Gairah haji masyarakat dari tahun ke tahun tidak pernah surut. Impian untuk melengkapi rukun Islam yang kelima ini hampir dimiliki semua kalangan. Menuju rumah suci adalah penantian abadi yang dinanti walaupun dengan mengantri. Bahkan ada yang sudah haji berkali-kali, tetap ingin berangkat lagi.
Haji menjadi magnet umat Islam. Kesadaran tentang ibadah terkadang memang sangat tinggi bahkan mengalahkan kepedulian sosial yang sejatinya adalah ibadah yang juga memiliki nilai yang sangat tinggi. Memang tidak perlu dibenturkan antara dua ibadah mahdhah dan ibadah sosial. Namun, sebaiknya umat bisa cerdas dalam memilih prioritas.
Dahulu terdapat seorang ulama salaf bernama Abdullah bin Mubarak yang akan menunaikan ibadah Haji. Dalam perjalanannya menuju tanah suci, beliau beristirahat di kota Kuffah. Di kota tersebut Abdullah melihat seorang ibu dan anak-anaknya yang terpaksa mengonsumsi bangkai seekor itik sebagai pengganjal perut.
Iapun memberanikan diri untuk bertanya kepada perempuan tersebut, “Apakah ini bangkai atau hasil sembelihan yang halal?“. “Ini bangkai, dan aku memakannya bersama keluargaku” jawab perempuan tersebut. Mendengar jawaban perempuan tersebut, Abdullah pun menegurnya dan memberitahukan bahwa apa yang dimakannya di haramkan oleh Allah.
Meski tahu keharaman daging yang dimakannya, namun perempuan itu tetap memakan bangkai tersebut karena keterpaksaan, karena jika tidak ia dan anak-anaknya tidak bisa bertahan untuk tetap hidup. Mendengar apa yang dikatakan perempuan tersebut, hati Abdullah bergetar. Beliaupun lantas mengambil perbekalannya yang dibawanya seperti makanan, dan pakaian yang akan dipakainya menuju Tanah Suci.
Setelah memberikan perbekalannya, Abdullah menyadari bahwa ia tak akan bisa melanjutkan perjalannya menuju Tanah Suci. Iapun gagal menunaikan ibadah haji tahun itu dan memutuskan untuk kembali pulang.
Sesampainya di kampung halaman, Abdullah mendapat sambutan antusias dari masyarakat layaknya orang yang baru datang dari ibadah haji. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah pun merasa sedikit malu, lantaran keadaan tak seperti yang disangkakan oleh para penyambutnya. Iapun berkata kepada penyambutnya bahwa ditahun ini ia gagal menjalankan ibadah haji.
Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyampaikan testimoni yang membuat Abdullah semakin bingung. Mereka mengaku berada di Makkah dan membantu kawan-kawannya itu membawakan bekal, memberi minum, atau membelikan sejumlah barang. Dimalam harinya Abdullah mendapat jawaban melalui mimpinya. Abdullah mendengar suara, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji.” (dinukil dari Kitab An-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad).
Perbuatan Abdullah ini selaras dengan kandungan makna bahwa ibadah sosial lebih utama dibanding ibadah individu. Kaidah ini tidak membicarakan tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting. Namun lebih kepada, keadaan mana yang lebih urgen untuk ditangani terlebih dahulu.
Dalam fiqih prioritas (al-fiqh al-awlawi), derajat urgensi suatu ibadah bervariasi: yang satu lebih utama daripada yang lain. Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.
Kebaikan yang dilakukan Abdullah merupakan suatu kebajikan yang sangat dianjurkan dalam al-Quran. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji. Allah berfirman, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.” (QS Ali Imran: 92)
Bentuk kepekaan sosial seperti apa yang dilakukan Abdullah bin Mubarak menjadi salah satu pesan bermakna dalam setiap ibadah, termasuk ibadah haji. Kesempurnaan ibadah haji diawali dengan sikap pengorbanan untuk menekan egoisme ritual ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Dengan nilai-nilai kebaikan itulah, ibadah haji akan sampai kepada kemuliaan di hadapan Allah dan mencapai kualitas haji mabrur.
Jika semua orang yang berhaji memiliki mental dan sikap seperti Abdullah bin Mubarak tentu kemiskinan tidak akan terlampaui tinggi. Bayangkan berapa dana haji yang harus dikeluarkan dan orang rela mengantri bertahun-tahun. Adakah di antara kita mengantre Panjang untuk membantu mereka yang sangat membutuhkan?