Salah satu yang berjasa besar untuk memutus mata rantai Covid 19 adalah tenaga medis. Sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19, tenaga medis dalam bertugas harus dibekali Alat Pelindung Diri (APD) yang mempuni. Nah, dalam pemakaian APD pun terdapat Standar Operasional Prosedur ketat yang harus dilaksanakan. Timbul persoalan, para tenaga medis yang muslim ini, ketika ingin melaksanakan shalat tanpa berwudhu dan tayammum terlebih dahulu. Pasalnya akan sulit bila terlebih dahulu harus membuka APD. Nah, bagaimana hukum shalat tanpa wudhu dan tayamum bagi tenaga medis Covid19?
Dalam literatur yurisprudensi Islam, shalat tanpa berwudhu dan tayammum dikenal dengan istilah faqid ath-thahurain. Para ulama dari beberapa negara Islam telah mengeluarkan fatwa, bahwa boleh hukumnya bagi tenaga medis Covid 19 untuk melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum.
Fatwa tentang boleh shalat tenaga medis Covid-19 tanpa wudhu dan tayamum
Lembaga Fatwa Tinggi Islam Aljazair mengeluarkan bahwa berbunyi;”boleh hukumnya tenaga medis Covid 19 melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum”. Ada dua alasan utama di balik keluarnya fatwa ini. Pertama, karena khawatir para tenaga medis akan terpapar virus corona apabila membuka APD mereka. Dan para tenaga medis rentan terkena Covid 19. Alasan kedua, tenaga medis tidak dimungkinkan meninggalkan pekerjaan mereka. Pasalnya, banyak pasien yang bergantung terhadap pelayanan mereka. Apabila pesien ditinggalkan para tenaga medis, akan menimbulkan darurat.
Berikut kutipan fatwa tersebut;
أن المكلّف العاجز عن الوضوء والتيمّم معا كما هو شأن الأطباء والممرضين ومن في حكمهم كرجال الأمن والحماية المدنية وغيرهم ممن يستحيل عليهم ترك أعمالهم, التي تتوقف عليها ضرورة العلاج وإنقاذ حياة إنسان، فعليه أن يؤدي صلاته ولو بغير وضوء ولا تيمُّم، إذا عجز عنهما
Artinya:sesungguhnya orang yang tidak dapat berwudhu dan melakukan tayamum bersama-sama, seperti yang terjadi pada dokter, perawat, dan orang-orang yang sederajat seperti petugas keamanan dan perlindungan sipil dan lain-lain yang tidak mungkin untuk meninggalkan pekerjaan mereka di mana kebutuhan perawatan dan penyelamatan hidup seseorang bergantung, atau mereka diharuskan memakai pakaian pelindung yang menutupi sebagian besar tubuh mereka dan mereka tidak dapat melepaskannya, maka mereka dibolehkan melaksanakan shalat tanpa wudhu atau tayamum, jika dia tidak mampu melakukannya.
Selanjutnya, Dar al-Ifta Mesir pun telah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya tenaga medis Covid 19 untuk shalat tanpa wudhu dan tayamum. Para ulama dari Dar al-Ifta menjadikan dalil keringanan tersebut firman Allah dalam Q.S al-Haj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Dan juga sabda Nabi Muhammad:
إذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» رواه البخاري
Artinya: apabila aku larang kamu akan sesuatu, maka kerjakanlah, dan apabila akun perintahkan tentang suatu perkara maka datangi kamulah apa yang kamu mampu memperbuatnnya.
Berikut penjelasan Lembaga Fatwa Mesir tentang bolehnya tenaga medis Covid 19 shalat tanpa wudhu dan tayamum:
دَخَل وقت الصلاة وأراد أداءها: فإذا تَعذَّر على الطبيبِ المعالج خَلْع الملابس الوقائية التي يرتديها للوضوءِ للصلاة فإنه يتيمم؛ فإن تَعذَّر التيمم عليه أيضًا؛ فحكمه في ذلك حكم فاقد الطهورين؛ فعليه الصلاة على حاله بلا وضوءٍ ولا تَيَمُّمٍ مراعاةً لحُرْمة الوقت، ولا يجب عليه إعادة ما صلَّاه.
