkan makanan untuk keluarga si mayit) menjadi tidak dianjurkan.
Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pendapat ini adalah pendapat yang kuat, menurut pandanganku, terlebih lagi jika melihat fenomena berlebih-lebihan dalam membuat makanan.” (Minhatul ‘Allam, 4: 378)
Bagaimana jika keluarga si mayit yang justru membuatkan makanan?
Makna sebaliknya dari hadis ini adalah bahwa keluarga si mayit tidak boleh membuatkan makanan untuk orang-orang, karena perbuatan ini menyelisihi sunah, dengan beberapa dampak negatif sebagai berikut:
Pertama, perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Karena yang dianjurkan oleh syariat adalah masyarakatlah yang bergotong royong membantu keluarga yang sedang tertimpa musibah ini, bukan sebaliknya.
Kedua, perbuatan tersebut bisa mengantarkan kepada perkara yang dilarang oleh para ulama, yaitu manusia berkumpul di rumah keluarga si mayit. Sahabat Jarir bin ‘Abdullah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami berpandangan bahwa berkumpul-kumpul di keluarga mayit dan membuat makanan adalah bagian dari Niyahah (ratapan).” (HR. Ibnu Majah no. 1612, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Ketiga, perbuatan tersebut adalah membelanjakan harta tidak pada tempatnya, sehingga termasuk dalam perbuatan boros dan berlebih-lebihan. Apalagi jika hal itu diambil dari harta peninggalan si mayit yang seharusnya untuk ahli waris yang miskin dan kekurangan.
Keempat, perbuatan ini menyebabkan beban yang berlebih kepada keluarga si mayit, padahal mereka sedang tertimpa musibah dengan meninggalnya anggota keluarga mereka. Perbuatan ini tentu saja tidak akan diizinkan oleh syariat dan tidak akan diterima oleh akal sehat. Wallahu ta’ala a’lam.
***
@Rumah Kasongan, 12 Sya’ban 1444/ 4 Maret 2023
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 376-379).
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83466-membuat-makanan-untuk-keluarga-yang-ditinggal-mati.html