Nilai mata uang pasti akan selalu berubah saat pasar sudah mulai naik dan terjadinya perubahan pada salah satu nilai diantara keduanya juga mulai berubah. Nilai bisa saja tinggi ketika permintaan dari pasar lebih tinggi dari pada pasokan yang ada. Begitu juga sebaliknya, nilai bisa saja turun ketika permintaan yang ada dipasar juga mulai turun. Lantas apa yang menyebabkan fluktuasi nilai mata uang?
Pada perjalanannya, mata uang yang ada pada saat ini cuma dua macam, antra logam dan juga kertas. Pada biasanya, mata uang yang berupa logam digunakan saat melakukan transaksi yang nilainya tidak banyak, tapi kecil.
Saat ekonomi sudah mulai maju dan perdagangan juga mulai besar, nampaknya penggunaan uang logam tidak lagi bisa dijadikan sebagai transaksi. Akhirnya uang kertas yang dijadikan suatu solusi untuk membendung kejadian tersebut.
Dalam dinamika perekonomian sering terjadi fluktuasi terhadap nilai mata uang, baik mata uang yang berupa logam maupun mata uang yang berupa kertas. Acap sekali nilai dari mata uang sudah berubah akan mempengaruhi terhadap hak dan kewajiban.
Apa yang Menyebabkan Fluktuasi Nilai Mata Uang?
Lantas bagaimana hukum terjadinya fluktuasi nilai mata uang? Juga bagaimana pengaruhnya terhadap hak dan kewajiban?
Fluktuasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gejala yang menunjukkan turun naiknya harga. Perubahan yang terjadi dikarenakan adanya permintaan dan penawaran. Fluktuasi terjadi pada dua mata uang, logam dan kertas.
Untuk menjawab pertanyaan itu semua, Dr. Muhammad Utsman Syabir terlebih dahulu membedakan antara mata uang yang berupa logam dan kertas. Dalam salah satu karangan yang pembahasanya seputar muamalah kontemporer, yaitu Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashirah beliau membahas secara rinci.
- Fluktuasi nilai mata uang logam
Sebenarnya para ulama fikih telah membahas persoalan mata uang apabila dipinjam lalu terjadi inflasi atau deflasi, apakah pembayaran menggunakan mata uang ataukah nilainya yang telah mengalami fluktuasi.
Dalam hal ini, Utsman shabir, menyebutkan tiga pendapat yang berkaitan dengan masalah ini.(Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Dr. Muhammad Utsman Syabir, hal 167)
Ulama madzhab Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa bagi orang yang meminjam (madiin) wajib membayar dengan mata uang sesuai dengan akad, tanpa ada pengaruh fluktuasi nilai mata uang dalam pinjaman tersebut. Karena, inflasi dan deflasi yang terjadi pada mata uang merupakan riba yang dilarang oleh syariat.
Menurut Abu Yusuf, orang yang meminjam wajib melunasi pinjaman sesuai dengan fluktuasi nilai mata uang, baik inflasi atau deflasi. Hal ini untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Beda lagi dengan ulama Malikiyah, permasalahan ini tidak bisa ditetapkan namun harus diperinci terlebih dahulu, tergantung fluktuasinya sedikit atau banyak.
Apabila inflasi atau deflasinya sedikit maka harus melunasi dengan semisal jumlah uang yang dipinjam ketika akad. Akan tetapi jika fluktuasi banyak, maka harus menggunakan nilai mata uang yang telah mengalami perubahan.
Dr. Muhammad Utsman Syabir sendiri mengunggulkan pendapat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah, bahwa persoalan fluktuasi nilai mata uang harus dipilah-pilah terlebih dahulu terkait dengan sedikit dan banyaknya, yang nanti akan menentukan terhadap hukum.
Hal ini, menurut beliau, semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerugian dan mafsadat. (Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Dr. Muhammad Utsman Syabir, hal 168)
- Fluktuasi nilai mata uang kertas
Sebagaimana flutuasi yang terjadi pada nilai mata uang logam, tentang perubahan nilai pada mata uang kertas pun ulama juga berbeda pendapat. Utsman Syabir juga menyebutkan bahwa dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.
Pertama, ulama kontemporer seperti Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar berpendapat bahwa kewjiban yang ditanggung ialah membayar dengan nilai mata uang ketika terjadi inflasi atau deflasi. (Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Dr. Muhammad Utsman Syabir, hal 170)
Belaiu beralasan bahwa masyarakat umum bakal enggan untuk menerima kompensasi berupa mata uang apabila telah terjadi perubahan nilai, karena ia mengandung kerugian yang besar.
Menanggung kewajiban dengan mata uangnya bukan nilai sama sekali tidak memiliki sandaran hukum kecuali mengqiyaskan atau menyamakan kepada emas dan perak. Sedangkan mengqiyaskan mata uang kertas kepada kedua merupakan qiyas yang batil.
Kedua, pendapat ulama kontemporer yang lain seperti Dr. Muhammad Utsman Tsalus, seyogyanya membayar hutang dengan mata uang yang serupa ketika akad, bukan nilainya. Karena uang kertas memiliki hukum yang sama dengan emas dan perak.
Hal ini merupakan makna dari hadis nabi tentang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak dan seterusnya. (Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Dr. Muhammad Utsman Syabir, hal 172)
Dr. Muhammad Utsman Syabir memberikan komentar terhadap persoalan ini. Menurutnya, persoalan ini merupakan persoalan yang sulit untuk melakukan tarjih pendapat. Mata uang kertas menjadi parameter harga barang dagangan tidaklah benar sebab uang kertas kurang stabil dan acap kali terjadi inflasi atau deflasi.
Saat mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa harus membayar menggunakan semisal mata uang yang dipinjam, bakal merugikan manusia dan membenarkan kezaliman pada mereka.
Sedangkan membenarkan pendapat yang mengatakan harus membayar dengan nilai yang telah mengalami perubahan, maka akan mengantarkan pada membengkaknya sejumlah uang yang harus dibayarkan dan menghalalkan riba.
Dengan demikian, untuk menyudahi persoalan ini, Utsman Syabir mengatakan, harus kembali kepada emas dan perak sebagai tolak ukur barang dagangan dan tidak lagi mata uang kertas sebagai patokan.
Masalah yang ditimbulkan oleh uang kertas haruslah dicari solusinya sesuai dengan prinsip keadilan. (Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Dr. Muhammad Utsman Syabir, hal 173)
Demikian penjelasan terkait apa yang menyebabkan fluktuasi nilai mata uang? Semoga bermanfaat.