Artinya: masuk waktu shalat, tenaga medis berkeinginan untuk melaksanakan shalat; Maka apabila ada uzur bagi tenaga medis utuk membuka APD ketika berwudhu untuk shalat, maka dia bisa melaksanakan tayamum. Jika lemah/uzur dari melaksanakan tayamum atasnya, maka hukum demikian (shalat tanpa wudhu dan tayamum) adalah hukum faqid ath-thahurain, Maka salatlah tenaga medis dalam keadaannya tanpa wudhu dan tayamum untuk menghormati waktu,dan tak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalatnya.
Lembaga Fatwa Arab Saudi pun memberikan keringan kepada para tenaga medis, boleh melaksanakan salat tanpa wudhu dan tayamum. Fatwa ini keluar sebagai jalan kemudahan bagi tenaga medis dalam melaksanakan tugasnya untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Dan juga untuk melindungi diri mereka dari penyakit menular tersebut.
Pendek kata, boleh hukumnya tenaga medis shalat tanpa wudhu dan tayamum. Dalam fiqih Islam keadaan ini dinamakan dengan istilah Faqid at thahuroin. Lantas, apa yang dinamakan Faqid at thahuroin? Para ulama klasik dan kontemporer telah membahas persoalan ini secara lengkap.
Definisi dan hukum shalat dalam faqid at thahurain
Salah satunya adalah Syaikh Athiyah Saqar, Mufti Mesir dan Guru Besar Universitas Al-Azhar. Ulama senior Mesir ini menyebut bahwa faqid at thahurain adalah ketika luput alat yang dibuat untuk bersuci yakni air dan debu. Dalam keadaan demikian seseorang boleh melaksanakan shalat. Dan tak ada kewajiban untuk mengulangi shalatnya.
Syaikh Saqar mengatakan:
الطهوران هما: الماء والتراب، والذي يفقدهما يصلى على حسب حاله، ولا إعادة عليه
Artinya: yang mensucikan itu ada dua yakni debu dan air; dan ketika keduanya luput, maka salatlah mereka dalam keadaan demikian, dan tidak ada kewajiban mengulanginya.
Menurut Syaikh Saqar, dalam keadaan darurat hukum faqid at thuharain ini dapat dipergunakan. Ia memberikan contoh, di kawasan yang turun salju, dan tak memungkinkah untuk berwudhu karena dingin. Dan tak ditemui debu untuk tayamum. Maka seseorang bisa melaksanakan shalat tanpa wudhu dan tayamum.
Lihat penjelasan beliau:
ومثل ذلك من وجد في منطقة جليدية ليس بها تراب، ولم يتحمل أن يتطهر بالثلج لشدة برودته، وعدم وجود ما يدفئه به فيعتبر فاقد الطهورين يصلي حسب حاله دون إعادة عليه
Artinya: Dianggap faqid at thuharain untuk seseorang yang tinggal di daerah salju yang tidak memiliki debu, dan tidak mampu untuk menyucikan dirinya di salju karena sangat dingin, dan tidak ada kehangatan di dalamnya,dan dia dianggap dalam keadaan faqid at thuharain dan shalat ia sesuai dengan kondisinya tanpa mengulanginya.
Ulama kontemporer dari Suriah, Syekh Wahbah az Zuhaili pun memberikan penjelasan tentang faqid at thurain . Ia mendefinisikan tentang keadaan ini dengan lengkap. Dalam Wahbah az-Zuhaili al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Jilid I, halaman 606-607, Wahbah Zuhaili berkata:
فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد تراباً ندياً ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معاً بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.
Artinya: faqid at thurain: adalah keadaan yang luput dari air dan debu, seolah-olah dia terkurung di tempat yang tidak ada salah satu dari debu dan air. Atau ia berada di tempat najis, dan tak ada tanah yang mensucikan. Atau seolah-olah ada air namun terbatas, tetapi ia dia butuhkan untuk menghilangkan haus, atau dia menemukan tanah yang lembab dan tidak mampu mengeringkannya dengan api. Demikian juga, orang yang disalibkan dan penumpang di kapal yang tidak mencapai air, dan sama juga orang tidak mampu berwudhu dan tayamum karena penyakit dan sejenisnya, seperti orang yang memiliki luka yang tidak dapat disentuh kulitnya dengan wudhu atau tayamum.
