Menelusuri Jejak Nasab Rasullah Muhammad SAW

Keturunan Nabi Muhammad SAW hadir di Indonesia sejak abad ke – 14 dengan tujuan utama berdakwah.

Di kalangan umat islam, terdapat sebagian orang yang disebut sebagai alawiyin. Siapakah mereka? Alawiyin adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad.

Saat ini kaum alawiyin telah memiliki banyak keturunan dan tersebar di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, penelitian tentang autentisitas keturunan (nasab) alawiyin diatur oleh suatu organisasi yang bernama Rabithah Alawiyah.

Sejarah pencatatan nasab alawiyin dimulai pada abad ke-15 oleh Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran. Pencatatan nasab alawiyin juga dilakukan oleh Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad dengan bantuan pendanaan dari raja-raja India. Beliau memerintahkan untuk melakukan pencatatan alawiyin di Hadramaut, Yaman, pada abad 17.

Pada akhir abad ke-18, Sayid Ali bin Syekh bin Muhammad bin Ali bin Shihab juga melakukan pencatatan alawiyin. Hasil pencatatan itu terkompilasi dalam buku nasab sebanyak 18 jilid. Pencatatan nasab paling akhir dilakukan oleh mufti Hadramaut, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur pada akhir abad 19 yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur. Hasil pencatatan mereka terkumpul dalam tujuh buku nasab dari Hadramaut.

Ketika Habib Alwi bin Thahir Alhaddad mendirikan organisasi Rabithah Alawiyah, beliau berinisiatif melakukan pencatatan alawiyin yang ada di Indonesia.

Berangkat dari inisiatif itu, kemudian Rabithah Alawiyah membentuk Maktab Daimi pada 10 Maret 1932.

Maktab Daimi merupakan lembaga otonom yang mempunyai tugas memelihara sejarah dan silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia. Harapannya, sejarah dan silsilah alawiyin tetap terjaga dan lesstari.

Dalam menjalankan tugasnya, Maktab Daimi mempunyai metode khusus untuk mengetahui nasab seseorang, yakni apakah orang tersebut masih garis keturunan Nabi Muhammad SAW atau bukan.

Ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyah, Ustadz Ahmad bin Muhammad Alatas mengatakan, setiap orang yang ingin mengetahui silsilah nasabnya harus mengajukan permohonan kepada Maktab Daimi.

Pemohon harus mengisi formulir yang sudah tersedia. Pemohon juga harus menyebutkan silsilah nasabnya sampai kakek kelimanya.

“Setelah dicatat dengan benar (nama kakeknya), kita akan mengecek pada buku-buku besar (buku silsilah nasab) yang kita miliki,” kata Ustadz Ahmad kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Jika nama-nama kakek si pemohon ada di dalam buku nasab, maka pihak Maktab Daimi akan meminta pemohon mengajukan saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar berasal dari suku atau marga alawiyin.

Namun sebaliknya, jika nama kakek yang dituliskan si pemohon tidak ada di buku silsilah nasab yang menjadi rujukan Maktab Daimi, Maktab Daimi akan menggunakan metode lain.

Maktab Daimi akan meminta data-data silsilah kakek si pemohon yang berurutan dan valid sampai kakek si pemohon ada di buku silsilah nasab.

Ia mencontohkan, misalkan pemohon menuliskan silsilah kakeknya sampai kakek kelimanya. Tapi, ada empat nama kakeknya yang tidak terdaftar di buku silsilah nasab Maktab Daimi.

Maka, empat nama kakeknya tersebut harus dibuktikan dengan data yang valid seperti dengan kartu keluarga, surat pernikahan, paspor, dan surat jual beli.

“Yang mana semuanya itu akan menyebutkan nama ayahnya, sehingga akan berkesinambungan kepada silsilah yang ada di buku ini (silsilah nasab),” ujarnya.

Metode seperti itu, menurut Ustadz Ahmad, dibuat guna menghindari orang-orang yang ingin memalsukan nasabnya.

Ia menerangkan, buku silsilah nasab yang digunakan Maktab Daimi awalnya berasal dari dua buku. Pertama, buku dari Hadramaut yang dibuat oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur pada akhir abad 19.

