Rasulullah Melarang Salat di Tiga Waktu ini

SALAT Tathawwu tidak boleh di lakukan di waktu-waktu yang dilarang mendirikan salat, dan ini berlaku untuk salat yang tidak mempunyai sebab, seperti salat tasbih karena larangan untuk salat padanya cukup tegas sementara semua ini lemah sehingga tidak kuat melawannya. Adapun salat yang mempunyai sebab seperti tahiyatul masjid, salat gerhana, salat istisqa dan yang lainnya.

Adapun hadisnya bahwasanya Rasulullah bersabda: “Tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang untuk salat atau mengubur orang-orang kami pada saat itu, ketika matahari terbit hingga naik, ketika pertengahan siang hingga matahari tergelincir, ketika matahari condong ke barat hingga tenggelam. (H.R Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Nasai)

Dan ketahuilah bahwa larangan untuk salat di tiga waktu tersebut mempunyai hikmah-hikmah sebagaimana yang Rasulullah sampaikan kepada Amr bin Abasah yakni: Pertama, agar tidak menyerupai penyembah matahari.

Kedua, agar tidak sujud kepada tanduk setan, sebab matahari terbit diiringi oleh tanduk setan, bila matahari naik, maka tanduk setan tersebut terpisah darinya, bila matahari di atas kepala, maka ia menyertainya lagi, bila sudah tergelincir maka ia akan berpisah darinya, bila ia hampir terbenam maka ia mengiringinya lagi, dan bila ia terbenam maka ia berpisah darinya.

Ketiga, orang-orang yang berjalan menuju alam akhirat selalu menjaga ibadah, menemui sesuatu dengan pola yang satu menyebabkan kejenuhan, bila sesaat dilarang, maka akan memicu semangat, sebab jiwa menyukai apa yang dilarang, maka seseorang dilarang salat di waktu larangan tetapi tidak dilarang melakukan ibadah yang lain seperti membaca Alquran dan berzikir. Maka hendaknya orang yang beribadah berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya, sebagaimana salat terbagi ke dalam beberapa perbuatan seperti, berdiri, rukuk, sujud, dan lain-lain.

[Sumber: Mukhtashar Minhajul Qashidin oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit: Pustaka Darul Haq, Jakarta]

INILAH MOZAIK

Hukum Shalat Sendirian di Belakang Shaf yang Sudah Penuh (Bag. 1)

Setelah sebelumnya dijelaskan secara rinci mengenai Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah kali ini kita akan membahas secara berseri penjelasan jika seorang makmum shalat sendirian di belakang shaf yang sudah penuh

Penjelasan Ulama Mengenai Permasalahan Ini

Ketika seseorang masuk masjid dan mendapati shaf sudah penuh, dan dia tidak memiliki ruang (tempat) untuk masuk ke shaf yang sudah ada, apakah dia diperbolehkan tetap ikut shalat jamaah dengan membuat shaf sendiri (satu orang) di belakang shaf? Atau dia harus menunggu sampai ada jamaah lain yang datang agar bisa membuat shaf baru bersama dengan orang tersebut? 

Permasalahan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Terdapat tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat Pertama

Seseorang boleh membuat shaf sendirian di belakang jamaah lainnya, dan shalatnya sah. 

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk tiga imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang terlambat shalat jamaah, kemudian disebutkan,

فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ

“Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai di shaf, sambil berjalan menuju shaf.” (HR. Bukhari no. 784 dan Abu Dawud no. 684, lafadz hadits ini milik Abu Dawud)

Al-Baghawi rahimahullah berkata, 

“Dalam hadits ini terdapat masalah fiqh, yaitu siapa saja yang shalat sendirian di belakang shaf dan menjadi makmum, maka shalatnya sah. Hal ini karena Abu Bakrah ruku’ di belakang shaf. Sehingga ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan di belakang shaf. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk bagaimanakah sebaiknya yang hendaknya dikerjakan di masa mendatang, yaitu “Janganlah diulangi lagi.” Ini adalah larangan dalam rangka memberikan bimbingan, bukan larangan yang menunjukkan pengharaman. Jika ini adalah larangan dalam rangka mengharamkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.” (Syarhus Sunnah, 3: 338)

Pendapat ke Dua

Shalat sendirian di belakang shaf jamaah itu tidak sah.

