Kewajiban pemenuhan hak berlaku hingga baligh.
Sebelum memaparkan apa saja hak yang wajib dipenuhi untuk anak yatim, Prof Fahd bin Abdurrahman as-Suwaidan dalam artikelnya berjudul, Min Huquq al-Yatim fi al-Islam, menggarisbawahi tentang siapa yang dimaksud yatim.
Menurut definisi syariat, yatim ialah mereka yang tidak memiliki ayah di usia sebelum baligh. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang menyatakan, bukan termasuk yatim bila telah memasuki usia baligh, sekalipun ulama berselisih pandang terkait usia berapakah seseorang dikategorikan bukan yatim lagi. Ini bisa dirujuk dalam kajian fikih.
Sedangkan, soal hak-hak yatim yang wajib dijaga dan dipenuhi oleh pengasuhnya atau orang yang bertanggung jawab terhadap nasibnya. Kewajiban memenuhi hak tersebut berlaku hingga si yatim memasuki usia akil baligh.
Hak yang dimaksud tersebut, yaitu, pertama, larangan untuk membelanjakan harta yang ia miliki di luar tujuan kemaslahatannya. Ini sesuai dengan ayat: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. al-An’am [6]: 152).
Kedua, larangan menganiaya dan berbuat zalim terhadap yatim, apa pun bentuknya, baik dari segi ucapan maupun perbuatan. Dalam surah ad-Dhuha, Allah SWT melarang berbuat kasar terhadap yatim.
Misalnya, menghardik, mencaci maki, dan menindas mereka. Perbuatan semacam ini dikategorikan sebagai bentuk pendustaan terhadap agama.
Ketiga, hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak meliputi sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Dalam surah al-Insan ayat 8, Allah menegaskan pentingnya memberi makan kepada anak yatim.
Demikian juga, seruan untuk melindungi mereka seperti termaktub dalam surah ad-Dhuha ayat 6. “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.”
Keempat, ialah hak anak yatim terhadap jatah warisan mereka. Bagian harta waris yang ia terima tersebut wajib dijaga oleh pengasuh atau penanggungjawabnya.
Harta tersebut harus dikembalikan kepada si yatim saat ia telah dewasa. Ini seperi tertuang dalam kisah Nabi Khidir saat menolong dua anak yatim. Cerita itu ada dalam surah al-Kahfi ayat 82.
Dan, kelima, secara garis besar, hak yang mesti diterima oleh yatim ialah perlakuan baik. Anak yatim merupakan ladang untuk menuai kebaikan.
Maka, sepatutnyalah mereka terhindar dari segala bentuk sikap dan perbuatan keji yang ditujukan untuk mereka. “Dan berbuat kebaikanlah kepada ibu-bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim.” (QS al-Baqarah [2]: 83).
Ladang kebajikan
Keberadaan anak yatim di tengah-tengah masyarakat, ungkap Prof Fahd, adalah ladang kebajikan dalam Islam. Hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang hati nuraninya jernih.
Para yatim tersebut di mata Allah SWT adalah salah satu faktor pemicu kebahagiaan yang diperuntukkan untuk hamba-Nya.
Kebahagiaan itu diperoleh bagi mereka yang menyantuni anak yatim dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang.
Kepedulian dan perhatian yang diberikan itu akan mengalihkan kesedihan yatim yang bersangkutan akibat kehilangan ayah atau orang tua.
Berangkat dari fakta inilah, Islam kata Prof Fahd, menekankan pentingnya merangkul anak yatim sebagai bagian tak terlepaskan dari komunitas masyarakat.
Bahkan, secara tegas agama mengaitkan kepeduliaan dan sikap acuh tak acuh sebagai tolok ukur pendustaan seseorang terhadap nilai dan prinsip-prinsip agama.
Ini seperti tertuang dalam surah al-Ma’un ayat 1-2: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.”
Penegasan pentingnya memperhatikan nasib dan kondisi anak yatim tak hanya tertumpu pada surah al-Ma’un. Ini terlihat pula dari pengulangan kata yatim sebanyak 23 kali dalam Alquran.
Kesekian ayat tentang anak yatim yang ada dalam Kitab Suci tersebut, berkutat pada lima poin penting, yaitu menjauhkan malapetaka dari yatim, mendatangkan manfaat dalam hartanya, begitu pula jiwanya, dan saat menghadapi mahligai pernikahan.
Ayat-ayat tersebut juga menekankan seruan berbuat baik untuk si yatim dan memperhatikan aspek kejiwaan mereka.
Kepedulian terhadap yatim, merupakan tradisi yang telah mengakar di kalangan umat Islam sepanjang sejarah. Bahkan, santunan dan pengayoman terhadap mereka menjadi kebijakan negara.
Pada era pemerintahan Dinasti Mamluk, misalnya. Dinasti yang bercokol di Mesir tersebut memerintahkan bawahannya untuk memberikan paket pakaian lengkap berikut alas kaki, baik ketika musim panas maupun saat musim dingin.
Sewaktu Shalahuddin al-Ayyubi berkuasa, ia menginstruksikan pengelolaan lembaga dengan sejumlah pembina khusus yang fokus mengajar anak yatim. Ia juga membiayai dana operasional lembaga itu berikut biaya hidup mereka.
Seorang petualang Muslim, Ibnu Jabir, menuturkan, kala ia bertandang ke Damaskus, Suriah, ia melihat satu lembaga besar. Institusi swasta tersebut mengurusi anak yatim, mulai dari aspek pendidikan dan kehidupan mereka sehari-hari.
Oleh: Nashih Nashrullah