Silsilah Nasab dari Nabi Muhammad hingga Nabi Adam

Nabi yang sering disebut khairul khalq (makhluk terbaik) dan sayyidul anbiyâ’ wal mursalîn (pemimpin para nabi dan rasul) memiliki nasab yang luar biasa sucinya. Nasabnya dipenuhi orang-orang termulia dari generasinya. Tidak ada satu pun darinya yang berperilaku tercela. Karena itu, umat Islam harus mengetahui nasab Rasulullah ﷺ secara terperinci. 

Dalam kitab al-Sîrah al-Nabawiyyah, Imam Ibnu Hisyam menulis nasab Rasulullah Muhammad ﷺ sebagai berikut:

هَذا كِتَابُ سِيْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه وسلّم, هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ—وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: شَيْبَةَ بن هَاشِمِ—وَاسْمُ هَاشِمِ: عُمَرُو بن عَبْدِ مَنَافِ—وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافِ: المغِيْرَةُ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْرِ بن مالِكِ بن  النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ—واسمُ مُدْرِكَةَ: عَامِرِ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدِّ بن عَدْنَانَ بن أُدَّ—ويقالُ أُدَدَ بن مُقَوِّمِ بن نَاحُوْر بن تَيْرَح بن يَعْرُبَ بن يَشْجُبَ بن نَابَت بن إِسْمَاعِيْلَ بن إِبْرَاهِيْمَ—خليلُ الرَّحمنِ—بن تَارِح—وهوَ آزَر—بن نَاحُوْر بن سَارُوْغ بن رَاعُو بن فَالِخ بن عَيْبَر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سَام بن نُوْح بن لَمَك بن مَتُّو شَلَخ بن أَخْنُوْخ—وَهو إِدْرِيْسُ النَّبِي—وَكانَ أَوَّلَ بَنِي آدَمَ أُعْطِي النُّبُوَّةَ وَخَطَّ بِالْقَلَمِ—ابن يَرْد بن مَهْلَيِل بن قَيْنَن بن يَانِش بن شِيْث بن آدَمَ عليه السلام

“Ini adalah kitab Sirah Rasulullah ﷺ, dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib—nama asli Abdul Muttalib adalah Syaibah bin Hasyim—nama asli Hasyim adalah Umar bin Abdu Manaf—nama asli Abdu Manaf adalah Mughirah bin Qusayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadlr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah—nama asli Mudrikah adalah ‘Amr bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan bin Udda—dilafalkan juga Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim—khalil al-rahman—bin Tarih—dia adalah Azar—bin Nahur bin Sarug bin Ra’u bin Falikh bin Aybar bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Mattu Syalakh bin Akhnunkh—dia adalah Nabi Idris, bani Adam pertama yang dianugerahi kenabian dan baca tulis—bin Yard bin Malayil bin Qainan bin Yanisy bin Syits bin Adam ‘alaihis salam.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, ed. Umar Abdul Salam Tadmuri, Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990, juz 1, h. 11-16)

Imam Ibnu Hisyam memang menyebutkan nasab Rasulullah secara lengkap dari Abdullah sampai Nabi Adam, tapi para ulama dan ahli sejarah sendiri berbeda pendapat perihal nasab Rasulullah di atas Adnan. Nasab Rasulullah yang disepakati para ulama hanya nasab dari Abdullah sampai Adnan, sedangkan nasab dari Adnan ke atas, para ulama berbeda pendapat. Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengomentari hal ini dengan mengatakan:

أَمَّا مَا فَوْقَ ذَالِكَ فَمُخْتَلَفٌ فِيْهِ, لَا يُعْتَمَدُ عَلَيْه في شَيْئٍ غَيْرُ أَنَّ مِمَّا لَا خِلَافَ فِيْهِ أَنَّ عَدْنَانَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ نَبِيِّ اللهِ ابْنِ إِبْرَاهِيْمَ خَليْلِ اللهِ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ والسَّلامُ

“Adapun nasab Rasulullah di atas Adnan, para ulama berbeda pendapat, tidak ada yang bisa dianggap paling shahih. Namun, semua ulama sepakat bahwa Adnan merupakan keturunan dari Ismail, Nabi Allah putra Ibrahim Khalilullah ‘alaihis salam.” (Syeikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah Ma’a Mujaz li al-Tarîkh al-Khilâfah al-Rasyîdah, Damaskus: Dar al-Fikr, 1991, h. 73)

Memang terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai nasab Rasulullah dari Adnan ke atas. Beberapa ahli bahkan mengatakan tidak ditemukan seorang pun yang mengetahui hal ini, salah satu yang berpendapat demikian adalah Sayyidina Urwah bin Zubeir bin Awam (644-713 M). Beliau berkata: “Mâ wajadnâ man ya’rifu mâ wara’a ‘adnâna—kami tidak menemukan seorang pun yang (secara pasti) mengetahui nasab Rasul dari Adnan seterusnya.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, Damaskus: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt, juz 2, h. 18). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sayyidina Abu al-Aswad bin Muhammad bin Abdul Rahman, salah seorang anak asuh Sayyidina Urwah bin Zubeir. Beliau berkata:

سَمِعْتُ أَبَا بَكْر بْنِ سُلَيْمَانَ ابْنِ أَبِي خَيْثَمَةَ, وَكَانَ مِنْ أَعْلَمِ قُرَيْشٍ بِأَنْسَبِهَا وَأَشْعَارِهَا يَقُوْلُ: مَا وَجَدْنَا أَحَدًا يَعْلَمُ مَا وَرَاءَ مَعَدَّ بْنِ عَدْنَانَ فِي شِعْرِ شَاعِرٍ وَلَا فِي عِلْمِ عَالِمٍ