Ini adalah madzhab Imam Ahmad, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik, juga dipilih oleh sejumlah ulama fiqh dan ulama ahlul hadits. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahumullah. 

Ulama yang memilih pendapat ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 682, At-Tirmidzi no. 230, dan Ibnu Majah no. 1004, dinilai hasan oleh At-Tirmidzi)

Hadits ini juga memiliki penguat dari hadits ‘Ali bin Syaiban, beliau berkata,

خَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَايَعْنَاهُ، وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ صَلَّيْنَا وَرَاءَهُ صَلَاةً أُخْرَى، فَقَضَى الصَّلَاةَ، فَرَأَى رَجُلًا فَرْدًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ، قَالَ: فَوَقَفَ عَلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ قَالَ: اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ، لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

“Kami berangkat hingga akhirnya sampai di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami membai’at dan shalat di belakangnya. Setelah itu kami mengerjakan shalat yang lain di belakang beliau. Selesai shalat, beliau melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf.” ‘Ali bin Syaiban berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu, beliau berhenti di sisi orang itu, lalu bersabda, “Ulangilah shalatmu, karena tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” (HR. Ibnu Majah no. 1003, shahih)

Para ulama yang mengikuti pendapat ke dua ini kemudian berselisih, apa yang harus dilakukan jika ada satu orang datang dan dia jumpai shaf sudah penuh (tidak ada satu pun celah). Sebagian ulama mengatakan, dia harus menarik satu orang di shaf agar bisa menyusun shaf berdua dengannya. Pendapat ini lemah, sebagaimana akan kami sebutkan alasannya di seri ke dua tulisan ini. 

Sebagian ulama mengatakan, dia harus berdiri di samping imam. Tidak terdapat dalil dalam masalah ini. Namun, terdapat riwayat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berdiri di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit. Akan tetapi, peristiwa ini adalah kasus yang bersifat kasuistik. Selain itu, kita bayangkan jika shafnya itu banyak. Dia harus menyibak shaf-shaf tersebut agar bisa sampai ke tempat imam. Tentu ini akan mengganggu jamaah shalat dan juga mengganggu imam. Lalu, bagaimana lagi jika ada orang ke dua, disusul orang ke tiga yang datang terlambat, tentu makin banyak jamaah yang shalat di samping imam. Oleh karena itu, masalah ini mengisyaratkan lemahnya pendapat yang ke dua ini. 

Pendapat ke Tiga

Pendapat yang memberikan perincian dalam masalah ini.

Yaitu, apabila dia masih mendapatkan sedikit celah untuk masuk ke shaf di depannya, dan dia tidak melakukannya dan memilih membuat shaf sendirian di belakang, maka shalatnya tidak sah. Namun, jika dia sudah berusaha mencari dan shaf betul-betul sudah penuh, maka boleh menjadi makmum sendirian di belakang shaf

Inilah yang menjadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Qudamah, dan juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahumullah. 

Pendapat yang Paling Kuat dan Alasannya

Pendapat ke tiga inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, dengan didukung beberapa alasan (argumentasi) berikut ini:

Pertama, para ulama sepakat bahwa rukun dan wajib shalat itu gugur ketika tidak mampu dikerjakan. Sebagaimana perkara yang haram juga gugur ketika terdapat situasi darurat. Ini adalah salah satu kaidah penting dalam syariat. Misalnya, berdiri adalah rukun shalat. Namun, ketika seseorang tidak mampu berdiri, dia boleh shalat sambil duduk atau berbaring. Menyusun shaf bukanlah termasuk rukun dan wajib shalat. Kita tidak ragu lagi bahwa kalau memang tidak bisa bergabung dengan shaf yang sudah ada (karena sudah penuh), maka ini adalah situasi ‘udzur yang bisa dimaklumi. 

Ke dua, bahwa dalil-dalil umum dari syariat juga menguatkan hal ini. Misalnya, firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala semampu kalian.” (QS. At-Taghaabun [64]: 16)

Juga firman Allah Ta’ala, 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Ke tiga, pendapat ini adalah pendapat yang menggabungkan semua dalil yang ada dalam masalah ini. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ali bin Syaiban,

لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

“ … karena tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.”

