Secara bahasa terkait pertanyaan apa yang dimaksud dengan air musta’mal adalah air yang telah digunakan. Maksudnya adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu di tubuh seseorang atau sisa air bekas mandi janabah. Berikut penjelasan panjang apa yang dimaksud air musta’mal?
Sedangkan, jika air itu dipakai untuk membersihkan benda yang terkena najis, sekalipun diantara para ulama ada yang menyebutnya juga dengan air musta’mal, hakikatnya adalah air mutanajis atau air yang terkontaminasi benda najis di mana masing-masing jenis air memiliki hukum yang berbeda.
Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain selain untuk wudhu’ atau mandi janabah. Air dengan kondisi seperti itu, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan.
Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani mengatakan bahwa tujuan bersuci adalah untuk membersihkan badan. Maka, tidak masuk akal jika membersihkan badan menggunakan air yang sudah rusak dan busuk (musta’mal).
لطَّهَارَةُ مَا شُرِعَتْ اِلَّا لِتَزَيُّدِ أَعْضَاءِ الْعَبْدِ نَظَافَةً وَحُسْنًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَالْمَاءُ الَّذِيْ خَرَّتْ فِيْهِ الْخَطَايَا لَا يَزِيْدُ الْأَعْضَاءَ اِلَّا تَقْذِيْرًا تَبْعًا لِتلْكَ الْخَطَايَا اَلَّتِي خَرَّتْ فِي الْمَاءِ
Artinya: “Bersuci tidak disyariatkan kecuali untuk menambah bersih dan baiknya anggota badan seorang hamba, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan air yang sudah bercampur dengan kesalahan-kesalahan di dalamnya, tidak bisa menambah kecuali semakin kotor, karena mengikuti campuran kotoran-kotoran yang di dalam air.” (Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra As-Sya’raniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2005], juz I, halaman 130).
Apa yang Dimaksud Air Musta’mal?
Menurut pendapat ulama Hanafi, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ dan mandi) atau untuk mendapatkan pahala seperti wudhu’ yang dilakukan oleh orang yang sudah berwudhu untuk mendapatkan pahala atau untuk shalat jenazah, masuk ke dalam masjid, memegang mushaf al-Qur’an dan membacanya.
Dan air menjadi musta’mal apabila terpisah dari badan. Yang menjadi musta’mal ialah air yang menyentuh badan saja bukan semua air yang digunakan. Menurut pendapat mereka, air musta’mal adalah suci, tetapi tidak dapat menyucikan hadats dan tidak dapat untuk membersihkan najis.
Yaitu, apabila mandi atau berwudhu dengan menggunakan air itu maka hadatsnya tidak akan hilang. Tetapi menurut pendapat yang rajih dan mu’tamad, air tersebut dapat digunakan untuk menghilangkan najis dari pakaian dan badan.
Mazhab Hanafi menghitung air sebagai musta’mal sesaat air tersebut terlepas dari anggota tubuh saat digunakan untuk bersuci. Ketika air tersebut masih menempel di tubuh, air yang sedang digunakan itu belum terbilang sebagai mustakmal.
وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّ الْمَاءَ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلاً بِمُجَرَّدِ انْفِصَالِهِ عَنِ الْبَدَنِ
Artinya: “Pandangan utama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air menjadi mustakmal ketika terpisah dari tubuh.” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 359).
Menurut pendapat ulama Maliki, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu’ atau mandi) atau menghilangkan najis, baik mandi wajib seperti untuk memandikan jenazah atau bukan wajib seperti wudhu’ yang dilakukan oleh orang yang sudah wudhu, mandi sunnah jumat, mandi untuk dua hari raya, siraman kedua atau ketiga ketika mengambil wudhu’, jika memang penggunaan itu tidak menyebabkan perubahan air yang dipakai.
Air yang dianggap musta’mal ketika digunakan untuk mengangkat hadats ialah air yang menetes jatuh dari anggota badan, yang melekat pada badan, yang terpisah sedikit dari badan, atau air (dalam satu tempat) yang dimasuki oleh anggota badan. Tetapi, jika air itu diciduk dengan tangan dan angggota badan itu dibasuh di luar tempat air tersebut, maka air itu tidak menjadi musta’mal.