“Saya mendengar Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Khaitsamah, salah seorang yang paling berpengetahuan mengenai nasab bangsa Quraish dan syair-syairnya berkata: “Tidak ditemukan seorang pun yang mengetahui nasab Rasul setelah Ma’ad bin Adnan, baik dalam syairnya para penyair maupun dalan pengetahuannya orang berilmu.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, h. 18)

Dengan demikian wajar saja jika terjadi banyak perbedaan jumlah maupun nama nasab Rasul dari Adnan ke atas yang banyak ditemukan di kitab-kitab Sirah Nabawiyyah dan hadits. Salah satu yang paling mencolok adalah riwayat Sayyidina Ibnu Abbas ra:

أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بن هَاشِمِ بن عَبْدِ مَنَافِ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْر بن مالِكِ بن النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدّ بن عَدْنَان بن أُدّ بن أُدَدَ بن الهَيْسَع بن بَنَت بن حَمَل بن قَيْذَار بن إِسْمَاعِيْل بن إِبْرَاهِيْم الخ…..

“Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin Adnana bin Udda bin Udada bin Alhaysa’ bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Isma’il bin Ibrahim ……..” (Imam al-Hafidh al-Dailami, Firdaus al-Akhbâr bi Ma’tsûr al-Khitâb al-Mukharraj ‘ala Kitâb al-Syihâb, Damaskus: Dar al-Kitab al-‘Arabi, juz 1, hlm 73)

Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ibnu Hisyam (w. 213/218 H), Adnan merupakan anak Udda yang terkadang disebut dengan Udada, sedangkan dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas, Udda merupakan anak dari Udada. Perbedaan lebih mencolok terjadi pada runtutan nasab setelah Udada. Riwayat kutipan Imam Ibnu Hisyam menyebut (riwayat pertama), “Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim.” Sementara riwayat Sayyidina Ibnu Abbas mengatakan (riwayat kedua), “Udada bin Alhaysa’ bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Isma’il bin Ibrahim.” 

Jika pun nama-nama itu merupakan nama lain, seperti dalam kasus Abdul Muttalib yang nama aslinya Syaibah, tetap saja tidak dapat menyingkirkan perbedaan, karena nama Nabat pada kedua nasab di atas menempati urutan yang berbeda. Imam al-Kinani dalam Mukhtashar-nya juga mengutip runtutan nasab yang berbeda, yaitu Adnan bin Udda bin Udada bin Alyasa’ bin Alhamaisa’ bin Salaman bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Ismail bin Ibrahim. (Imam al-Hafidh al-Dailami, Firdaus al-Akhbâr bi Ma’tsûr al-Khitâb al-Mukharraj ‘ala Kitâb al-Syihâb, juz 1, hlm 73). Artinya, di samping perbedaan urutan, terjadi juga perbedaan jumlah orang.

Selain itu, banyak juga terjadi perbedaan penulisan dari mulai Adnan ke atas, seperti Fâlikh, ‘Aibar, Râ’û, dan lainnya dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ibnu Hisyam, dan Fâligh, ‘Âbir, Râghû, dan lainnya dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas. Hal ini terjadi karena kebanyakan dari nama-nama itu adalah isim ‘ajam (nama bukan Arab). Imam Ibnu Sa’ad berkata:

سَائِرُ هَذهِ الْأَسْمَاءِ أَعْجَمِيَّةٌ وَبَعْضُهَا لَا يُمْكِنُ ضَبْطُهُ بِالْخَطِّ إِلَّا تَقْرِيْبًا

“Sisa nama-nama ini adalah nama-nama ajam (non-Arab), sebagiannya tidak mungkin ditulis dengan tepat kecuali dengan cara memperkirakannya.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, h. 22)

Dalam al-Sirah al-Nabawiyyah karya Imam Ibnu Hisyam sendiri terdapat riwayat lain yang memiliki cara penulisan berbeda dengan yang pertama, salah satunya riwayat Sayyidina Qatadah bin Dima’ah:

إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ—خليل الرحمن—ابْنِ تَارِخ—وهو آزر—بن نَاخُوْر ابن أَسْرُغ بن أَرْغُو بن فَالِخ بن عَابِر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سام بن نُوح بن لَمَك بن مَتُوشَلَخ بن أَخْنُوْخ بن يَرْد بن مَهْلَائِيْل بن قَايِن بن أَنُوش بن شَيْت بن آدَمَ

“Ismail bin Ibrahim Khalilurrahman bin Tarikh—beliau adalah Azar—bin Nakhur bin Asrugh bin Arghu bin Falikh bin ‘Abir bin Syalikh bin Arfaksyadz bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Matusyalakh bin Akhnukh bin Yard bin Mahla’il bin Qayin bin Anusy bin Syit bin Adam ‘alaihis salam.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1990, juz 1, h. 18)

Perbedaannya terletak pada penulisan nama Asrugh, Arghû, ‘Âbir, Matûsyalakh, Mahlâ’îl, Qâyin, Anûsy, dan Syît yang pada riwayat pertama ditulis Sârûgh, Ar’û, ‘Aibar, Mattûsyalakh, Mahlayil, Qaynan, Yânisy, dan Syîts. Seperti yang dikatakan Imam Ibnu Sa’ad, perbedaan itu terjadi karena nama-nama itu bukan nama Arab, melainkan nama ajam yang tidak dapat ditulis dengan tepat dalam tulisan Arab.

