Faedah dari pengajian Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhailiy malam ini di masjid Nabawi. Beliau pengajar tetap di masjid Nabawi dan Guru besar di pasca sarjana jurusan Aqidah Univ. Islam Madinah KSA. Pembahasan yang beliau bahas dalam majelis beliau semalam seputar hadits berikut.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau menjelaskan bahwa seorang mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya, ia mendapatkan pahala dikarenakan ia telah mencurahkan segala upaya, tenaga dan pikiran, untuk berusaha menepati kebenaran. Kekeliruannya bukan atas dasar kehendak dia dan bukan karena dorongan kesengajaan hati.
Berbeda dengan pengekor hawa nafsu, sejak awal yang ia inginkan bukan untuk menetapi kebenaran. Namun memang yang ia inginkan adalah menyelisihi kebenaran. Ia menyengaja dalam hal itu..
Di sinilah tampak keutamaan ikhlas.. Cukuplah keikhlasan hati sebagai kemuliaan.. Tulus dan bersihnya niat sebagai anugerah Allah terindah.. Yang mengangkat derajat seorang hamba di sisiNya. Bahwa orang yang ikhlas mendapatkan pahala pada setiap keadaan dan lika-liku kehidupannya. Benarnya berpahala…kelirunya juga mendapatkan pahala.
Dan cukuplah mengekor hawa nafsu itu sebagai musibah.. Setiap keadaan hidupnya adalah dosa. Benarnya dosa…kekeliruannya juga dosa.
(Lho bagaimana maksudnya, benarnya dosa, kelirunya juga dosa ?)
Begini sahabat… terkadang pengekor hawa nafsu keputusannya bersesuaian dengan kebenaran. Namun tindakan tersebut bukan karena dorongan niat yang tulus. Bukan pula karena memang menyengaja untuk menetapi kebenaran
Akan tetapi hanya karena faktor lain, seperti ndak enak dengan kawan karib. Atau sekedar fanatik kepada orang yang ia segani atau golongannya. Atau karena sesuai dengan kepentongannya. Jadi bukan karena niatan tulus untuk mengikuti kebenaran, namun semata karena menuruti keinginan hawa nafsu. Jadilah ia berdosa dalam benarnya dan berdosa salahnya. Disebabkan karena niat..
Berbeda dengan seorang yang ikhlas. Niatnya tulus, tujuannya luhur. Yaitu ingin menggapai kebenaran dengan mencurahkan segala uapaya. Tak berlebihan bila Syaikhuk Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
أمرهم دائر بين الأجر والأجرين
“Seorang yang ikhlas dalam ijtihadnya mengagumkan memang. Perkara mereka senantiasa antara mendapat satu pahala atau dua pahala”
Madinah, 11 Dzulqa’dah 1435.
(Kajian Syaikh Ibrahim Arruhailiy, pembahasan kitab “Bahjatul Qulub Al-Abrar” karya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah)
—
Penulis: Ahmad Anshori
Muraja’ah: Ustadz M. Abduh Tuasikal, ST, MSc
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/22547-antara-orang-yang-ikhlas-dan-pengekor-hawa-nafsu.html