Dalam teks yang diungkapkan oleh Syekh Wahbah Zuhaili, tampak pengertian faqid at thurain lebih lengkap. Dan tentu lebih kontemporer. Lantas, ketika shalat dalam keadaan faqid at thurain, apakah seseorang mengulangi shalatanya? Atau tak perlu shalat? Wahbah Zuhaili menerangkan pendapat empat ulama mazhab terkemuka dalam massalah ini.
Pertama, pendapat kalangan ulama dari mazhab Imam Syafi’i, bahwa orang yang dalam keadaan faqid at thurain, boleh melaksanakan shalat fardu saja. Tidak diperkenankan melaksanakan shalat sunat. Dan ia wajib mengulangi shalatnya kembali ketika ada air atau debu atau ketika keadaan darurat hilang.
الشافعية: يصلي فاقد الطهورين الفرض وحده في المذهب الجديد على حسب حاله بنية وقراءة، لأجل حرمة الوقت، ولا يصلي النافلة ويعيد الصلاة
Artinya: Ulama dari kalangan Syafi’i berpendapat shalatlah orang yang luput dari air dan debu, tetapi hanya shalat fardu saja, untuk menghormati waktu, dan tak diperkenankan shalat sunat, dan ia juga mengulangi lagi nanti shalat tersebut.
Kedua, Mazhab Imam Hanbali berpendapat hukumnya wajib shalat orang yang dalam keadaan (baca: faqid at thoharain) tetapi salat fardu saja. Dan tak ada kewajiban mengulangi shalatnya.
لحنابلة: يصلي فاقد الطهورين الفرض فقط، على حسب حاله وجوباً، ولا إعادة عليه
Artinya: Orang yang luput dari air dan debu hanya shalat fardu saja. Dan tidak mengulanginya.
Ketiga , mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang luput dari air dan debu boleh melaksanakan shalat dengan gerakan shalat, tapi tak perlu membaca surat Alfatiha dan bacaan lainnya. Di lain waktu, ia dianjurkan untuk mengqadha (mengganti) shalatnya.
Imam Wahbah az-Zuhaili menulis:
الحنفية: المفتى به عندهم ما قاله الصاحبان: وهو أن فاقد الطهورين يتشبه بالمصلين وجوباً، فيركع ويسجد، إن وجد مكاناً يابساً، وألا يومئ قائماً، ولا يقرأ ولا ينوي، ويعيد الصلاة متى قدر على الماء أو التراب
Artinya; bagi mazhab Hanafi , orang yang faqid at thuharain menyerupailah ia dengan orang yang shalat, maka ia rukuk dan sujud, apabila ia mendapati tempat yang kering, dan bukan untuk memberi isyarat berdiri, tidak membaca fatiha dan tidak berniat, dan mengulangi shalatnya apabila bertemu atau sanggup menyentuh air dan debu.
Keempat Mazhab Maliki, mereka berpendapat tak ada kewajiban melaksanakan shalat. Lebih lanjut, ulama maliki mengatakan bahwa orang yang tak menjumpai air dan debu atau hilang kemampuan memakai keduanya seperti, orang disalib maka gugur kewajiban shalat dan qadha. Tak ada tuntutan syariat shalat dan qadha.
المالكية: المذهب المعتمد أن فاقد الطهورين وهما الماء والتراب، أو فاقد القدرة على استعمالهما كالمكره والمصلوب، تسقط عنه الصلاة أداء وقضاء، فلا يصلي ولا يقضي، كالحائض؛ لأن وجود الماء والصعيد شرط في وجوب أداء الصلاة
Artinya: Kalangan mazhab Maliki memberikan penjelasan bahwa orang yang faqid at thuharain atau uzdur dalam menggunakan air dan debu seperti orang yang disalib atau terpaksa, maka seketika gugur kewajiban shalat dan qadha. Keadaan ini (baca: shalat dan debu) diqiyaskan kepada orang yang haid—tak ada kewajiban bagi wanita haid shalat dan mengqadha shalatnya—, sebab air dan debu menjadi syarat untuk melaksanakan shalat.
Kesimpulan dari pelbagai teks yang menerangkan tentang definisi dan tata cara shalat faqid ath-thahurain , maka para tenaga medis tergolong orang yang dalam hukum fiqih disebut sebagai faqid ath-thahurain. Pasalnya mereka digolongkan orang yang uzhur atau darurat ketika hendak wudhu dan tayamum.
Demikian penjelasan tentang bagaimana hukum shalat tanpa wudhu dan tayamum bagi tenaga medis covid-19?