Menurut pendapat Mazhab Maliki, air musta’mal adalah suci dan menyucikan. Dan menurut pendapat yang rajih, menggunakan air musta’mal untuk menghilangkan najis, atau membasuh wadah dan seumpamanya adalah tidak makruh. Tetapi, apabila digunakan untuk mengangkat hadats atau mandi sunnah apabila ada air lain adalah makruh, jika memang air musta’mal itu sedikit. Alasan ia dihukumi makruh adalah karena kurang bisa diterima oleh perasaan.
وَحُكْمُهُ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ لَكِنْ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوِ اغْتِسَالاَتٍ مَنْدُوبَةٍ مَعَ وُجُودِ غَيْرِهِ إِذَا كَانَ يَسِيرًا
Artinya: “Hukum air musta’mal bagi mereka (kalangan Maliki) adalah suci dan menyucikan, tetapi makruh digunakan untuk penghilangan hadats atau pembasuhan sunah meski ada air lainnya bila air itu sedikit.” (Lihat: Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 360).
Menurut pendapat ulama Syafi’i, air musta’mal ialah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats yang fardhu seperti siraman pertama ketika mengangkat hadats. Dan menurut pendapat yang paling ashah dalam qaul jadid, air yang digunakan untuk mengangkat hadats yang sunnah seperti siraman yang kedua dan ketiga adalah suci dan menyucikan.
Hukum air musta’mal menurut qaul jadid adalah suci, tetapi tidak menyucikan, maka tidak boleh berwudhu atau mandi untuk mengangkat hadats dengan menggunakan air itu, dan air itu juga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan najis.
وَلأِنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ – مَعَ قِلَّةِ مِيَاهِهِمْ – لَمْ يَجْمَعُوا الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَل لِلاِسْتِعْمَال ثَانِيًا بَل انْتَقَلُوا إِلَى التَّيَمُّمِ ، كَمَا لَمْ يَجْمَعُوهُ لِلشُّرْبِ لأِنَّهُ مُسْتَقْذَرٌ
Artinya: “Ulama terdahulu di tengah keterbatasan air tidak menampung air musta’mal untuk penggunaan kedua kalinya. Mereka justru berpaling pada tayamum sebagaimana mereka juga tidak menampungnya untuk diminum karena air musta’mal terbilang kotor.” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 361).
Air musta’mal yang sedikit yang bercampur dengan air mutlak adalah dimaafkan. Sebab itu, jika air musta’mal dikumpulkan hingga sampai dua kullah, maka sifatnya yang menyucikan akan kembali lagi, ini adalah menurut pendapat yang paling ashah.
Madzhab Asy-Syafi’i mengatakan air musta’mal adalah air yang sedikit yang bisa dipakai untuk sesuatu yang harus dilakukan, baik secara hakekat ataupun gambaran, entah itu untuk menghilangkan hadats si pengguna atau membersihkan kotoran.
Penjelasan dari definisi ini, bahwa yang dimaksud dengan air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua kullah. Sekiranya seseorang berwudhu dan mandi dari air yang sedikit, di mana dia mengambil air dengan memakai gayung untuk membersihkan dua tangannya setelah membersihkan wajahnya dengan tangannya, maka ia adalah air musta’mal.
Menurut pendapat ulama hambali, air musta’mal ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats besar (junub) atau hadats kecil (wudhu’), atau menurut pendapat al-madzdzhab air siraman yang ketujuh ketika untuk menghilangkan najis, dan air itu tidak berubah salah satu sifatnya (warna, rasa, dan bau).
Madzhab Hambali mengatakan, bahwa air musta’mal, yaitu air yang jumlahnya sedikit yang bisa dipakai untuk membersihkan hadats, atau menghilangkan kotoran, yang terpisah tanpa berubah dari tempat pencuciannya sampai tujuh kali.
Adapun air yang terpisah sebelum cucian ketujuh adalah najis. Dan yang terpisah setelahnya adalah musta’mal. Jadi, air tidak dihukumi sebagai musta’mal kecuali setelah ia terpisah dari tempat pemakaiannya.