Buku itu kemudian diserahkan kepada Habib Alwi bin Thahir Alhaddad di Indonesia. Namun, buku itu hanya memuat nama-nama alawiyin yang lahir di Yaman.

Kemudian, ketua Maktab Daimi yang pertama, Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf, mengembangkan buku pertama yang berasal dari Hadramaut tersebut.

Maka pada 1930-1940 dimulailah pendataan para sayyid di seluruh Indonesia. Hasilnya, terkumpul data nasab sebanyak tujuh jilid buku yang dihimpun oleh Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf.

“Jadi Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf meneruskan nasab yang ditulis oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur yang dari Hadramaut,” jelasnya.

Kemudian, buku nasab hasil pendataan Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf dipadukan dengan buku nasab dari Hadramaut. Hasilnya jadi 15 jilid buku nasab. Buku itu sekarang menjadi rujukan Maktab Daimi untuk menelusuri nasab seseorang.

Menurut Ustadz Ahmad, di dunia ini hanya ada 15 jilid buku yang memuat nasab Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Buku silsilah nasab sebanyak 15 jilid itu kemudian dibagikan ke Surabaya, Pekalongan, dan Palembang karena di sana banyak alawiyin.

“Dari 15 jilid buku tersebut, ada juga yang dipinjam sampai di Madinah dan digunakan di Jeddah. Boleh dikatakan buku nasab hasil perpaduan buku nasab dari Hadramaut dan Indonesia itu lebih lengkap secara keseluruhan dibanding buku nasab yang lain,” papar Ustadz Ahmad.

Jejak para sayyid

Menurut catatan yang ada saat ini, keturunan Nabi Muhammad SAW atau para sayyid datang ke Indonesia sejak abad 14. Mereka datang secara bergelombang.

Ada yang ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya. Di antara para sayyid itu, ada yang sekarang dikenal sebagai Wali Songo.

“Tujuan para sayyid datang ke Indonesia untuk berdakwah melalui perdagangan. Dengan cara berdagang bias membaur dengan masyarakat, setelah itu berdakwah,” ujarnya.

Para sayyid memang banyak yang berasal dari Yaman. Dari Yaman, mereka hijrah ke India. Lalu, dari negeri Hindustan itu, mereka hijrah lagi ke kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dan Indonesia.

“Itu yang disebut dari Gujarat. Jadi, Gujarat adalah wilayah besar di India, mereka itu berasal dari Yaman, bukan keturunan orang India,” terang Ustadz Ahmad.

Di India, para sayyid banyak bermukim di wilayah Hyderabad dan Kerala. Di Hyderabad, terdapat sekitar 38 marga yang bertalian dengan garis keturunan Nabi Muhammad SAW.

Di Kerala, terdapat 20 marga, sementara di Indonesia ada 68 marga yang bertalian dengan garis keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Lantas, apa manfaatnya mengenal nasab? Bagi para sayyid, menurut ustadz Ahmad, hal itu bermanfaat untuk mengetahui asal usul atau silsilah keluarga mereka.

Harapannya, mereka dapat mencontoh dan mengikuti kepribadian, akhlak, dan sifat Nabi Muhammad SAW yang sangat mulia.

“Untuk apa kalau nasabnya bagus tapi perilaku dan akhlak nya tidak sesuai (dengan Nabi Muhammad SAW)? Maka akan sangat disayangkan sekali.” 

IHRAM

Silsilah Nasab dari Nabi Muhammad hingga Nabi Adam

Nabi yang sering disebut khairul khalq (makhluk terbaik) dan sayyidul anbiyâ’ wal mursalîn (pemimpin para nabi dan rasul) memiliki nasab yang luar biasa sucinya. Nasabnya dipenuhi orang-orang termulia dari generasinya. Tidak ada satu pun darinya yang berperilaku tercela. Karena itu, umat Islam harus mengetahui nasab Rasulullah ﷺ secara terperinci. 