Dari sisi ibunya, Sayyidah Aminah, nasab Rasulullah ﷺ adalah:

هِيَ آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ. ]وَأُمُّهَا بَرَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْعُزَّي بن عُثْمَانَ بن عَبْدِ الدَّارِ بن قُصَيِّ بن كَلَاب. وَأُمُّهَا أُمُّ حَبِيْبِ بنت أَسَد بن عَبْدِ الْعُزَّي بن قُصَيِّ بنِ كِلَاب

[ “Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. [Ibunya Sayyidah Aminah adalah Barrah binti Abdul ‘Uzza bin Utsman bin Abdul Dar bin Qushayy bin Kilab. Ibunya Barrah binti Abdul ‘Uzza adalah Ummu Habib binti Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayy bin Kilab].” (Imam Abdul Aziz al-Kinânî, al-Mukhtashar al-Kabîr fi Sîrah al-Rasûl, Amman: Dar al-Basyir, 1993, h. 19)

Nasab Sayyidah Aminah bertemu dengan nasab Sayyid Abdullah, ayah Rasulullah di nama Kilab. Begitu pun dengan ibu Sayyidah Aminah, semuanya bermuara pada satu sumber, yaitu Nabi Ismail ‘alaihis salam. Setelah keterangan-keterangan di atas, sebuah hadits di bawah ini kiranya tepat menjadi penutup:

إِنَّ اللهَ اصْطَفَي كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَاصْطَفَي قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَي هَاشِمًا مِنْ قُرَيْشٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.” (HR. Imam Muslim)

Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105023/silsilah-nasab-dari-nabi-muhammad-hingga-nabi-adam
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Lima Sikap Teladan Nabi Muhammad kepada Istrinya

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik…” (QS. Al-Ahzab: 21)

Nabi Muhammad saw. menjadi teladan paripurna dalam menjalani kehidupan di dunia ini bagi seluruh umat Islam. Tidak hanya dalam urusan ibadah saja, tapi juga dalam hal muamalah atau berinteraksi sosial, termasuk berhubungan dengan istri. Nabi Muhammad saw. telah memberikan contoh bagaimana seharusnya mengarungi biduk rumah tangga dengan baik. Sehingga ‘tujuan’ menikah atau berumah tangga yaitu sakinah (ketentraman) bisa diraih. Karena bagaimanapun kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad saw. merupakan aplikasi dari nilai-nilai qur’ani.

Lantas bagaimana sesungguhnya Nabi Muhammad saw. bersikap dan berhubungan dengan istrinya? 

Setidaknya ada lima sikap teladan Nabi Muhammad saw. kepada istrinya. Pertama, menghibur istri yang sedih. Nabi Muhammad saw. adalah suami yang tahu apa yang harus dilakukan ketika istrinya sedang bersedih. Beliau selalu mendengarkan curhatan istrinya, menghibur jika istrinya tersakiti, menghapus air mata istri dan menggantinya dengan senyuman.

Terkait hal ini, ada cerita menarik. Suatu ketika Hafshah binti Umar bin Khattab, seorang istri Nabi Muhammad saw., melontarkan kata-kata yang menyakiti hati Shafiyyah, seorang istri Nabi Muhammad saw. yang lainnya. Hafshah ‘mengejek’ Shafiyyah dengan sebutan ‘anak perempuan Yahudi’. Memang, Shafiyyah adalah anak perempuan dari Huyay, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari Bani Nadhir. Namun kata-kata Hafshah itu membuatnya menangis. Kemudian Shafiyyah mengadu kepada Nabi Muhammad saw. terkait hal itu. 

“Sesungguhnya engkau (Shafiyyah) adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau pun berada di bawah naungan nabi. Maka apakah yang ia banggakan atas dirimu?” kata Nabi Muhammad saw. melipur lara istrinya yang tersakiti, Shafiyyah, merujuk buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011).

Kedua, romantis. Sikap romantis merupakan upaya untuk menjaga agar cinta terus bersemi di hati. Menjadi seorang nabi dan rasul tidak menghalangi Nabi Muhammad saw. untuk berlaku romantis kepada istrinya. Sebagaimana riwayat Sayyidah Aisyah, suatu ketika Nabi Muhammad saw. pernah menggigit daging di bekas gigitannya Sayyidah Aisyah dan minum di bekas mulutnya istrinya itu. Jika malam tiba, Nabi Muhammad saw. juga mengajak Sayyidah Aisyah jalan-jalan sambil berbincang-bincang. Itu sikap romantis yang ditunjukkan Nabi Muhammad saw. kepada istrinya, makan dan minum dalam satu wadah yang sama. 

Ketiga, tidak membebani istri. Nabi Muhammad saw. senantiasa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Tidak pernah Nabi Muhammad saw. membebani istrinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bisa dikerjakannya sendiri. Nabi menyulam pakaiannya yang robek sendiri. Menjahit sandalnya yang putus sendiri. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad saw. juga membantu istrinya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

“Rasulullah senantiasa melakukan pekerjaan rumah tangga (membantu urusan rumah tangga). Apabila waktu shalat tiba, maka beliau pun keluar untuk shalat,” kata Sayyidah Aisyah dalam sebuah riwayat.

Keempat, melibatkan istri dalam kejadian penting. Nabi Muhammad saw. kerapkali curhat kepada istrinya terkait dengan persoalan yang tengah dihadapi. Dengan bercerita kepada istrinya, Nabi Muhammad saw. berharap ada solusi yang didapatkannya. Salah satu istri Nabi Muhammad saw. yang sering menjadi teman curhat adalah Sayyidah Ummu Salamah, yang memang terkenal kecerdasannya.

Terbukti, Sayyidah Ummu Salamah pernah beberapa kali memberikan solusi atas persoalan yang menimpa Nabi Muhammad saw. Diantaranya adalah kejadian setelah ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 Hijriyah. Perjanjian Hudaibiyah dinilai para sahabat merugikan umat Islam. Alasannya, sesuai dengan isi perjanjian, umat Islam yang saat itu hendak menjalankan ibadah umrah. Mereka baru diperbolehkan umrah tahun depan. 

Setelah menandatangani perjanjian, Nabi Muhammad saw. mengajak kepada para sahabatnya untuk mencukur rambut mereka masing-masing dalam rangka bertahalul sebelum kembali ke Madinah. Namun, para sahabat enggan menuruti ajakan Nabi Muhammad saw. tersebut. Hal itu membuat Rasulullah ‘kesal’. Nabi Muhammad saw. lalu menceritakan kejadian itu kepada Sayyidah Ummu Salamah yang saat itu ikut dalam rombongan. 

