SESUATU bisa disebut syiar agama ketika dia bersumber dari agama. Dan kita tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai syiar islam, sementara itu bukan bagian dari agama. Contoh syiar agama adalah adzan, takbiran, shalat jumat, shalat id, haji, dst. Ibadah-ibadah yang sifatnya zahir, yang disaksikan banyak orang, menjadi syiar, karena ibadah semacam ini menjadi tanda bahwa islam eksis di wilayah tersebut. (Tafsir Ibnu Utsaimin, al-Baqarah: ayat 198).
Menjadikan bulan bintang lambang dari islam, berarti meyakini bahwa lambang semacam ini sebagai syiar islam. Apakah ini dibenarkan? Berikut beberapa keterangan para ulama tentang fenomena bulan bintang. Pertama, terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Yunus bahwa ada seorang sahabat bernama Abul Kanud, Sad bin Malik al-Azdi, beliau pernah bertamu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di Madinah. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memasangkan sebuah bendera untuk dia bawa kepada kaumnnya. Bendera itu berwarna hitam, bergambar bulan sabit putih. (al-Ishabah, 3/72)
Sanad kisah ini, sebagaimana keterangan Ibnu Yunus, sebagai berikut, Said bin Ufair meriwayatkan dari Amr bin Zuhair bin Asmar bin Abul Kanud, bahwa Abul Kanud pernah bertamu kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan diberi bendera itu. Status Riwayat dalam Fatwa Islam (no. 144180) dijelaskan bahwa riwayat ini dhaif. Karena beberapa alasan:
– Amr bin Zuhair majhul, tidak dikenal
– Said bin Ufair yang meriwayatkan kisah ini dari Amr bin Zuhair, bukan tabi tabiin. Namun generasi setelah itu. Al-Hafidz memasukkannya pada generasi kesepuluh (at-Tabahqah al-Asyirah), generasi sezaman dengan Imam Ahmad. (Taqrib at-Tahdzib, 1/362) Sehingga sanad riwayat ini terputus antara Said dengan Amr bin Zuhair.
– Jika Amr bin Zuhair adalah guru Said bin Ufair, berarti Amr bin Zuhair bukan tabiin. Artinya, dia tidak menjumpai kakek buyutnya, Abul Kanud, yang merupakan sahabat.
Mengingat sanadnya tidak bersambung dua kali, hadis ini digolongkan hadis mudhal, dan itu termasuk hadis dhaif, yang tidak bisa jadi dalil. Kedua, beberapa ulama menegaskan bahwa lambang bulan sabit bintang, tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maupun sahabat. Bahkan belum dikenal di zaman daulah Umawiyah. Ada yang mengatakan, pertama kali muncul di zaman daulah Utsmani (sekitar abad ke-13 M).
Dalam at-Taratib al-Idariyah dinukil keterangan Syihab al-Mirjani, dalam kitabnya Wafayat al-Aslaf, “Meletakkan gambar bulan sabit di atas menara-menara masjid, termasuk bidah (sesuatu yang baru). Para penguasa Daulah Utsmani menggunakan lambang ini sebagai lambang resmi, meniru lambang istana di romawi. Kejadian awal mulanya, bahwa Paulus al-Maqduni ayah dari Iskandar Akbar pernah menyerang konstatinopel bersama pasukannya. Di beberapa malam penyerangan, mereka berhasil mengalahkan penduduk negeri itu, dan mengusir mereka. Kejadian itu bertepatan dengan waktu sahur. Lalu mereka merasa optimis dengan waktu itu, dan menjadikan gambar hilal (bulan sabit) sebagai lambang resmi mereka, untuk mengingat peristiwa itu. Lambang inipun dipakai di berbagai istana, kemudian ditiru bani Utsmaniyah, ketika mereka berhasil mengalahkannya. Kemudian lambang itu masuk ke negeri Qazan.” (at-Taratib al-Idariyah, al-Kittani, 1/265).
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan, “Tentang memasang gambar hilal di menara-menara, ada yang mengatakan, bahwa sebagian kaum musliminlah yang meniru umat yang lain, yang mereka lakukan terhadap tempat-tempat ibadah mereka. Mereka meletakkan lambang bulan sabit, untuk menandingi orang nasrani yang memasang lambang salib di tempat-tempat ibadah mereka. Sebagaimana yang terjadi pada yayasan pertolongan pertama bagi orang sakit dengan sebutan bulan sabit merah, untuk menyaingi milik orang nasrani, palang merah. Karena itu, tidak selayaknya lambang ini diletakkan di menara-menara masjid, mengingat adanya kemiripan (dengan orang nasrani), dan mengingat ini buang-buang harta dan waktu.” (Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 13/941).
Ketiga, berdasarkan tinjauan sejarah dari keterangan para ulama di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bulan sabit maupun bintang bukan bagian dari syiar islam. Untuk itu, kita tidak boleh menjadikanya sebagai syiar islam, apalagi meyakini bahwa dengan memasang lambang itu akan mendapatkan pahala.
Dalam Fatwa Islam (no. 1528) dinyatakan, “Kesimpulannya, bahwa setiap syiar dan lambang, harus sesuai syariat, dimana ketika di sana tidak dalil yang menunjukkan anjuran hal itu, maka yang lebih tepat adalah meniggalkannya. Bulan sabit dan bintang bukan syiar kaum muslimin, meskipun sebagian kaum muslimin menjadikannya syiar. Adapun dari sisi keyakinan kaum muslimin terhadap bulan dan bintang, mereka meyakini bahwa dua benda itu ciptaan Allah, tidak bisa mengatur taqdir baik maupun buruk, dan tidak bisa memberikan pengaruh dengan sendirinya terhadap kejadian yang ada di bumi. Allah menciptakannya agar diambil manfaatnya bagi manusia. Diantaranya (sebagai acuan kalender), seperti yang Allah firmankan (yang artinya), “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, itu acuan waktu bagi setaip manusia.”
Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374151/awas-bulan-sabit-bintang-bukan-lambang-islam#sthash.wuxwWaL1.dpuf