Dalam kitab al-Sîrah al-Nabawiyyah, Imam Ibnu Hisyam menulis nasab Rasulullah Muhammad ﷺ sebagai berikut:

هَذا كِتَابُ سِيْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه وسلّم, هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ—وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: شَيْبَةَ بن هَاشِمِ—وَاسْمُ هَاشِمِ: عُمَرُو بن عَبْدِ مَنَافِ—وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافِ: المغِيْرَةُ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْرِ بن مالِكِ بن  النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ—واسمُ مُدْرِكَةَ: عَامِرِ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدِّ بن عَدْنَانَ بن أُدَّ—ويقالُ أُدَدَ بن مُقَوِّمِ بن نَاحُوْر بن تَيْرَح بن يَعْرُبَ بن يَشْجُبَ بن نَابَت بن إِسْمَاعِيْلَ بن إِبْرَاهِيْمَ—خليلُ الرَّحمنِ—بن تَارِح—وهوَ آزَر—بن نَاحُوْر بن سَارُوْغ بن رَاعُو بن فَالِخ بن عَيْبَر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سَام بن نُوْح بن لَمَك بن مَتُّو شَلَخ بن أَخْنُوْخ—وَهو إِدْرِيْسُ النَّبِي—وَكانَ أَوَّلَ بَنِي آدَمَ أُعْطِي النُّبُوَّةَ وَخَطَّ بِالْقَلَمِ—ابن يَرْد بن مَهْلَيِل بن قَيْنَن بن يَانِش بن شِيْث بن آدَمَ عليه السلام

“Ini adalah kitab Sirah Rasulullah ﷺ, dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib—nama asli Abdul Muttalib adalah Syaibah bin Hasyim—nama asli Hasyim adalah Umar bin Abdu Manaf—nama asli Abdu Manaf adalah Mughirah bin Qusayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadlr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah—nama asli Mudrikah adalah ‘Amr bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan bin Udda—dilafalkan juga Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim—khalil al-rahman—bin Tarih—dia adalah Azar—bin Nahur bin Sarug bin Ra’u bin Falikh bin Aybar bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Mattu Syalakh bin Akhnunkh—dia adalah Nabi Idris, bani Adam pertama yang dianugerahi kenabian dan baca tulis—bin Yard bin Malayil bin Qainan bin Yanisy bin Syits bin Adam ‘alaihis salam.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, ed. Umar Abdul Salam Tadmuri, Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990, juz 1, h. 11-16)

Imam Ibnu Hisyam memang menyebutkan nasab Rasulullah secara lengkap dari Abdullah sampai Nabi Adam, tapi para ulama dan ahli sejarah sendiri berbeda pendapat perihal nasab Rasulullah di atas Adnan. Nasab Rasulullah yang disepakati para ulama hanya nasab dari Abdullah sampai Adnan, sedangkan nasab dari Adnan ke atas, para ulama berbeda pendapat. Syekh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengomentari hal ini dengan mengatakan:

أَمَّا مَا فَوْقَ ذَالِكَ فَمُخْتَلَفٌ فِيْهِ, لَا يُعْتَمَدُ عَلَيْه في شَيْئٍ غَيْرُ أَنَّ مِمَّا لَا خِلَافَ فِيْهِ أَنَّ عَدْنَانَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ نَبِيِّ اللهِ ابْنِ إِبْرَاهِيْمَ خَليْلِ اللهِ عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ والسَّلامُ

“Adapun nasab Rasulullah di atas Adnan, para ulama berbeda pendapat, tidak ada yang bisa dianggap paling shahih. Namun, semua ulama sepakat bahwa Adnan merupakan keturunan dari Ismail, Nabi Allah putra Ibrahim Khalilullah ‘alaihis salam.” (Syeikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah Ma’a Mujaz li al-Tarîkh al-Khilâfah al-Rasyîdah, Damaskus: Dar al-Fikr, 1991, h. 73)

Memang terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai nasab Rasulullah dari Adnan ke atas. Beberapa ahli bahkan mengatakan tidak ditemukan seorang pun yang mengetahui hal ini, salah satu yang berpendapat demikian adalah Sayyidina Urwah bin Zubeir bin Awam (644-713 M). Beliau berkata: “Mâ wajadnâ man ya’rifu mâ wara’a ‘adnâna—kami tidak menemukan seorang pun yang (secara pasti) mengetahui nasab Rasul dari Adnan seterusnya.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, Damaskus: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt, juz 2, h. 18). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sayyidina Abu al-Aswad bin Muhammad bin Abdul Rahman, salah seorang anak asuh Sayyidina Urwah bin Zubeir. Beliau berkata:

سَمِعْتُ أَبَا بَكْر بْنِ سُلَيْمَانَ ابْنِ أَبِي خَيْثَمَةَ, وَكَانَ مِنْ أَعْلَمِ قُرَيْشٍ بِأَنْسَبِهَا وَأَشْعَارِهَا يَقُوْلُ: مَا وَجَدْنَا أَحَدًا يَعْلَمُ مَا وَرَاءَ مَعَدَّ بْنِ عَدْنَانَ فِي شِعْرِ شَاعِرٍ وَلَا فِي عِلْمِ عَالِمٍ

“Saya mendengar Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Khaitsamah, salah seorang yang paling berpengetahuan mengenai nasab bangsa Quraish dan syair-syairnya berkata: “Tidak ditemukan seorang pun yang mengetahui nasab Rasul setelah Ma’ad bin Adnan, baik dalam syairnya para penyair maupun dalan pengetahuannya orang berilmu.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, h. 18)

Dengan demikian wajar saja jika terjadi banyak perbedaan jumlah maupun nama nasab Rasul dari Adnan ke atas yang banyak ditemukan di kitab-kitab Sirah Nabawiyyah dan hadits. Salah satu yang paling mencolok adalah riwayat Sayyidina Ibnu Abbas ra:

أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بن هَاشِمِ بن عَبْدِ مَنَافِ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْر بن مالِكِ بن النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدّ بن عَدْنَان بن أُدّ بن أُدَدَ بن الهَيْسَع بن بَنَت بن حَمَل بن قَيْذَار بن إِسْمَاعِيْل بن إِبْرَاهِيْم الخ…..

“Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin Adnana bin Udda bin Udada bin Alhaysa’ bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Isma’il bin Ibrahim ……..” (Imam al-Hafidh al-Dailami, Firdaus al-Akhbâr bi Ma’tsûr al-Khitâb al-Mukharraj ‘ala Kitâb al-Syihâb, Damaskus: Dar al-Kitab al-‘Arabi, juz 1, hlm 73)

Dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ibnu Hisyam (w. 213/218 H), Adnan merupakan anak Udda yang terkadang disebut dengan Udada, sedangkan dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas, Udda merupakan anak dari Udada. Perbedaan lebih mencolok terjadi pada runtutan nasab setelah Udada. Riwayat kutipan Imam Ibnu Hisyam menyebut (riwayat pertama), “Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim.” Sementara riwayat Sayyidina Ibnu Abbas mengatakan (riwayat kedua), “Udada bin Alhaysa’ bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Isma’il bin Ibrahim.” 

Jika pun nama-nama itu merupakan nama lain, seperti dalam kasus Abdul Muttalib yang nama aslinya Syaibah, tetap saja tidak dapat menyingkirkan perbedaan, karena nama Nabat pada kedua nasab di atas menempati urutan yang berbeda. Imam al-Kinani dalam Mukhtashar-nya juga mengutip runtutan nasab yang berbeda, yaitu Adnan bin Udda bin Udada bin Alyasa’ bin Alhamaisa’ bin Salaman bin Nabat bin Hamal bin Qaidzar bin Ismail bin Ibrahim. (Imam al-Hafidh al-Dailami, Firdaus al-Akhbâr bi Ma’tsûr al-Khitâb al-Mukharraj ‘ala Kitâb al-Syihâb, juz 1, hlm 73). Artinya, di samping perbedaan urutan, terjadi juga perbedaan jumlah orang.