Kata Sayyidah Ummu Salamah: “Wahai Rasulullah, keluarlah sehingga mereka melihatmu, namun jangan berbicara dengan seorang pun. Lalu sembelihlah untamu dan panggil tukang cukur untuk memotong rambutmu.” Rasulullah menuruti saran Sayyidah Ummu Salamah. Beliau keluar dari tendanya, tidak bicara dengan siapapun, kemudian menyembelih  untanya dan mencukur rambut. Dan benar. Setelah Rasulullah melaksanakan usulan Sayyidah Ummu Salamah, para sahabat berbondong-bondong mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Kelima, tidak pernah memukul dan menyakiti istri. Suatu ketika Sayyidah Aisyah berbicara dengan nada tinggi kepada Nabi Muhammad saw. Sayyidina Abu Bakar yang saat itu berada di kediaman Nabi Muhammad saw. mendengar dan tidak rela kalau Nabi Muhammad saw. diperlakukan seperti itu, meski oleh anaknya sendiri. Bahkan, Sayyidian Abu Bakar berusaha untuk memukul Sayyidah Aisyah. Tapi, Nabi Muhammad saw. buru-buru mencegahnya. Nabi Muhammad saw. tidak ingin istrinya tersakiti, meski oleh orang tuanya sendiri ataupun Nabi sendiri.

Sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak pernah memukul atau menyakiti  istrinya diperkuat dengan pernyataan Sayyidah Aisyah dalam sebuah riwayat. Kata Sayyidah Aisyah, Rasulullah tidak pernah memukul istrinya sekalipun. Malah beliau melipur lara istrinya yang menangis karena suatu hal. (A Muchlishon Rochmat)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/104956/lima-sikap-teladan-nabi-muhammad-kepada-istrinya
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Adab Seorang Muslim Ketika Bangun Tidur

Seorang Muslim ketika bangun tidur dianjurkan membaca doa.

Islam mengatur berbagai hal yang menyangkut hidup manusia di muka bumi ini, mulai dari sebelum hingga sesudah tidur. Berikut adab seorang Muslim yang diajarkan agama ketika bangun tidur.

Berdasarkan hadist yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW ketika bangun tidur langsung melafalkan doa “Alhamdulillahi-ladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihi-nusyur.

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang menghidupkanku dan mematikanku. Dan hanya kepadaNya lah aku kembali.”

Terkait hadis ini, Imam An Nawawi menjelaskan Rasulullah mengingatkan tidur itu mirip dengan kematian. Sedangkan hikmah doa sesudah tidur adalah sebagai pembuka amalan di hari itu berupa mengingat tauhid dan perkataan yang baik.

Ustaz Oemar Mitha mengatakan agama Islam merupakan agama sempurna yang paling detail mengatur hajat hidup manusia baik pada dirinya maupun pada lingkungannya. Dia membeberkan salah satu contoh adab seorang Muslim ketika bangun tidur adalah mencuci tangan. Hal itu dianjurkan karena ketika tidur, manusia kerap tak menyadari apa yang disentuh tangan terhadap anggota tubuhnya.

“Satu-satunya agama yang menyuruh umatnya bersih sebersih-bersihnya adalah Islam. Ketika bangun tidur, kita disuruh cuci tangan, langsung bersih,” kata Ustaz Oemar, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (16/11).

Hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang berkaitan dengan hal tersebut. Rasulullah bersabda: “Idza istayqadza ahadukum min naumihi, fala yagmis yadahu fil-ina-i hata yagsilaha salasan. Fainnahu la yadri ayna batat yadahu.”

Yang artinya: “Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka jangan mencelupkan tangan (kalian) ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali. Karena ia tidak mengetahui di mana letak tangannya semalam.”

Adapun ulama berbeda pendapat mengenai larangan mencelupkan tangan ke dalam bejana atau semua wadah yang dapt menyimpan air di dalam hadits ini. Separuh pendapat mengatakan makruh dan sisanya berkata haram.

Ulama Hanabilah berpendapat hukumnya haram dan mencuci tangan hukumnya wajib. Namun, mayoritas ulama berpendapat hukumnya makruh dan mencuci tangan hukumnya mustahab atau sunnah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh mayoritas ulama adalah Alquran surah al-Maidah ayat 6 berbunyi:

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ

Idza qumtum ila-shalati faghsiluu wujuhakum.” Yang artinya: “Jika kalian berdiri untuk shalat maka cucilah wajah-wajah kalian.”

Terlepas dari perbedaan ulama tadi, kata Ustaz Oemar, agama Islam mengatur aspek-aspek yang nyaris luput dari perhatian. Namun nilai atau esensi dari anjuran tersebut sesungguhnya sangat terasa dan bermanfaat bagi kesehatan dan kehidupan.

Adab lainnya yang dianjurkan Islam ketika bangun tidur adalah mengambil wudhu. Wudhu pada waktu ini sangat dianjurkan karena dapat menghindari rasa kantuk dan malas. Usai mengambil wudhu, seorang Muslim juga dianjurkan menunaikan shalat malam.