Dimaknai jika orang tersebut ceroboh dalam melaksanakan kewajiban (alias sebetulnya masih ada celah untuk dimasuki, namun dia memilih di belakang shaf sendirian). Adapun jika memang shaf itu sudah sangat rapat dan penuh, dia tidak lagi mendapatkan celah meskipun sedikit, tidak termasuk dalam larangan hadits ini. 

(Bersambung)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52892-shalat-sendirian-di-belakang-shaf-1.html

Visi Saudi 2030 Berdampak pada Layanan Umrah

Beragam fasilitas dan infrastruktur dibangun pada Visi Saudi 2030.

Visi Saudi 2030 akan membawa dampak pada penyelenggaraan umrah. Dampak tersebut tentunya diharapkan dapat dinikmati jamaah umrah.

Direktur Operasional maktour , Muhammad Rocky Mashyur, menilai, pemerintah Saudi telah mengimplementasikan visi tersebut dengan beragam fasilitas dan infrastruktur. Berbagai tujuan wisata dibuat, agar jamaah umrah merasa betah.

”Di Jeddah misalnya, sudah dibangun berbagai lokasi wisata baru,” kata dia.

Hal lain, kata dia, kini menara Zamzam Tower diperbolehkan untuk dimasuki jamaah. Di menara ini, jamaah dapat melihat kota Makkah. Selain itu, jamaah juga bisa melihat secara langsung operasional jam pada menara Zamzam Tower. 

“Saya kira ini menarik untuk jamaah,” katanya. 

Karena itu, kata dia, Maktour Group melihat bagaimana perkembangan Visi Saudi 2030 ini untuk menjadi program pengembangan layanan umrah. 

Sebelumnya, Rocky mengatakan antusiasme jamaah umrah masih tinggi. Antusiasme itu dibarengi dengan layanan umrah yang secara umum membaik. “Tahun ini tidak ada lagi penipuan atau jamaah yang tidak berangkat,” katanya

REPUBLIKA

Manusia Terbaik Selalu Membahagiakan Semuanya

KENAL dengan Halimatus Sa’diyah? Iya, betul. Ada banyak nama Halimatus Sa’diyah, temasuk tetangga dan teman Anda. Namun yang ingin saya kisahkan di sini adalah Halimatus Sa’diyah yang pernah menyusui Nabi Agung Muhammad SAW, seorang wanita sederhana dari Bani Sa’d di Thaif yang sangat beruntung dipilih Allah menyusui dan membesarkan Sang Rasul.

Beliau berkisah bahwa saat akan mengambil Rasulullah di Mekah untuk dibawa ke rumahnya di Thaif, Nabi Muhammad yang masih bayi itu sedang terlelap dalam tidurnya. Halimatus Sa’diyah meletakkan tangannya di dada Nabi Muhammad, Nabi Muhammad terbangun dan kemudian tersenyum kepada Halimatus Sa’diyah. Bagaimana komentar pertama Halimatus Sa’diyah?

Halimah berkata: “Ku lihat terpancarlah cahaya dari kedua mata Nabi Muhammad, cahaya itu tembus sampai ke langit dan angkasa. Lalu saya menatap beliau dan mencium beliau di antara kedua mata beliau. Lalu ku gendong beliau dan ku tempelkan ke dadaku. Sungguhaku merasakan bahagia yang luar biasa.”

Manusia terbaik senantiasa memberikan kepada bahagia. Bukan hanya saat sudah dewasa, saat kecil pun sudah membahagiakan. Bukan kata-katanya saja, tatapan dan senyumannya pun menyejukkan jiwa membahagiakan hati. Bagaimanakah dengan tatapan dan senyuman kita? Tebarkanlah kebaikan di manapun dan kapanpun serta kepada siapapun. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK 

Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rezeki

SALAH satu adab mencari rezeki adalah berangkat pagi-pagi. Dalam beberapa kitab fadhail amal atau at targhib wa at tarhib, anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki dicantumkan dalam bab tersendiri.

Mengapa harus berangkat pagi-pagi untuk mencari rezeki? Berikut ini sabda Rasulullah dan bukti di balik anjuran itu. Dari Shakhr bin Wadaah al Ghamidi ash Shahabi radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Hibban; shahih lighairihi)

Shakhr menambahkan, apabila beliau mengirim pasukan atau tentara perang, beliau memberangkatkan mereka pagi-pagi.