Selain itu, banyak juga terjadi perbedaan penulisan dari mulai Adnan ke atas, seperti Fâlikh, ‘Aibar, Râ’û, dan lainnya dalam riwayat yang dikutip oleh Imam Ibnu Hisyam, dan Fâligh, ‘Âbir, Râghû, dan lainnya dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas. Hal ini terjadi karena kebanyakan dari nama-nama itu adalah isim ‘ajam (nama bukan Arab). Imam Ibnu Sa’ad berkata:

سَائِرُ هَذهِ الْأَسْمَاءِ أَعْجَمِيَّةٌ وَبَعْضُهَا لَا يُمْكِنُ ضَبْطُهُ بِالْخَطِّ إِلَّا تَقْرِيْبًا

“Sisa nama-nama ini adalah nama-nama ajam (non-Arab), sebagiannya tidak mungkin ditulis dengan tepat kecuali dengan cara memperkirakannya.” (Imam Muhammad al-Dzahabi, Tarîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm: al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, h. 22)

Dalam al-Sirah al-Nabawiyyah karya Imam Ibnu Hisyam sendiri terdapat riwayat lain yang memiliki cara penulisan berbeda dengan yang pertama, salah satunya riwayat Sayyidina Qatadah bin Dima’ah:

إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ—خليل الرحمن—ابْنِ تَارِخ—وهو آزر—بن نَاخُوْر ابن أَسْرُغ بن أَرْغُو بن فَالِخ بن عَابِر بن شَالِخ بن أَرْفَخْشَذ بن سام بن نُوح بن لَمَك بن مَتُوشَلَخ بن أَخْنُوْخ بن يَرْد بن مَهْلَائِيْل بن قَايِن بن أَنُوش بن شَيْت بن آدَمَ

“Ismail bin Ibrahim Khalilurrahman bin Tarikh—beliau adalah Azar—bin Nakhur bin Asrugh bin Arghu bin Falikh bin ‘Abir bin Syalikh bin Arfaksyadz bin Sam bin Nuh bin Lamak bin Matusyalakh bin Akhnukh bin Yard bin Mahla’il bin Qayin bin Anusy bin Syit bin Adam ‘alaihis salam.” (Imam Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, 1990, juz 1, h. 18)

Perbedaannya terletak pada penulisan nama Asrugh, Arghû, ‘Âbir, Matûsyalakh, Mahlâ’îl, Qâyin, Anûsy, dan Syît yang pada riwayat pertama ditulis Sârûgh, Ar’û, ‘Aibar, Mattûsyalakh, Mahlayil, Qaynan, Yânisy, dan Syîts. Seperti yang dikatakan Imam Ibnu Sa’ad, perbedaan itu terjadi karena nama-nama itu bukan nama Arab, melainkan nama ajam yang tidak dapat ditulis dengan tepat dalam tulisan Arab.

Dari sisi ibunya, Sayyidah Aminah, nasab Rasulullah ﷺ adalah:

هِيَ آمِنَةُ بِنْتُ وَهْبٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ. ]وَأُمُّهَا بَرَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْعُزَّي بن عُثْمَانَ بن عَبْدِ الدَّارِ بن قُصَيِّ بن كَلَاب. وَأُمُّهَا أُمُّ حَبِيْبِ بنت أَسَد بن عَبْدِ الْعُزَّي بن قُصَيِّ بنِ كِلَاب

[ “Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. [Ibunya Sayyidah Aminah adalah Barrah binti Abdul ‘Uzza bin Utsman bin Abdul Dar bin Qushayy bin Kilab. Ibunya Barrah binti Abdul ‘Uzza adalah Ummu Habib binti Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayy bin Kilab].” (Imam Abdul Aziz al-Kinânî, al-Mukhtashar al-Kabîr fi Sîrah al-Rasûl, Amman: Dar al-Basyir, 1993, h. 19)

Nasab Sayyidah Aminah bertemu dengan nasab Sayyid Abdullah, ayah Rasulullah di nama Kilab. Begitu pun dengan ibu Sayyidah Aminah, semuanya bermuara pada satu sumber, yaitu Nabi Ismail ‘alaihis salam. Setelah keterangan-keterangan di atas, sebuah hadits di bawah ini kiranya tepat menjadi penutup:

إِنَّ اللهَ اصْطَفَي كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَاصْطَفَي قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَي هَاشِمًا مِنْ قُرَيْشٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.” (HR. Imam Muslim)

Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105023/silsilah-nasab-dari-nabi-muhammad-hingga-nabi-adam
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id