Hadits riwayat Abu Hurairah menegaskan hal ini. Rasulullah bersabda: 

يَعقِدُ الشَّيطانُ عَلى قافيَةِ رأسِ أَحدِكُم إذا هوَ نام ثَلاثَ عُقدٍ، يَضرِبُ كلَّ عُقدةٍ مَكانَها: عليكَ ليلٌ طويلٌ فارقُدْ، فإنِ استَيقظَ فذَكَر اللهَ انحلَّت عُقدةٌ، فإن تَوضَّأ انحلَّت عُقدةٌ، فإن صلَّى انحلَّت عُقدُه كلُّها، فأَصبحَ نَشيطًا طيِّبَ النَّفسِ، وإلَّا أَصبحَ خَبيثَ النَّفسِ كَسلانَ

Yang artinya: “Setan mengikat tengkuk kepala seseorang di antara kalian ketika sedang tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatannya ia mengatakan: malammu masih panjang, teruslah tidur. Maka jika orang tersebut bangun, kemudian ia berdzikir kepada Allah, terbukalah satu ikatan. Kemudian jika ia berwudhu terbukalah satu ikatan lagi. Kemudian jika ia shalat maka terbukalah seluruh ikatan. Sehingga ia pun bangun dalam keadaan bersemangat dan baik jiwanya. Namun jika tidak melakukan demikian, maka ia biasanya akan bangun dalam keadaan buruk jiwanya dan malas.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Istriku, dengan Siapa Engkau di Surga Nanti?

Ingin Sehidup Sesurga Denganmu

Gambaran Seorang Suami Berkata pada Istrinya:

“Wahai istriku, sekiranya aku bisa berdoa, maka aku berdoa kepada Allah agar engkau yang meninggal dahulu, barulah aku menyusul. Aku tidak ingin, apabila aku meninggal terlebih dahulu, kemudian engkau menikah lagi dengan laki-laki lain, maka engkau akan bersama suami terakhirnya di surga. Aku yang sudah menanti-nanti akan menjadi Raja bagi-mu di surga, ternyata aku harus menanggung cemburu tak tertahankan, melihat kenyataan engkau malah bersanding dengan laki-laki lainnya di surga… selama-lamanya.”

Istriku, Dengan Siapa Engkau di Surga?

Apakah benar gambaran kasus di atas? Hal ini kembali kepada pembahasan “Apabila wanita menikah lebih dari sekali, bersama siapakah ia di surga bersanding kelak di antara suaminya (apabila semua suaminya masuk surga)? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, terdapat dua pendapat terkenal:

  1. Wanita bisa memilih dengan suami yang mana kelak ia akan bersama di surga 
  2. Wanita bersama suami terakhirnya di dunia

Berikut pembahasannya:

Wanita bisa memilih dengan suami yang mana kelak ia akan bersama di surga 

Para ulama berdalil bahwa di surga kelak seseorang dapat memilih sesuai dengan apa yang ia inginkan berdasarkan keumuman ayat mengenai kehidupan di surga. 

Allah berfirman,

وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ

“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya”. [Az-Zukhruf :71]

Demikian juga hadits yang dishahihkan oleh Al-Albani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

“Wanita manapun yang ditinggal mati suaminya, kemudian si wanita menikah lagi, maka dia menjadi istri bagi suaminya yang terakhir.” [HR. Ath-Thabarani, lihat Ash-Shahihah 3/275]

Dalam kitab At-Tadzkirah fii ahwalil mauta disebutkan:

وقيل : إنها تخير إذا كانت ذات زوج

“Pendapat lainnya adalah wanita tersebut dapat memilih apabila memilki beberapa suami.”[2/278]

 (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Washith dari Abu Darda’. Dishahihan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah 3/275)

Sebagian lagi berdalil dengan hadits Ummu salamah yang mengenai bolehnya memilih suami di surga, hanya saja sebagian ulama mendhaifkan hadits tersebut:

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا

“Wahai Ummu Salamah,dia akan diberi pilihan sehingga dia memilih yang paling baik diantara mereka.” [HR. Thabarani, Al-mu’jam al-Kabir 23/367]

Wanita bersama suami terakhirnya di dunia

Dalilnya adalah perbuatan Ummu Dardaa’ yang menolak lamaran Mu’awiyah karena ingin menjadi suami Abu Dardaa’ di surga. Ia berkata, “Aku mendengar Abu Darda’ (suaminya yang telah meninggal) berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

“Seorang wanita bagi suaminya yang terakhir”. Dan aku tidak ingin pengganti bagi Abu Dardaa’” [As-Shahihah no 128]

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu juga pernah berkata kepada istrinya agar tidak menikah lagi setelah ia meninggal apabila istrinya ingin bersanding dengannya di surga.

إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تَزَوَّجِي بَعْدِي فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجَهُ فِي الْجَنَّةِ

“Jika kau ingin menjadi istriku di surga maka janganlah engkau menikah lagi setelah aku meninggal, karena seorang wanita di surga akan menjadi istri bagi suaminya yang terakhir di dunia. Karenanya Allah mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah lagi setelah meninggalnya Nabi, karena mereka adalah istri-istri Nabi di surga” [As-Shahihah no 1281]

Dari beberapa pendapat tersebut sebagian ulama merajihkan pendapat kedua yang terpilih karena sesuai dengan dhazir hadits, akan tetapi sebagian ulama lainnya yang merajihkan pendapat pertama seperti syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin dalam Fatwa beliau (2/53). Ikhtilaf ulama dalam hal ini adalah ikhtilaf yang mu’tabar (teranggap).

Catatan Penting

  1. Apabila ada laki-laki shalih yang melamar seorang wanita janda (janda ditinggal mati), kemudian wanita tersebut tidak bisa menjaga diri dengan hidup menjanda sendiri karena fitnah dan tidak mampu mendidik anak-anaknya sendiri, maka hendaknya ia menerima lamaran laki-laki tersebut. Hal ini lebih baik daripada ia berangan-angan bersama suami terakhirnya, akan tetapi ia terjerumus dalam fitnah dan maksiat.

Perhatikan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” [HR. At-Tirmidzi no. 1085 hasan]

  1. Tidak ada cemburu dan kecewa di surga karena Allah sudah mencabutnya, jadi jangan khawatir cemburu seperti gambaran kasus di atas.