Anjuran berpagi-pagi dalam mencari rezeki berdasarkan kebiasaan Rasulullah (hadits fili) sekaligus doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut (hadits qauli). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mendoakan keberkahan waktu pagi bagi umatnya. Sehingga dalam mencari rezeki, kita dianjurkan untuk memulainya pagi-pagi. Ketika menjelaskan hadis tersebut, sebagian ulama juga mengingatkan bahwa tidur di waktu pagi setelah Subuh hukumnya makruh.

Keberkahan waktu pagi itulah yang kemudian dikejar oleh banyak umat Islam sejak generasi sahabat. Rasulullah sendiri mencontohkan, beliau biasa memberangkatkan pasukan di pagi hari.

Shakhr yang meriwayatkan hadis ini juga telah membuktikan bahwa berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki membuahkan keberkahan yang luar biasa. Shakhr adalah seorang pebisnis. Dia selalu memberangkatkan barang-barangnya dimulai sejak dini hari sehingga ia menjadi kaya raya dan hartanya barakah.

Secara ilmiah, memulai atau berangkat pagi-pagi dalam mencari rezeki memiliki sejumlah dampak yang positif.Pertama, bangun pagi membuat tubuh lebih segar karena bisa menikmati udara pagi yang relatif bersih dari polusi, oksigen yang didapat lebih banyak. Tidak mungkin seseorang bisa berpagi-pagi dalam mencari rezeki tanpa bangun lebih pagi.

Kedua, kinerja otak menjadi optimal ketika seseorang memulai aktivitas sejak pagi. Di waktu pagi otak menjadi lebih segar karena telah beristirahat. Karenanya beberapa buku seperti Be Student Idol menganjurkan waktu belajar di pagi hari. Melatih otak. Dan sesungguhnya, aktivitas mencari rezeki juga merupakan bagian dari proses belajar. Sebab tidak ada satu pun pekerjaan melainkan membutuhkan kemampuan otak dan kreatifitas.

Ketiga, menurut ahli saraf dari Rockefeller University, Ilia Karatsoreos PhD, rentang waktu antara jam 7 9 pagi merupakan waktu paling optimal untuk menciptakan atau menguatkan hubungan dengan orang-orang terpenting. Jika kita pebisnis, marketing atau bekerja di manapun yang berinteraksi dengan orang lain, jam 7 9 adalah saat yang tepat untuk memperbanyak pelanggan, customer, klien dan sebagainya. Wallahu alam bish shawab. 

INILAH MOZAIK

Lewat Empat Cara Ini Allah Memberi Kita Rezeki

BERIKUT ini adalah beberapa cara Allah dalam memberikan rezeki kepada semua mahkluknya menurut Alquran:

1. Tingkat rezeki pertama yang dijamin oleh Allah

“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.”(QS. Hud: 6).

Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Hal tersebut adalah rezeki dasar yang terendah.

2. Tingkat rezeki kedua yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan.

“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS. An-Najm: 39).

Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika seseorang bekerja selama dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, seseorang akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu seorang muslim atau kafir.

3. Tingkat rezeki ketiga adalah rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur.

” Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Inilah rezeki bagi orang yang disayang oleh Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah dan mendapat rezeki yang lebih banyak.

Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yg dapat hidup bahagia, sejahtera dan tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. Tingkat rezeki keempat adalah rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah SWT.

“. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:2-3)

Peringkat rezeki yang keempat ini adalah rezeki yang istimewa, tidak semua orang bisa meraihnya. Rezeki ini akan Allah berikan dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin pada saat seseorang berada dalam kondisi sangat sangat membutuhkan.

INILAH MOZAIK

Ketika Penguasa Romawi Bertanya Soal Sosok Rasulullah SAW

Sang Penguasa belum pernah mendengar sosok Rasulullah SAW.

Diplomasi surat yang dilakukan rasulullah saw mendapat respons beragam dari berbagai penguasa kala itu. Salah satunya, respons yang diungkap Kaisar Hiraklius, penguasa Romawi di Syam. 