Contoh air musta’mal ialah air sedikit yang dimasuki oleh tangan atau digunakan untuk membasuh tangan orang bangun tidur malam, dan orang tersebut adalah Muslim, berakal, dan baligh, dan masuknya tangan ke dalam air itu sebelum tangan dibasuh tiga kali.
Syarat air menjadi musta’mal
Pertama, yaitu digunakan untuk bersuci yang wajib. Jika seseorang berwudhu untuk shalat nafilah (sunnah), atau menyentuh mushaf, atau yang semacamnya, maka air tersebut tidak menjadi musta’mal.
Kedua, hendaknya air yang pertama kali. Sekiranya seseorang membersihkan wajahnya di luar wadah sekali, kemudian meletakkan tangannya untuk mencuci pada kedua dan ketiga kali, maka airnya tidak menjadi musta’mal dengan yang demikian.
Ketiga, hendaknya sejak awal jumlah airnya sedikit. Jadi, kalo airnya ada dua kullah atau lebih, kemudian dipisah dalam satu wadah, maka ia bukan air mustakmal jika airnya diambil pakai tangan.
Yang sama seperti ini adalah air musta’mal yang sedikit dikumpulkan dalam satu wadah sehingga mencapai dua kullah. Maka, ia menjadi air yang banyak dimana tidak apa-apa menciduk air dengan tangan dari dalamnya.
Keempat, airnya terpisah dari anggota tubuh. Sekiranya masih ada air mengalir di tangannya dan tidak terpisah, maka ia bukan musta’mal. Dengan demikian, jika ada orang wudhu’ atau mandi dari air yang sedikit, kemudian dia berniat akan menciduk dari air tersebut, maka airnya bukan musta’mal.
Niat menciduk ini tempatnya dalam wudhu adalah setelah membersihkan muka, di mana dia berniat saat akan membersihkan kedua tangannya. Adapun jika niatnya pada saat berkumur-kumur, atau ketika memasukkan air ke dalam hidung, atau waktu membersihkan wajahnya, maka ia tidak boleh.
Tercampur dengan benda suci
Untuk air yang bercampur dengan benda suci, para ulama membedakan, antara air yang masih tetap dalam ke muthlaqannya dalam arti tetap suci dan mensucikan. Dan air yang suci namun aspek kemutlakannya telah hilang, hingga secara hakikat tidak lagi disebut dengan air murni yang alami.
Apabila air tersebut tercampur dengan benda suci dan nama air itu masih melekat padanya, maka air itu hukumnya tetap suci dan mensucikan. Seperti air yang tercampur dengan tanah sehingga warnanya agak keruh. Meski kelihatannya kotor atau keruh, namun pada hakikatnya air itu tetap berada dalam kemutlakannya.
Kesucian dan status mensucikan jenis air ini, setidaknya disandarkan pada hadits dari Ibnu Abbas ra: Nabi Saw. bersabda mengenai orang yang terjatuh dari kendaraannya kemudian meninggal, “Mandikanlah ia dengan air dan bidara, dan kafankanlah dengan dua lapis kainnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Tercampur dengan benda najis
Air yang tercampur dengan benda najis disebut dengan air mutanajjis. Untuk menetapkan status hukum air yang tercampur benda najis, maka dapat dibedakan dari sisi perubahan airnya. Apakah air tersebut secara umum terkontaminasi oleh najis hingga sifat kenajisan lebih dominan.
Atau sebaliknya, sifat air lebih dominan hingga najis yang mengkontaminasinya dianggap tidak ada. Para ulama sepakat bahwa jika air tersebut terkontaminasi oleh benda najis hingga yang mendominasi adalah sifat kenajisan, maka air itu statusnya adalah tidak suci, yang tentunya juga tidak bisa dipakai untuk mensucikan, sebesar apapun jumlah volume air tersebut.
Untuk bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, para ulama membuat indikator yaitu rasa, warna, dan aroma. Namun, jika ketiga indikator di atas tidak berubah, namun diyakini telah tercampur benda najis, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat terkait kesuciannya.
Demikian penjelasan terkait apa yang dimaksud air musta’mal? Semoga memberikan pengetahuan pada kita bersama terkait definis apa yang dimaksud air musta’mal. Wallahu a’lam bisshawab.