Perhatikan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا اخْتِلاَفَ بَيْنَهُمْ وَلاَ تَبَاغُضَ قُلُوْبُهُمْ قَلْبُ رَجُلٍ وَاحِدٍ يُسَبِّحُوْنَ اللهَ بُكْرَةً وَعَشِيًّا

“Tidak ada perselisihan di antara mereka, tidak ada permusuhan, hati-hati mereka hati yang satu, mereka bertasbih kepada Allah setiap pagi dan petang”  [HR Al-Bukhari no 3073]

  1. Terdapat pendapata ulama lainnya yaitu ia akan bersama suami terakhir APABILA suami tersebut sama amal & akhlaknya dengan istrinya.

Syaikh Ali Firkous berkata,

وإن كان لها أزواجٌ في الدنيا فهي في الجنَّة مع آخر أزواجها إذا تَسَاوَوْا في الخُلُق والصلاح

“Apabila wanita tersebut mempunyai beberapa suami di dunia, maka ia berada di surga bersama suami terakhirnya apabila sama dalam akhlak dan amal shalih.” [sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-959]

Demikian juga ayat yang menyatakan bahwa suami & istri itu berada pada satu naungan karena samanya amal, akhlak dan balasan adalah mereka bersama dalam satu kedudukan.

Allah berfirman,

هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلاَلٍ

“Mereka bersama dengan istri-istri mereka dibawah naungan (surga).” [Yasin: 56]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52770-istriku-dengan-siapa-engkau-di-surga-nanti.html

Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Laki-Laki adalah Pemimpin Rumah Tangga (Bag. 4)

Memimpin dengan Penuh Kelembutan

Memimpin rumah tangga dengan tanggung jawab yang sedemikian besar, bukanlah artinya seorang suami harus bersikap keras dan kasar di rumah. Bahkan sebaliknya, hendaknya dia berhias dengan akhlak yang mulia, berhias dengan kelembutan, dan kasih sayang sebagaimana yang ditunjukkan oleh teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159)

Allah Ta’ala memerintahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memiliki sikap tawadhu’. Allah Ta’ala berfirman,

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’araa [26]: 215)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan umatnya agar memiliki sikap kelembutan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ

“Hendaklah kamu berbuat lembut kepadanya.” (HR. Muslim no. 2594)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi agar seseorang memiliki sikap lemah lembut kepada sesama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya kasih sayang (kelembutan) itu tidak akan berada pada sesuatu, melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, jika kasih sayang (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu, dia akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim no. 2594)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai sikap lemah lembut dalam semua perkara.” (HR. Bukhari no. 6024)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

“Allah akan memberikan pada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras dan juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya.” (HR. Muslim no. 2593)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ

“Siapa saja yang dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang), berarti dia dijauhkan dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)

Ketika seorang istri diperintahkan untuk taat kepada suami, maka sudah semestinya bagi seorang suami untuk bersikap lembut, penuh kasih sayang, dan bersikap mudah (tidak mempersulit) kepada sang istri. 

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52793-pemimpin-rumah-tangga-5.html

4 Adab dan Sopan Santun Umat Terhadap Rasulullah

BEGITU perhatiannya Allah pada Nabi Muhammad saw hingga harus mengatur adab serta sopan santun umat di hadapan nabinya.

Tak tanggung-tanggung, siapapun yang tidak berlaku sopan dan melanggar adab ini di hadapan Rasul, maka Allah telah menyiapkan ancaman yang begitu dahsyat.

Apa saja adab di hadapan Rasulullah saw?

1. Jangan Mendahului (pendapat) Allah dan Rasul-Nya.

Salah satu adab yang paling ditekankan adalah untuk tidak memutuskan sesuatu sebelum keputusan Rasulullah saw. Dan tidak pula merubah keputusan yang telah ditetapkan oleh beliau. Allah Berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah.” (QS.Al-Hujurat:1)

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang Mukmin dan perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah Menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS.Al-Ahzab:36)

2. Jangan Memanggil Rasulullah tanpa penghormatan.

Jangan samakan posisi Rasulullah dengan orang lain di sekitar kita. Berilah penghormatan yang tinggi dengan tidak memanggil nama beliau dengan kurang sopan.

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (QS.An-Nur:63)

3. Jangan meninggikan suara melebihi suara Nabi.

Hati-hati untuk tidak meninggikan suara di hadapan beliau. Ayat ini turun ketika ada segerombolan orang yang berteriak dan meninggikan suaranya dihadapan Nabi, saat itu juga Allah memberi ancaman yang besar.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi.” (Al-Hujurat:2)

Apakah ayat ini hanya berlaku ketika Nabi masih hidup? Tentu tidak, bentuk meninggikan suara itu tetap berlaku walaupun beliau telah tiada. Ayat ini juga mengajarkan kepada kita untuk tidak meninggikan suara di pusara suci beliau. Hati-hati untuk tidak berteriak-teriak di makam Nabi Muhammad saw. Selain itu, ayat ini juga mengajarkan untuk tidak mengangkat pendapat diatas pendapat Nabi sepeninggal beliau.

Namun sayangnya, makam Nabi tak lagi dihormati. Bahkan ada orang-orang khusus yang dibayar untuk berteriak dan mengusir para peziarah yang mendatangi Nabi mereka saw.

4. Jangan berbicara dengan suara keras.

“Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain.” (QS.Al-Hujurat:2)

Lalu apa ancaman Allah kepada orang-orang yang tidak sopan dengan Rasulullah saw itu? Tak tanggung-tanggung, Allah Mengancam orang-orang yang tidak sopan di hadapan Nabi dengan menghapus semua amal perbuatannya dan tidak menyisakannya sedikit pun. Puluhan tahun amal yang telah dikumpulkan akan habis jika kita berlaku tidak sopan dan meninggikan suara di hadapan Rasulullah saw.