Darii buku Inilah Rasulullah karya Salman Al- Audah diungkapkam Abdullah Ibnu Abbas RA mengisahkan ketika Abu Sofyan dihadapkan kepada Kaisar Hiraklius, penguasa Romawi di Negeri Syam. Ketika itu datanglah utusan Nabi SAW, Dihyah al-Kalbi membawa surat berisi ajakan masuk Islam. Sang Kaisar, yang belum pernah mendengar sosok sang Nabi, bertanya, “Siapa di antara kalian yang masih kerabat dengannya?”. “Aku,” jawab Abu Sofyan yang saat itu belum masuk Islam.

Terjadilah dialog mengesankan antara Kaisar dan Abu Sofyan. Pertanyaan Kaisar pun dijawabnya dengan meyakinkan. “Bagaimanakah keadaan keluarganya di tengah kalian?”. “Dia berasal dari keluarga terhormat.” “Apakah ada di antara nenek moyangnya menjadi raja?”. “Tidak ada”. “Sebelum mengaku Nabi, apakah dia pernah berbohong?”. “Tidak pernah.” “Apakah dia pernah berkhianat?”. “Tidak pernah”. “Apakah pengikutnya berasal dari orang terhormat atau orang lemah?”. “Orang-orang lemah.” “Apakah jumlah mereka semakin bertambah atau berkurang?”. “Tidak, justru semakin bertambah.” “Apakah ada yang murtad setelah masuk agamanya?”. “Tidak ada.”. “Apakah kalian memeranginya?”. “Ya”.

“Bagaimana peperangan kalian?”. “Kadang ia menang dan kadang kami yang menang.”. “Apa saja yang diperintahkannya?”. “Menyembah Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, berlaku jujur, menjauhi maksiat, dan menyambung silaturahim.”

Setelah mengurai kembali pertanyaannya dengan jawaban Abu Sofyan, Kaisar pun berkata, “Orang itu akan menguasai bumi, tempat kedua kakiku berpijak. Aku memang sudah tahu bahwa Nabi akhir zaman akan muncul, tetapi tidak mengira jika ia akan berasal dari kalangan kalian. Sekiranya dapat menemuinya, niscaya aku akan berusaha semaksimal mungkin. Apabila sudah berada di hadapannya, aku akan mencuci kedua telapak kakinya.” (HR Bukhari).

Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan serta rahmat bagi semesta (QS 2: 119, 21: 107). Beliau sosok pemimpin dan pendidik untuk menyempurnakan akhlak (HR Bukhari). Keagungan pekertinya pun dikagumi Allah SWT (QS 68:4), karena akhlaknya bagai Alquran berjalan (HR Muslim). Sebagai umatnya, kita mencintai Beliau dengan banyak shalawat, mencintai keluarganya, dan menjalankan sunahnya (QS 3:31, 33:56). Allahu a’lam bishshawab. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah

Pendahuluan Tentang Shalat Berjama’ah

Telah kita ketahui bersama wajibnya shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki. Dan bahwasanya shalat berjamaah wajib dilaksanakan di masjid kecuali ketika ada udzur.

Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah. Baik jika pesertanya sedikit atau pun banyak. Baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan tempat yang sempit. Berikut ini penjelasannya.

Batasan Jumlah Orang dalam Shalat Jama’ah

Shalat jama’ah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al jama’ah sendiri dari kata al ijtima’ yang artinya: sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut ijtima’. Juga sebagaimana hadits dari Abu Umamah Al Bahili, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat:

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Demikian juga dalam hadits Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyatakan bahwa mereka akan pergi safar. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika kalian kalian safar (dan akan mendirikan shalat) maka adzan-lah dan iqamah-lah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no.674).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya shalat berjama’ah.

Baca Juga: Perhatikan Aroma Tubuh Sebelum Pergi Shalat Berjamaah

Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah

Mengenai posisi berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah perlu dirinci menjadi beberapa keadaan:

  1. Jika shalat berjama’ah hanya dua orang

Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam. Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Dalam riwayat lain:

أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه

“Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun wanita yang shalat berdua sesama wanita.

Baca Juga: Sedang Sakit, Bolehkah Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid?

  1. Jika makmum lelaki lebih dari satu

Maka posisi makmum berada di belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu mengatakan:

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Aku berdiri di sisi kiri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami berdiri di belakang beliau” (HR Muslim no. 5328).

Baca Juga: Bolehkah Berdoa Secara Berjamaah Setelah Shalat?

