Masalah keadilan Allah sejak dahulu telah menjadi topik perdebatan dan polemik yang seru dari kaum Mutakallimin: Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Memang sungguh sangat sulit berbicara tentang keadilan Allah dari sudut tinjauan manusia semata.
Sebab, nilai yang ditetapkan manusia selalu subjektif. Kehidupan manusia di dunia nampaknya seirama dengan bentuk alam dan buminya sendiri. Kalau kehidupan manusia tidak rata, maka bumi dan alam tempatnya hidup adalah cermin yang tepat.
Bukankah bumi ini rata? Kita jumpai bukit-bukit tapi juga ada lembah, ada jalan-jalan mendaki, menurun dan membelok. Ada yang cair ada juga yang padat, dan seterusnya. Alangkah janggalnya kalau semua batu-batuan jadi intan dan semua logam jadi emas. Begitulah planet bumi ini menjadi contoh kehidupan manusia, justru ketidakrataan bumi dan keragaman alam ini melahirkan kenikmatan, keindahan dan seni. Itulah keadilan Allah Swt.
Seakan, telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian, pasti mengandung kausalitas dan hikmah. Ada sebab dan ada akibat, samping bertujuan. Apabila seseorang ingin pintar, maka dia harus sekolah tinggi, pilih jurusan yang sesuai dengan bakat dan cita-cita. Maka InsyaAllah cita-cita itu akan tercapai. Adalah mustahil suatu cita-cita berhasil hanya dengan modal khayal dan bermalas-malasan, tanpa suatu kerja dan usaha.
Maka dengan demikian, wajib ada faktor usaha atau ikhtiar dan bertanggung jawab dari manusia. Usaha serta diiringi dengan doa adalah kewajiban manusia, tapi kepastian terakhir adalah di tangan Allah. Maka manusia jangan berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Kesalahan memahami takdir, dapat membawa akibat buruk dalam diri dan kehidupan manusia.
Memahami takdir
Akibat karena salah memahami takdir Allah, menyebabkan agama Islam dahulu mundur. Amir Syakib Arselan telah menulis sebuah buku berjudul: Apa Sebab Kaum Muslimin Mundur dan Mengapa Umat Lain maju? Suatu karya merupakan jawaban dari surat Syekh Basuni Imran, Mufti Negeri Sambas. Katanya, salah satu sebab kemunduran umat Islam menurut beliau, ialah karena kekeliruan iman kepada takdir juga.
Suatu ketika Umar bin Khattab dengan rombongan akan masuk sebuah kampung. Beliau lalu mendapat laporan dari seorang kurir bahwa di kampung tersebut sedang berjangkit suatu penyakit menular dan berbahaya. Setelah mendengar kabar itu, Khalifah Umar lalu mengajak rombongannya kembali. Tapi salah seorang berkata kepada beliau: “Takutkah Tuan dari takdir Allah?” Jawab Khalifah Umar: “Kita lari dari takdir Allah menuju ke takdir Allah!”
Kemenangan yang gilang-gemilang dari pahlawan-pahlawan Islam dahulu, adalah karena iman yang benar kepada takdir. Begitulah iman yang ada pada pahlawan Khalid bin Walid dalam merebut Parsi. Iman Amr Bin Ash dalam penaklukan Mesir, dan Panglima Perang Thariq bin Ziyad yang merintis penaklukan tanah Spanyol (Andalusia). Dalam hal ini, manusia harus berusaha, karena kemenangan itu adalah buah perjuangan. Allah Swt. berfirman:
اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَـنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 142).
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْ ۗ وَاِذَاۤ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚ وَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
إِنَّ اللهَ لا يُغيِّرُ مَا بِقَومٍ حَتَّى يغيروا ما بأنفسِهِمْ.
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad [13]: 11).
Bahwa, setiap peristiwa ada pula hikmah dan tujuannya. Allah telah menciptakan segala sesuatunya tidaklah sia-sia. Karena itu Allah mengingatkan: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 16).
Kepercayaan kepada takdir memberikan keseimbangan jiwa, tidak berputus asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula membanggakan diri atau sombong karena suatu kemunduran. Sebab, segala sesuatu tidak hanya bergantung pada dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan universal, mengembalikan segala persoalan kepada Allah Yang Mahakuasa.
“Agar kamu tidak menjadi putus asa atas kemalangan yang menimpamu, dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemujuran yang datang kepadamu.” (QS. Al-Hadid [57]: 23).
