Kewajiban perempuan mengenakan hijab –selain perintah Al-Quran—juga merupakan perkara yang sudah disepakati (ijma’), yang tidak ada khilafiyah
SEBAGAIMANA diketahui bahwasannya syari`at mewajibkan kepada kaum perempuan untuk menutupi rambut dan kepala serta leher. Hal itu diwajibkan di saat melaksanakan shalat serta untuk menghindari pandangan laki-laki selain mahram.
Namun, apakah ada perbedaan para ulama dalam masalah ini? Para ulama menyebutkan bahwasannya kewajiban untuk menutup seluruh anggota badan kecuali wajah.
Dan perkara itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Dan dilarang kepada laki-laki baligh untuk melihatnya.
Nukilan Ijma’ para ulama tentang wajibnya menutupi kepala perempuan
Banyak dari kalangan ulama yang menyampaikan bahwa kewajiban menutup kepala dan rambut merupakan perkara yang telah disepakati. Di antara mereka adalah:
1. Al Hafidz Ibnu Al Qaththan mengutip dari Al Muwadhdhah, ”Wajib bagi seorang perempuan untuk menutupi seluruh badannya kecuali wajahnya. Jika ia melakukan hal itu, maka shalatnya sempurna menurut kesepakatan.” (Al Iqna` fi Masa`il Al Ijma`, 1/344).
2. Ibnu Al Mundzir juga menyatakan, ”Para ulama bersepakat atas perempuan merdeka yang baligh bahwa ia mengenakan khimar (kain penutup kepala) di kepala jika melaksanakan shalat. Dan atas perempuan jika ia melaksanakan shalat sedangkan kepalanya terbuka seluruhnya maka shalatnya rusak. Dan ia harus mengulanginya.” (Al Austah fi As Sunan, 5/69).
3. Demikian pula Ibnu Hazm Adz-Dzahiri menyatakan, ”Mereka (para ulama) bersepakat bahwa rambut perempuan merdeka serta tubuhnya, kecuali wajah dan tangannya, merupakan aurat.” (Maratib Al Ijma`, hal. 29).
4. Syamsuddin Ibnu Qudamah menyatakan, ”Adapun selain wajah dan dua telapak tangan dan dua telapak kaki ia adalah aurat berdasarkan ijma`.” (Asy Syarh Al Kabir, 1/459).
5. Muwaffaquddin Ibnu Qudamah juga menyatakan, ”Para ulama bersepakat atas perempuan merdeka yang baligh bahwa ia mengenakan khimar (kain penutup kepala) di kepala jika melaksanakan shalat. Dan atas perempuan jika ia melaksanakan shalat sedangkan kepalanya terbuka seluruhnya maka ia harus mengulanginya.” (Al Mughni, 1/430).
6. Imam An Nawawi mengatakan, ”Dan haram bagi laki-laki baligh melihat aurat perempuan merdeka yang bukan mahram.” Lantas, Kamaluddin Abu Al Baqa` Ad Dumairi berkata,”Ini adalah perkara yang tidak ada khilaf di dalamnya.” Kemudian ia melanjutkan,”Dan yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aurat ketika shalat, yakni selain wajah dan dua telapak tangan.” (Najm Al Wahhaj, 7/19).
Ijma’ Sumber Hukum setelah Al-Quran dan As Sunnah
Imam As Subki menyatakan bahwa ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal aqdi dari umat Rasulullah ﷺ atas suatu persolan dari berbagai persoalan. Dan yang dimaksud dengan ahlul halli wal aqdi di sini adalah para mujtahidin. (Al Ibhaj, 2/349).
Ijma’ sendiri merupakan sumber hukum selain Al Qur`an dan As Sunnah. Berdasarkan beberapa dalil, salah satunya dari As Sunnah:
لَا تَجْتَمِعَ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ))))
Artinya: Tidaklah umatku bersepakat dalam kesesatan.
Hadits itu diriwayatkan Imam Ahmad dan lainnya melalui berbagai jalur. Al Hafidz As Sakhawi mengatakan, ”Ia adalah hadits yang masyhur matannya dan memiliki banyak syawahid (penguat dari segi matan) baik secara marfu` atau lainnya.” (Maqasid Al Hasanah, hal. 717).
Salah satu jalur periwayatan hadits ini yang diriwayatkan Imam At Tirmidzi dan Imam Al Hakim dari Ibnu Abbas dihukumi hasan sanadnya oleh Syeikh Abdullah bin Ash Shiddiq Al Ghumari. (Al Ibtihaj bi Takhrij Ahadits Al Minhaj, hal. 183).
Pentingnya Mengetahui Masalah Ijma’dalam Menggali Hukum
Siapa saja yang berfatwa dan melakukan ijtihad maka ia harus mengetahui apakah masalah itu adalah masalah ijma`, sehingga ia tinggal mengikutinya. Ataukah masalah itu masalah yang mana para ulama berbeda pendapat, sehingga ia bisa melakukan ijtihad. (Qawathi` Al Adillah, 2/306).
Imam Ibnu Qudamah menyatakan, ”Wajib begi setiap mujtahid dalam setiap persoalan melakukan tinjauan pertama kepada ijma`. Jika ia mengetahui bahwasannya hal itu adalah ijma`, maka ia tidak perlu meninjau dalil lainnya. (Raudhah An Nadhir, 2/389).
Walhasil, kewajiban perempuan mengenakan hijab merupakan perkara yang sudah disepakati, sehingga klaim bahwasannya hal itu merupakan perkara khilafiyah tidak bisa diterima. Wallahu `alam bish shawab.*/Throriq, LC, MA, pengasuh rubrik fikih Majalah Hidayatullah