  1. Makmum wanita

Jika seorang lelaki mengimami wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki  bersama wanita perlu dirinci. Al Imam An Nawawi menjelaskan,

قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

“Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).

Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari no.727, Muslim no.658).

  1. Wanita mengimami sesama wanita

Jika seorang wanita mengimami para wanita, maka imam berada di tengah. Dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ

“‘Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :

أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

“Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

  1. Dalam kondisi sempit

Dalam kondisi tempat yang sempit sehingga tidak bisa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:

دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا ! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ … وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim no.534, An Nasa-i no.719 dan ini lafadz an Nasa-i).

Shaf yang Paling Utama Bagi Makmum

Selain bershalat jama’ah itu sendiri memiliki banyak keutamaan dibanding shalat sendirian, posisi seseorang dalam shaf ketika shalat berjama’ah pun memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. Tingkatan keutamaan posisi shaf ini ditentukan oleh beberapa patokan. Namun ada patokan yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.

Shaf pertama bagi laki-laki, shaf terakhir bagi wanita

Dalilnya, sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya” (HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)

dalam riwayat lain:

لَوْ تَعْلَمُونَ أَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

“Seandainya kalian atau mereka mengetahui keutamaan yang terdapat pada shaf yang terdepan, niscaya itu sudah jadi bahan undian” (HR. Muslim 439)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

dalam riwayat lain:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan” (HR. Ahmad 18152, Ibnu Majah 825, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dalil-dalil mengenai hal ini sharih (jelas) penunjukkannya. Lalu terdapat dalil yang membedakan antara laki-laki dan wanita dalam hal ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خيرُ صفوفِ الرجالِ أولُها . وشرُّها آخرُها . وخيرُ صفوفِ النساءِ آخرُها . وشرُّها أولُها

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki adalah yang pertama, yang terburuk adalah yang terakhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah yang terakhir, yang terburuk adalah yang pertama” (HR. Muslim 440)

Posisi yang dekat dengan imam

Posisi shaf yang semakin dengan imam, semakin besar keutamaannya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ليلني منكم أولو الأحلامِ والنهى, ثم الذين يلونَهم ثم الذين يلونَهم

“Hendaknya yang dibelakangku adalah orang yang bijaksana dan pandai, baru setelahnya adalah yang dibawah dia dalam hal kepandaian, begitu seterusnya” (HR. Muslim 432)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

ما بين بيتي ومِنبري روضةٌ من رياضِ الجنةِ ، ومِنبري على حوضِي

“Antara mimbarku dan rumahku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku ada di dalam telagaku” (HR. Bukhari, 1196, Muslim, 1391)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini dalam 2 qaul:

  1. Maksudnya adalah ta’abbud muthlaq, yaitu beribadah di tempat tersebut pahalanya berbeda dengan di tempat selainnya.
  2. Maksudnya bukan ta’abbud muthlaq, melainkan bentuk anjuran Nabi kepada para sahabat untuk mendapatkan tempat tersebut ketika beliau memberi pelajaran, lebih jelas mendengarnya, lebih dekat pada imam ketika shalat dan Nabi menjadi imam, sehingga para sahabat bisa mendapatkan lebih banyak ilmu, lebih banyak pemahaman, dan lebih meneladani Nabi dan itu semua merupakan sebab-sebab seseorang masuk ke surga.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

احْضرُوا الذكرَ، وادْنُوا من الإمَام، فإن الرجل لا يَزالُ يَتَبَاعَدُ حتى يُؤَخرُ في الجنة، وإن دَخَلَهَا

“Hadirilah khutbah jum’at dan mendekatlah kepada imam. Karena seorang yang selalu jauh dari imam, menyebabkan ia terbelakang dalam memasuki surga, andai ia memasukinya kelak” (HR. Abu Daud 1198, Al Hakim 1/289, Ahmad 5/11, lihat pembahasannya di sini)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf pertama” (HR. An Nasa-i, 810. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

Dalam hadits ini digunakan kata الصُّفُوفِ dalam bentuk jamak bukan الصَّفِّ bentuk tunggal. Menunjukkan bahwa yang mendapat shalawat dari Allah dan para Malaikat itu tidak hanya shaf pertama saja, namun shaf-shaf depan yang jaraknya dekat dengan imam. Semakin dekat, semakin besar peluang mendapatkan shalawat dari Allah dan para Malaikat.

