Suatu saat Rasulullah SAW menemui sahabat Sa’ad yang sedang berwudhu. Ia berwudhu dengan banyak menggunakan air. Melihat hal ini Rasulullah SAW menegurnya. ”Mengapa engkau berbuat boros, wahai Sa’ad?” Sa’ad menjawab, ”Apakah dalam air juga ada pemborosan?”
”Ya, walaupun engkau berada di sungai maupun lautan,” jawab Nabi SAW. (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari hadis Ibnu Umar). Rasulullah SAW melarang umatnya berbuat boros dalam segala hal, kendatipun itu untuk keperluan berwudhu. Meski, Rasulullah SAW tetap menyuruh umatnya untuk berwudhu secara sempurna.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat menganjurkan umatnya untuk efisien dalam hal apa pun. ”Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya,” begitulah sabda Nabi SAW yang telah menjadi teladan dan panutan bagi umatnya.
Hampir semua kebajikan berada di tengah dua perangkap setan, yaitu berlebihan dan kekurangan. Ini dapat dicontohkan dari sifat pemaaf, antara marah dan pengecut; sifat dermawan, antara berlebihan dan kikir; dan efisiensi, antara boros dan kekurangan.
Sebuah perusahaan akan kolaps kalau tidak melakukan efisensi penggunaan dana. Sebuah organisasi akan bubar kalau tidak memperhatikan efisiensi dalam pengaturan anggotanya. Begitu pula dengan pribadi manusia, ia akan merana dan tidak dapat berkembang kalau tidak menerapkan prinsip efisiensi dalam dirinya.
Karena efisiensi jelas akan menghemat segala sesuatu, sehingga dapat digunakan untuk kebaikan orang lain. Sisa dana hasil efisiensi akan termanfaatkan, karenanya tak ada penghamburan harta di atas penderitaan orang lain.
Akhirnya, ia tidak kikir terhadap dirinya maupun orang lain. Allah SWT memuji orang-orang yang tidak boros dan tidak kikir. ”Dan orang-orang yang jika berinfak tidak boros dan tidak kikir, dan ia menempuh jalan di antara keduanya.” (QS Al-Furqan (25): 67).
Dalam tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa An-Nahhas telah berkata, ”Sebaik-baik penafsiran dalam ayat ini adalah barang siapa menggunakan hartanya tidak dalam ketaatan, maka termasuk berbuat boros (israf); dan barang siapa tidak menyumbang dalam ketaatan, maka ia termasuk berbuat kikir. Dan barangsiapa menggunakan hartanya untuk ketaatan itulah yang paling benar (qawam).”
Coba bayangkan kalau setiap orang mau melakukan efisiensi dengan cara yang paling sederhana, misalnya dengan tidak menggunakan lampu listrik pada siang hari, maka berapa kwh yang dapat dihemat dalam satu hari?
Dengan melakukan efisiensi di berbagai hal secara nasional, maka bangsa Indonesia akan mampu menghemat kekayaannya dan dapat berdiri dengan kekuatan sendiri. Kalau dengan tenaga dan kekuatan sendiri saja sudah mampu dan kuat, mengapa harus menggantungkan diri kepada bangsa lain?