Percaya takdir akan membawa pada ketakwaan
Syahdan. Iman kepada takdir akan membawa peningkatan ketakwaan. Bahwa baik keberuntungan maupun kegagalan dapat dianggap sebagai ujian dari Allah. Ujian itu perlu diberikan kepada mereka yang beriman agar sejahtera dan bahagia hidupnya.
Emas umpamanya, perlu diuji. Anda kata emas enggan diangkat dari lumpur, tidak tahan dibakar dan ditempa sebagai ujian baginya, niscaya tidaklah ia akan menjadi cincin, kalung atau gelang, menjadi benda-benda yang berharga menghiasi para wanita.
Sebab itu, orang-orang beriman banyak mendapat ujian dari Allah Swt. Ujian itu akan menilai kualitas iman seseorang dan untuk mempertinggi takwa, guna menjadi modal hidup yang paling berharga. Allah Swt. berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak akan diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut [29]: 2).
Manusia hendaklah hidup dengan ikhtiar, yaitu bekerja atas syarat-syarat maksimal sambil tawakal dan berdoa. Tawakal artinya mewakilkan nasib diri dan nasib usaha kita kepada Allah, sedang kita sendiri tidak mengurang-ngurangkan usaha dan tenaga kita dalam usaha itu.
Kemudian yakin bahwa penentuan terakhir berada pada kekuasaan Allah Swt. Dialah Yang Mahakuasa. Maka tawakal dan doa adalah penting. Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menganjurkan agar manusia suka berdoa dan bertawakal. Begitulah jalannya takdir Allah.
Ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan mutlak Allah
فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya: “Maka Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. Ibrahim [14]: 4).
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِن قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرُ
Artinya: “Tidak akan mengenai sesuatu musibah di bumi ini, dan demikian pula tidak akan terjadi pada diri kamu, melainkan sudah tertulis dalam kitab, sebelum Kami wujudkan kejadian-kejadian tersebut. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 22).
Ayat-ayat tentang ikhtiar dari manusia
وَمَا تَشَاؤُنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبِّ الْعَالِمِينَ
Artinya: “Dan tidak ada yang kamu kehendaki itu kecuali telah dikehendaki oleh Allah yang mempunyai jagat raya ini.” (QS. At-Takwir [81]: 29).
قُلْ فَلِلّٰهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ ۚ فَلَوْ شَآءَ لَهَدٰٮكُمْ اَجْمَعِيْنَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka, kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am [6]: 149).
وَقُلِ الْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ اِنَّاۤ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًا ۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَآءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَ ۗ بِئْسَ الشَّرَابُ ۗ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: “Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).
يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـئَسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗ اِنَّهٗ لَا يَا۟يْـئَسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
Artinya: “Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87).
Ayat-ayat itu adalah firman Allah dalam al-Qur’an. Tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat tersebut. Artinya, kalau timbul persangkaan bahwa ayat-ayat itu berlawanan, bukanlah demikian, melainkan pikiran kita yang memikirkannya berlawanan. Untuk itu, janganlah hendaknya hanya sebagian saja dipegang, tetapi peganglah ayat-ayat itu dalam keseluruhannya.
Tak hanya itu, harus diingat pula bahwa segala masalah yang ruwet itu hanya terbit pada akal manusia. Maka hikmahnya yang terdapat dalam ayat tentang ikhtiar dari manusia, bahwa manusia diberikan kebebasan memilih free will dari dua jalan yang terbentang yaitu, yang hak dan yang batil, yang Islam dan yang kafir.
Allah tidak harus memaksakan dari salah satu jalan itu, namun Allah mengajak dan menghendaki agar manusia suka melalui jalan yang hak, jalan yang Islam. Dengan demikian, lalu manusia berhak menerima ganjaran dan pahala dari Allah Swt. Pada ayat-ayat yang menyatakan kekuasaan mutlak Allah, mengingatkan agar manusia jangan lupa daratan, jangan takabur dan sombong. Kekuasaan dan kebebasan manusia sangat terbatas.
Akhiran, sangat tepat sebagaimana yang diibaratkan oleh Buya Hamka tentang manusia dalam takdir keadilan Allah Swt: “Laksana kebebasan seorang warga dalam satu negara. Dia bebas dalam lingkungan undang-undang. Sebab itu pada hakikatnya tidaklah bebas.”
Demikian penjelasan terkait antara keadilan Allah dan ikhtiar manusia. Semoga keterangan keadilan Allah ini memberikan manfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.