Allah Berfirman, “Nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS.Al-Hujurat:2)

Semoga kita termasuk orang-orang yang memuliakan Nabi Muhammad saw dan selalu menghormati beliau, kapan pun dan di mana pun. Karena ingat, semua ini adalah perintah Allah yang tertulis abadi dalam ayat-ayat Alquran. Apakah kita masih akan mempertanyakan kebenarannya? []

INILAH MOZAIK

Nabi Isa Saja Ingin Menjadi Umat Nabi Muhammad

SUATU hari, Nabi Isa berjalan menuju puncak sebuah gunung untuk beribadah. Di sana, ia menemui batu besar putih yang warnanya mirip air susu.

Nabi mengamati keindahannya dengan mengitarinya secara perlahan. Belum selesai mengitarinya, Allah lalu berfirman, “Wahai Isa, senangkah engkau jika Aku menunjukkan padamu sesuatu yang menakjubkan?”

“Tentu, wahai Tuhanku.”

Tidak lama kemudian batu besar itu terbelah dengan sendirinya. Tampaklah di dalamnya seorang laki-laki yang sedang salat, rambutnya telah memutih, di sisinya sebuah tongkat biru dan anggur segar. Setelah beribadah, Nabi Isa menyapanya. “Wahai Syekh, bagaimana Anda bisa bertahan hidup di dalam batu ini?”

“Bukankah Anda melihat anggur segar di hadapanku? Inilah rezekiku sepanjang hari,” kata manusia dari dalam batu itu.

“Sejak kapan Anda beribadah pada Allah di dalam batu ini?” tanya Nabi Isa kembali.

“Sejak empat ratus tahun lalu.”

“Ya Allah,” kata Nabi spontan dengan suara parau dan penuh rasa takjub. Putra Maryam as itu melanjutkan, “Sungguh, saya tidak mampu membayangkan ada makhluk Allah yang lebih mulia darimu.”

Kemudian Allah menurunkan wahyu pada Isa, “Sesungguhnya kelak akan datang suatu umat, yaitu umat Muhammad saw. Jika mereka beribadah pada-Ku dengan sungguh-sungguh, kedudukan mereka lebih mulia di sisi-Ku daripada orang yang beribadah selama empat ratus tahun ini.”

“Ya Allah, betapa beruntungnya umat Muhammad dan betapa bahagianya saya jika Engkau menjadikanku sebagai bagian dari umat Muhammad,” kata Nabi Isa separuh meminta.[]

INILAH MOZAIK

Apakah Nabi Muhammad Pernah Lakukan Kesalahan? (dibaca hingga selesai!)

Khazanahalquran menulis, bahwa sebagian orang meyakini bahwa Rasulullah saw pernah melakukan kesalahan.

Mereka berpendapat bahwa beliau maksum (terjaga dari salah dan dosa) hanya ketika diutus sebagai nabi, sebelum itu beliau dikatakan “tidak terjaga” dan bisa saja melakukan kesalahan. Bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa Nabi Muhammad itu tidak beriman sebelum menjadi nabi.

Untuk mencari jawaban dari pernyataan ini, marilah kita renungkan sejenak ayat-ayat berikut ini.

Sejak Nabi Musa as lahir, Allah telah merencanakan skenario yang begitu indah untuk menyelamatkan nabi-Nya dari keganasan Firaun.

Dia memerintahkan ibu Musa untuk menghanyutkannya di sungai hingga diselamatkan oleh istri Firaun sendiri. Hingga dewasa pun, Firaun tidak pernah mampu menggagalkan dakwah Nabi Musa kepada umatnya.

Semua ini dapat terjadi karena Musa berada langsung dibawah pengawasan dan penjagaan Allah swt. Seperti dalam Firman-Nya,

“Dan agar engkau (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS.Thaha:39)

Sekarang kita mulai akan menyimpulkan bahwa ternyata Nabi Musa as telah berada dalam “penjagaan” dan “pengawasan” Allah sejak masih bayi. Sementara kita tau bahwa Nabi termulia dari deretan para Nabi adalah Nabi Muhammad saw.

Mungkinkah Nabi Musa berada dalam pengawasan Allah sejak bayi sementara Nabi Muhammad baru memdapatkannya setelah menjadi Nabi?

Mungkinkah Nabi Musa ‘dijaga’ oleh Allah sejak awal kelahirannya sementara Nabi Muhammad baru mendapat penjagaan setelah diutus sebagai Rasul?

Sungguh hal yang mustahil

Karena Allah pun menggunakan kata yang sama seperti yang digunakan kepada Nabi Musa, yaitu dengan kata dibawah “Penglihatan” atau “Pengawasan”-Ku) seperti dalam Firman-Nya,

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu Ketetapan Tuhan-mu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (QS.At-Thur:48).

Jika Nabi Musa dibawah pengawasan Allah sejak bayi, maka Nabi Muhammad pasti mendapat kemuliaan yang lebih agung dari Musa. Beliau telah terjaga dari segala kesalahan, bahkan ketika masih kanak-kanak dan belum diutus sebagai Nabi.

Bagaimana Nabi Muhammad akan melakukan kesalahan sementara beliau adalah makhluk termulia dan ciptaan paling sempurna yang telah mendapat stempel dari Allah sebagai Uswatun Hasanah, contoh bagi seluruh umat manusia. “Allah telah mendidikku dan itulah sebaik-baik didikan” (Rasulullah saw).

Dalam berbagai Firman-Nya, Allah selalu mengagungkan Nabi Muhammad saw, Lalu mengapa kita pelit untuk mengagungkan seorang yang telah diagungkan oleh Allah dengan kemuliaan yang tak terhingga? []

INILAH MOZAIK

Kenapa Kita Harus Meneladani Rasulullah?

Setidaknya ada enam alasan kaum Muslimin perlu meneladani Rasulullah SAW.

Umat Islam di berbagai belahan dunia hari-hari belakangan ini tengah memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi sangat semarak. 

