Bacaan Al-Quran Menurunkan Depresi dan Kecemasan

Bacaan Al-Quran Menurunkan Depresi dan Kecemasan

Bagi orang muslim yang taat, membaca Al-Qur’an adalah amalan harian yang sangat direkomendasikan. Apalagi membaca secara tartil, dengan tajwid (pelafalan yang benar), dan tidak terburu-buru sangat dianjurkan.

Hal ini bertujuan agar melodi yang diperdengarkan dapat memberikan pengaruh positif berupa kedamaian bagi para pendengarnya.

Sebuah studi menemukan bahwa pembacaan Al-Qur’an, yang disebut sebagai Qur’an recitation approach atau QRP sangat berguna dalam meredakan anxiety (kecemasan) pada kondisi medis tertentu dan pada kondisi psikososial, demikian kajian enam namasiswa Unair yang ditulis di laman balimedicaljournal.org.

Bahkan secara medis, QRP dapat meningkatkan respon kemoterapi terhadap kanker. Di otak, seperti ditunjukkan oleh gambaran electroencephalography (EEG), QRP dapat memberikan pengaruh relaksasi di otak, meski pendengarnya tidak mengetahui apa yang dibaca atau didengarnya.

QRP juga ternyata dapat meningkatkan kadar serotonin pada penderita stroke, dan memperbaiki prognosis klinisnya. Namun demikian hingga saat ini belum ada riset yang mengkaji pengaruh pembacaan Al-Qur’an terhadap sel-sel otak, terutama pada kondisi depresi.

Penelitian pada hewan coba tikus model depresi, yakni dengan cara menggantung tikus dengan ketinggian 50 cm dari permukaan lantai selama 1 jam dalam 7 berturut-turut hari sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya, ditandai dengan peningkatan waktu berdiam tikus; dan tikus model agresif (dengan cara tail suspension approach selama 7 hari dan dipapar suara berisik), ditandai dengan peningkatan aktivitas maze tikus, dan penurunan waktu berdiam, sehingga tikus menjadi lebih aktif atau agitasi.

Kedua model kejiwaan ini menunjukkan adanya retardasi psikomotorik dan kerusakan kognitif. Pemberian QRP ditemukan meringankan retardasi psikomotorik di kelompok tikus depresi, bahkan menenangkan perilaku agitasi pada tikus.

Sementara pada kelompok tikus yang agresif, mengalami aktivasi perilaku “goal directed” karena kognisi meningkat dengan ketenangan psikomotorik. Hal ini terlihat pada penurunan aktivitas maze yang diikuti dengan peningkatan periode berdiam diri, dengan peningkatan kecepatan mencari makan, namun lebih tenang daripada sebelumnya.

Menariknya, perubahan ini tidak ditentukan oleh dosis atau lama intervensi QRP. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh riset menggunakan musik, dimana music dapat meningkatkan performa belajar dan memori tanpa adanya spesifik dosis dan waktu

Pada saat pembedahan, terdapat satu kelompok yang berbeda bermakna pada jumlah sel-sel neuron, dengan perlakuan optimum, 1 jam per hari pembacaan Al-Qur’an. Namun hal ini tidak berlaku pada kelompok sel-sel glial.

Musik yang lembut dapat menjadi terapi untuk mengatasi anxiety, karena frekuensinya yang rendah, tidak terlalu menghentak dan harmonis.

Sementara pada musik yang keras, dapat menurunkan jumlah neuron dan sel-sel glia karena stres oksidatif yang berlebihan, sehingga menimbulkan frekuensi vibrasi, yang disebut sebagai ototoksisitas.

Sehingga musik keras menjadi sebuah ancaman pada individu. Pada pengamatan di hipokampus, yakni area otak yang menjadi dasar memori spasial dan pembelajaran, mangalami kerusakan pada tikus agresif akibat paparan suara keras.

Bahkan setelah tidak dipapar, terjadi penurunan neurogenesis di hipokampus. Diduga sel-sel glia berperan sebagai pengatur neuroplastisitas yang diinduksi oleh QRP, namun terjadi penurunan sel-sel glia setelah intervensi QRP.

Hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dosis optimal intervensi QRP untuk mengatasi depresi adalah 1 jam, lebih dari itu, terapi QRP menjadi penyebab stres dan tidak efektif.*

HIDAYATULLAH