Bagaimana Hukum Pinjol dalam Syariat Islam?

Bagaimana Hukum Pinjol dalam Syariat Islam?

PINJAM-MEMINJAM dibolehkan dalam Islam. Demikian juga utang-piutang. Namun, bagaimana dengan pinjaman online atau pinjol yang marak saat ini? Bagaimana hukum pinjol dalam syariat Islam?

Dilansir dari laman mui.or.id, menurut kajian fikih muamalah kontemporer, hukum pinjol atau pinjam uang dengan cara online itu boleh. Meski demikian, orang atau lembaga yang mempraktikan pinjaman online hendaknya memperhatikan beberapa hal.

Berdasarkan syariat Islam, berikut beberapa hal yang harus diperhatikan terkait pinjol atau pinjaman online:

1. Tidak menggunakan praktik ribawi

Riba dalam berpiutang adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam. Larangan (keharaman) praktik riba disebut secara eksplisit (shorih) dalam Al-Quran,

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah [2]: 275).

2. Tidak menunda pembayaran utang

Hukum menunda untuk membayar hutang jika sudah mampu hukum haram. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR. Nasa’i)

Dalam hadis riwayat Imam Bukhori disebutkan, “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman….” (HR. Bukhori).

3. Memberi keringanan kepada orang yang tidak mampu membayar utang

Memaafkan orang yang tidak mampu bayar utang termasuk perbuatan mulia. Hakikatnya utang harus dibayar. Bahkan jika yang berutang sudah meninggal, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk melunasinya. Namun, bagi orang yang meminjamkan, jika yang orang yang meminjam uang betul-betul tidak bisa melunasi utangnya, maka memaafkan adalah suatu perbuatan yang mulia dalam ajaran Islam.

Penjelasan MUI tentang hukum pinjol

Pinjol dinilai memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sejumlah dana dengan cara utang-piutang. Tanpa jaminan, hanya bermodalkan foto dan KTP, banyak orang akhirnya memanfaatkan layanan keuangan baru ini. Namun, tidak sedikit yang terjebak dan malah terjerat  kerugian karenanya.

Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin Al Aiyub pun menyampaikan bahwa pinjol menyimpan risiko yang besar di kedua pihak, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman. Tanpa menyelidiki profil calon nasabah dan tanpa ada jaminan, perusahaan penyedia Pinjol berisiko mengalami kredit macet yang besar.

Peminjam juga berisiko karena kerap menyetujui tanpa membaca “syarat dan ketentuan” yang banyak dan ditulis dengan huruf kecil-kecil. Padahal, di dalamnya tertuang ketentuan seperti bunga maupun konsekuensi bila pinjaman tidak melunasi sesuai waktu yang disepakati.

“Oleh karena itu, penting dilakukan literasi kepada masyarakat agar memahami lebih teliti perusahaan fintech untuk memenuhi kebutuhannya. Penting memberikan literasi kepada masyarakat agar harus mempelajari syarat dan ketentuan sebelum menyetujui pinjaman,” seperti dikutip dari laman MUI.

Sholahudin juga mendorong pemerintah untuk menutup celah pinjaman online ilegal yang semakin menjamur karena meningkatkan kebutuhan dana di masyarakat di tengah Covid-19. Menurut dia, bank wakaf mikro dapat menjadi alternatif bagi masyarakat dalam melakukan pinjaman dana, di tengah masalah pinjaman online ilegal yang belakangan ini sangat meresahkan.

“Penting untuk mendorong pemerintah menyediakan lembaga keuangan yang bisa menjangkau masyarakat lapisan paling bawah. Mereka umumnya tidak punya akses ke lembaga keuangan karena tidak bankable (memiliki aset sebagai syarat peminjam). Bank wakaf mikro yang sejatinya didesain untuk memenuhi kebutuhan (dana) mereka, masih sangat sedikit (Bank Wakaf Mikro), sehingga perlu diperbanyak lagi,” ujarnya. []

SUMBER: MUI