Hari kelahiran Rasulullah SAW diperingati di berbagai masjid, surau/mushala, majelis taklim, pondok pesantren/sekolah, hingga kantor-kantor pemerintah. Pada umumnya, para dai yang tampil mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu mengajak kaum Muslimin untuk meneladani kehidupan Rasulullah SAW.

Pemkot Depok, Jawa Barat, menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tingkat Kota Depok di Lapangan Balaikota Depok, Jalan Margonda Raya Depok, Kamis (14/11). Penceramahnya adalah Dr KH Saroni NA, MA. Ia mengupas tema “Meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam kehidupan personal dan social untuk Depok unggul, nyaman dan religius.”

Menurut Dr Saroni, paling tidak ada enam alasan mengapa kaum Muslimin perlu meneladani Rasulullah.  Pertama, Rasulullah  adalah manusia yang paling baik ibadahnya.  Bahkan sampai-sampai bengkak kakinya.

“Kedua, Rasul adalah orang yang paling bertakwa di antara orang-orang  bertakwa,” kata pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Sa’id Yusuf, Parungbingung, Depok.

Ketiga, Rasulullah adalah manusia yang paling mulia dan terpuji baik di langit maupun di bumi,di dunia dan di akhirat. “Keempat, Rasulullah adalah manusia yang paling suci dan manusia yang diharapkan syafaatnya di hari kiamat kelak,” ujar Saroni dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Kelima, kata dia, Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya mahluk Allah di muka bumi ini.  Baik akhlaknya  maupun bentuknya.

Adapun yang keenam, Rasulullah adalah manusia yang sabar dalam menyampaikan dakwah. Ia tidak pernah dendam, apalagi sakit hati.

Jika sifat-sifat  ini kita teladani, kita ikuti dan aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, maka kita akan menjadi manusia mulia di atas dunia ini.  Maka, mari kita jadikan  momentum maulid untuk meneladani tata cara kehhidupan  Rasulullah SAW,” kata doktor pendidikan jebolan Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor itu.

KHAZANAH REPUBLIKA


6 Kelompok Manusia ini Masuk Neraka tanpa Hisab, Siapa Saja?

Kelompok manusia masuk neraka karena amal mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada enam kelompok manusia yang akan masuk neraka tanpa melalui proses penghitungan amal ibadah (hisab). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kezaliman di dunia dan selalu merugikan banyak orang. Mereka bukan tidak mengerjakan amal ibadah yang diwajibkan dan amalan-amalan sunnah yang lain. Namun, amal ibadah yang mereka kerjakan sulit untuk mengalahkan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.

Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-Abidin, keenam kelompok orang itu (seperti dalam hadis yang diriwayatkan ad-Dulaimi) adalah : Pertama, pemimpin yang dzalim. Mereka adalah pemimpin yang tidak amanah di saat memegang jabatan. Jabatan yang dimiliki digunakan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya bukan untuk kepentingan umat. 

Padahal, dalam pandangan Islam, jabatan merupakan sebuah amanah yang besar.  Pertanggungjawabannya bukan hanya kepada manusia melainkan juga kepada Allah SWT. Itulah mengapa para sahabat enggan untuk memegang jabatan sebagai pemimpin untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW. 

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa jenazah Rasulullah baru dimakamkan tiga hari setelah beliau wafat. Ini disebabkan para sahabat menunggu siapa pemimpin sesudah Rasulullah. 

Kedua, pengusaha yang khianat. Segala bentuk usaha yang dilakukan bertentangan dengan apa yang sudah ditentukan dalam Islam. Usahanya menggunakan cara-cara tidak terpuji seperti menipu.

Kalau ia seorang pedagang buah, di atas keranjang buah selalu ditempatkan buah-buah yang masih baru dan segar tetapi di bagian bawah, buahnya dalam keadaan jelek bahkan ada yang busuk. Islam pun melarang setiap pedagang untuk mengurangi timbangan karena dengan berbuat itu akan merugikan konsumen. 

Kegiatan menimbun barang juga merupakan perbuatan yang ditentang dalam ajaran Islam. Alasannya, kegiatan itu biasanya digunakan untuk meresahkan masyarakat aibat mahalnya harga barang. Tindakan itu merugikan masyarakat.

Ketiga, penguasa kecil yang mempunyai kesombongan besar. Terkadang kita jumpai di masyarakat bahwa pemimpin-pemimpin daerah justru ingin diperlakukan dengan istimewa bahkan terkadang melebihi pemimpin yang memiliki kekuasaan yang lebih besar. Mereka sombong dengan jabatan yang dikuasai. Padahal yang berhak sombong tidak lain adalah Allah SWT.

Keempat, fanatisme golongan. Mereka memiliki rasa fanatisme yang berlebihan terhadap sebuah kelompok atau golongan. Apa pun akan mereka lakukan asalkan demi golongannya. Mereka berjuang bukan untuk mencari ridha Allah SWT melainkan untuk kepentingan golongan. Ketika umat Islam dizalimi mereka tidak beraksi tapi kalau kelompok mereka diganggu dan dianiaya mereka berjuang habis-habisan untuk membela kelompoknya.

Kelima, orang awam karena kebodohannya. Mereka hanya ikut-ikutan dengan sekolompok orang yang mereka anggap benar. Akibatnya, mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Di dalam Alquran, Allah SWT menjelaskan, akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Karena itu, mencari ilmu dalam Islam juga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

Keenam, ulama yang mempunyai hati dengki. Ulama menurut arti bahasa adalah orang yang berilmu. Setiap ilmu yang dimiliki harus digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan individu ataupun kelompok. 

Dan, pastinya ilmu yang dimiliki akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Apa yang dikatakan Rasulullah SAW itu sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Saat ini keenam kelompok itu bermunculan di negeri ini. 

KHAZANAH REPUBLIKA