Sebelah kanan imam

Sebagian ulama memandang bahwa posisi sebelah kanan imam itu lebih utama dari sebelah kiri. Berdasarkan hadits:

إنَّ اللهَ وملائكتَه يُصلُّون على مَيامِنِ الصُّفوفِ

“Allah dan para Malaikatnya bershalawat pada orang-orang yang berada di shaf sebelah kanan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 4784, Ibnu Majah 995, Ibnu Hibban 2199).

Namun hadits ini munkar, walaupun sebagian ulama muhaddits memang menshahihkannya. Kemudian jika berdalil dengan keumuman tayamun, yaitu hadits:

إن كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يحبُّ التيمنَ في شأنهِ كلِّه . في نعلَيه، وترجُّلِه، وطهورِه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyukai mendahulukan kanan dalam setiap urusannya, misalnya ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci” (HR. Bukhari 426, 5854, 5380, Muslim 268).

Ini adalah pendalilan yang tidak sharih.

Namun memang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka menyukai posisi shaf kanan. Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu berkata:

خير المسجد المقام ثم ميمنة المسجد

“Posisi terbaik dalam masjid al haram adalah maqam Ibrahim, lalu shaf sebelah kanan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 1/300)

Juga dari Bara’ bin ‘Adzib radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنا إذا صلينا مع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ  أحببنا أن نكون عن يمينه يقبل علينا بوجهه

“Jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kami senang berada di sebelah kanan karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami” (HR. Muslim 709).

Maksudnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam akan memandang yang di sebelah kanan setelah selesai salam. Semua ini juga tidak menunjukkan tasyri’. Ini hanya menunjukkan ijtihad para sahabat dan semangat mereka agar ketika Rasulullah selesai shalat merekalah yang dilihat pertama kali. Tidak menunjukkan pensyariatan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dengan demikian yang rajih insya Allah, tidak ada keutamaan khusus dari posisi shaf sebelah kanan.

Kesimpulan

Dari paparan di atas kita simpulkan urutan keutamaan posisi shaf shalat dari yang paling besar adalah:

  1. Di belakang imam persis pada shaf pertama, karena shaf pertama dan paling dekat imam
  2. Posisi selain belakang imam, yang mendekati imam, di shaf pertama.
  3. Posisi di shaf pertama yang jauh dari imam
  4. Lurus di belakang imam  pada shaf kedua, karena itu posisi paling dekat imam di shaf kedua
  5. Posisi selain poin 3, yang paling dekat jaraknya dengan imam, di shaf kedua.
  6. Posisi di shaf kedua yang jauh dari imam

Dst.

Adapun bagi wanita, semakin belakang semakin utama. 

Demikian pemaparan yang singkat ini, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52861-posisi-imam-dan-makmum-dalam-shalat-jamaah.html

Keutamaan Menjenguk Orang yang Sakit

Sejatinya orang yang sakit mengharapkan spirit untuk sehat.

Sejatinya, orang sakit itu tak perlu makanan atau minuman enak, juga pakaian mewah. Yang ia harapkan adalah spirit untuk sehat. Bahwa masih ada orang-orang yang mengharapkannya. Masih ada sahabat-sahabat sejatinya yang merinduinya untuk kembali ceria seperti semula.

Sejatinya juga, orang sakit itu tidak ingin segala buah-buahan impor, juga mainan aneka rupa. Yang ia perlukan adalah doa agar ia dapat pulih dan beraktivitas seperti semula.

Bahwa masih banyak warga yang memerlukannya. Masih banyak kawan-kawan terbaiknya yang mendambakannya untuk aktif kembali menggerakkan kebaikan-kebaikan yang biasa dikerjakannya untuk orang banyak.

Dalam sakitnya, banyak orang merasakan pahitnya. Dalam perihnya masih terlalu banyak kerabat yang merasakan sedihnya, Begitu agungnya besuk menjumpai saudara kita yang sakit, sampai Rasulullah SAW mendeskripsikannya dengan, “Apabila seseorang menjenguk saudaranya Muslim yang sedang sakit, maka seakan-akan dia berjalan sambil memetik buah-buahan surga sehingga dia duduk. Apabila sudah duduk, diturunkan kepadanya rahmat dengan deras.

