Antara Bisikan Hati dan Keinginan Hati

PERTAMA, hadiitsun nafs (bisikan hati) itu tidak dikatakan sebagai al hamm (keinginan) dan bukan juga azimah (tekad). Ia hanyalah bisikan di dalam hati antara ingin melakukan atau tidak ingin melakukan.

Dan sekadar bisikan hati itu dimaafkan. Karena setan tiada henti membisikkan kepada hati manusia untuk melakukan dosa besar dan kemurtadan. Andai bisikan hati itu teranggap, maka ini adalah bentuk pembebanan yang tidak mungkin bisa dipikul oleh manusia.

“Sungguh Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.”

Sedangkan al hamm (keinginan) adalah tahap selanjutnya setelah bisikan hati. Yaitu setelah seseorang hatinya berbisik lalu ia menetapkan sebuah al hamm (keinginan) atau al azimah (tekad). Inilah yang bisa dikenai sanksi jika ia tidak meninggalkan keinginan untuk melakukan hal diharamkan oleh Allah.

Jika seseorang mengurungkan keinginannya untuk melakukan hal yang diharamkan, ia pun diberi pahala yang sempurna. Sebab ia mengurungkan keinginannya itu karena takut dan ikhlash kepada Allah Azza Wa Jalla-. Maka ia pun mendapat pahala yang sempurna.

Oleh karena itu, sudah semestinya kita membedakan antara bisikan hati dan keinginan hati. Adapun tentang firman Allah Taala mengenai Masjidil Haram:

“Barangsiapa berada di dalamnya lalu ia menginginkan untuk menyimpang bersama kezaliman, Allah akan menimpakan kepadanya azab yang pedih.”

Maksudnya adalah, barangsiapa yang memiliki al hamm (keinginan) yang kuat untuk melakukan sebuah penyimpangan, yaitu berupa maksiat yang nyata, maka Allah akan menimpakan azab yang pedih.

Sudah semestinya kita bedakan dua hal ini, karena Allah Taala berfirman:

“Wahai orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, Ia akan jadikan bagi kalian pembeda dan mengampuni dosa-dosa kalian.”

Allah Taala menamai Alquran sebagai Al Furqan (Pembeda) karena Alquran membedakan banyak hal, membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara manfaat dan bahaya, antara mumin dan kafir, antara hak Allah dan hak hamba, dan hal-hal yang lain yang terdapat perbedaan. Demikian.

[Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin]