Dalam Islam, ghibah atau membicarakan keburukan orang lain termasuk perbuatan yang sangat dilarang. Kita tidak diperbolehkan membicarakan keburukan orang lain, baik karena sifatnya, perbuatannya, fisiknya atau pekerjaannya. Jika kita misalnya membicarakan keburukan orang lain atau ghibah, apakah ghibah itu membatalkan wudhu?
Para ulama berbeda pendapat terkait apakah ghibah membatalkan wudhu atau tidak. Setidaknya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini. (Baca: Doa Ketika Terlanjur Mendengarkan Ghibah)
Pertama, menurut satu pendapat yang bersumber dari Imam Ahmad, ghibah termasuk perkara yang membatalkan wudhu. Karena itu, jika seseorang menggunjing dan membicarakan keburukan orang lain, maka wudhunya batal dan dia harus melakukan wudhu kembali ketika hendak melakukan shalat.
Kedua, ghibah tidak termasuk bagian yang membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafiiyah. Hanya saja, meski wudhu tidak batal sebab ghibah, namun jika seseorang melakukan ghibah, maka dia disunnahkan untuk melakukan wudhu lagi. Begitu juga disunnahkan melakukan wudhu lagi jika dia berkata kotor dan jorok, seperti mengumpat dan lainnya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;
الْغِيبَةُ وَالْكَلاَمُ الْقَبِيحُ: حُكِيَ عَنْ أَحْمَدَ رِوَايَةُ أَنَّ الْوُضُوءَ يَنْتَقِضُ بِالْغِيبَةِ. وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى اسْتِحْبَابِ الْوُضُوءِ الشَّرْعِيِّ مِنَ الْكَلاَمِ الْقَبِيحِ كَالْغِيبَةِ
Ghibah dan berkata kotor: Disebutkan satu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad bahwa wudhu menjadi batal sebab ghibah. Sementara ulama Hanafiyah dan ulama Syafiiyah berpendapat mengenai anjuran melakukan wudhu secara syar’i setelah berkata-kata kotor, seperti ghibah.
Di antara dua pendapat di atas, pendapat kedua merupakan pendapat yang lebih kuat dan diikuti oleh kebanyakan para ulama. Dengan demikian, wudhu tidak batal sebab ghibah. Hanya saja, dianjurkan untuk wudhu kembali setelah ghibah agar dosa ghibah tersebut bisa gugur. Karena salah satu fungsi dari wudhu adalah menggugurkan dosa.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw bersabda;
إذَا تَوضَّأَ الْعبْدُ الْمُسْلِم، أَو الْمُؤْمِنُ فغَسلَ وجْههُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خطِيئةٍ نظر إِلَيْهَا بعينهِ مَعَ الْماءِ، أوْ مَعَ آخِر قَطْرِ الْماءِ، فَإِذَا غَسَل يديهِ خَرج مِنْ يديْهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ كانَ بطشتْهَا يداهُ مَعَ الْمَاءِ أَو مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْماءِ، فَإِذَا غسلَ رِجليْهِ خَرجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مشَتْها رِجْلاُه مَعَ الْماءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ حَتَّى يخْرُج نقِياً مِنَ الذُّنُوبِ
Jika seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, kemudian membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya tersebut semua dosa yang dilakukan pandangan matanya bersamaan dengan tetesan air terakhir. Jika ia membasuh tangannya maka keluarlah dari tangannya semua dosa yang dilakukan tangannya bersamaan dengan tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya maka keluar semua dosa yang berasal dari langkah kakinya, hinga dia keluar dalam keadaan bersih dari dosa.