Apabila menjenguknya di pagi hari, tujuh puluh ribu malaikat mendoakan orang yang menjenguk itu agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Maka, ketika ada seseorang yang sakit tak sadarkan diri, atau koma, maka relung tingkat kesadaran terdalamnya sesungguhnya mendengar dan merekam suara-suara yang membesuknya.

“Papa bertahan ya, anak-anak masih perlu papa untuk masa depan mereka,” misalnya dibisikkan kata-kata penghibur itu. “Umi sembuh ya, anak-anak menanti tangan lembut umi,” kata anak-anak dalam untaian doa di samping ibunya yang tengah sakit tak sadarkan diri.

Ya, suara-suara penyemangat, kunjungan penuh kehangatan, cerita-cerita yang menghibur, dan pastinya doa ikhlas yang disampaikan di dekat pasien. Sungguh sangat menghiburnya.

Tokoh dan orang terpandang sekalipun, jika tanpa orang yang menjenguknya, apalah derita di hatinya. Apalah pula dosa kita, padahal dahulu semasa jayanya pasien, kita pernah merasakan pemberiannya, materinya, jasanya.

Ya, pasien berhak mendapat kunjungan dari saudara-saudaranya. Sementara bagi yang lain, mengunjunginya merupakan kewajiban.

Hebatnya lagi, orang beriman yang sakit, baginya adalah penggugur dosa-dosanya, pengangkat derajat kemuliaannya. Maka, justru kita yang sehatlah yang perlu doanya. Karena, dia sudah berkurang banyak dosadosanya, sementara kita masih bertambah-tambah dosanya.

Oleh: Ali Farkhani Tsani
KHAZANAH REPUBLIKA

Lokasi Shalat Jumat Pertama Kali, di Mana?

Namun, shalat Jumat itu tidak dipimpin oleh Rasulullah

Pada Jumat pagi, 16 Rabiul Awal, Rasulullah meninggalkan Quba’.  Rasulullah dan para sahabat melanjutkan perjalanan ke Madinah. Namun, pada siang hari, mereka berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj yang masih berada di sekitar Quba.

Mereka kemudian melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya di tempat itu. Sebelum melaksanakan shalat Jumat, Rasulullah menyampaikan khotbah di depan ratusan jamaah. 

Meski 16 Rabiul Awal dianggap sebagai hari dilaksanakannya shalat Jumat perdana namun sejumlah riwayat mengungkapkan bahwa sebelum hari itu, shalat Jumat pernah dilaksanakan oleh umat Islam.

Namun, shalat Jumat itu tidak dipimpin oleh Rasulullah, melainkan As’ad bin Zurarah. Fakta tersebut dikisahkan dalam hadis yang diungkapkan oleh Qutaibah bin Sa’id. Qutaibah menyatakan, setiap kali Ka’ab bin Malik mendengar azan hari Jumat, dia akan memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah. 

“Lantas, aku bertanya kepadanya, ‘Mengapa Anda memohonkan rahmat untuk As’ad bin Zurarah setiap kali mendengar azan Jumat?” Ka’ab pun menjawab, “As’ad adalah orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jumat di tengah-tengah kami di Hazmin-nabit, yang terletak di Bani Bayadhah di Baqi’, yaitu Naqi’ul Khadhamat.” 

Qutaibah bertanya lagi, “Berapakah jumlah kalian ketika itu?” Ka’ab menjawab, “Empat puluh orang.” 

As’ad dikisahkan mengetahui bahwa perintah untuk melaksanakan shalat Jumat sampai kepada Rasulullah. Kabar tersebut tersiar ke Madinah, tempat dia berada. Hal inilah yang menjadi dasar baginya untuk melaksanakan shalat Jumat.

Sementara, Rasulullah tidak mungkin melaksanakan shalat Jumat berjamaah di tengah kondisi Makkah yang tidak kondusif bagi dirinya dan Muslim lainnya. Karena itu, Rasulullah baru bisa melaksanakan shalat Jumat ketika beliau hijrah di Madinah. 

Setiap hari Jumat, Muslim di desa tempat tinggal As’ad akan menuju rumahnya dan berkumpul di sana. Mereka  lalu menyelenggarakan shalat dua rakaat. Setelah itu, Asad memotong kambing untuk dimakan bersama.

KHAZANAH REPUBLIKA