Balasan Bagi Jamaah Umrah yang Bermaksiat di Tanah Suci

Balasan Bagi Jamaah Umrah yang Bermaksiat di Tanah Suci

Perbuatan buruk akan diganjar dosa berlipat ganda jika dilakukan di Makkah.

Oleh FUJI EP

Ibadah umrah di Tanah Suci kian populer di tengah masyarakat Indonesia. Terlebih, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mempermudah baik akses imigrasi, transportasi maupun akomodasi bagi mereka yang ingin berangkat umrah. Faktor lainnya, lamanya antrean haji membuat masyarakat memilih umrah sebagai alternatif.

Jamaah melaksanakan rangkaian ibadah umrah di Makkah al-Mukarramah yang artinya Makkah kota yang mulia. Makkah juga disebut sebagai Tanah Haram atau Tanah Suci.

Ibadah yang dilakukan di Tanah Suci dilipatgandakan pahalanya. Hal itu merujuk pada hadis yang disampaikan Abdullah bin Zubair bin Awwam yang juga dikenal sebagai Ibnu Zubair Radhiyallahuanhu.

Shalat di Masjidil Haram lebih utama dibanding shalat di masjidku dengan kelipatan pahala 100 ribu shalat

HR IMAM AHMAD

Rasulullah SAW bersabda, “Shalat di Masjidku (Masjid Nabawi di Madinah) ini lebih utama dibanding seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram (di Makkah). Sedangkan, shalat di Masjidil Haram lebih utama dibanding shalat di masjidku dengan kelipatan pahala 100 ribu shalat” (HR Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Jika ibadah yang dikerjakan di Tanah Suci dilipatgandakan pahalanya, lantas bagaimana perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukan di Tanah Suci? Apakah dosanya akan berlipat ganda sebagaimana pahalanya berlipat ganda saat melakukan amal ibadah yang baik?

Menjawab pertanyaan tersebut, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi an-Naysaburi al-Faqih ash-Shufi asy-Syafi’i al-Asy’ari yang dikenal sebagai Imam al-Ghazali dalam kitab Asrar al-Haj menjelaskan bahwa para ulama mengatakan bahwa tinggal lama di Makkah (Tanah Suci) bagi jamaah haji merupakan tindakan yang makruh.

Alasan dihukumi makruh karena khawatir muncul kebosanan atau perasaan nyaman dengan Baitullah. Perasaan semacam itu boleh jadi akan berdampak pada hilangnya bentuk penghormatan kepada Baitullah.

Alasan lainnya, ditakutkan berbuat kesalahan dan dosa di Makkah (Tanah Suci). Hal itu dilarang karena akan menimbulkan kemurkaan Allah SWT karena betapa mulianya Tanah Suci. Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada satu pun negeri, kecuali di Makkah, di mana seorang disiksa hanya berdasarkan niat buruknya dan belum sempat melakukannya.”

Kemudian Ibnu Mas’ud membaca surah al-Hajj ayat 25.

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِۗ وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ ࣖ

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan (dari) Masjidil Haram yang telah Kami jadikan (terbuka) untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar (akan mendapatkan siksa yang sangat pedih). Siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya pasti akan Kami jadikan dia merasakan sebagian siksa yang pedih.”

Maksudnya, orang mendapatkan siksa meski hanya sekadar berkehendak. Dikatakan bahwa keburukan akan dilipatgandakan dosanya jika dilakukan di Makkah, sebagaimana kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya. Para ulama menghukumi makruh berlama-lama tinggal di Tanah Suci karena khawatir manusia akan lupa dan berbuat dosa. Namun, jika manusia tersebut tidak lupa dan tidak berbuat dosa serta bisa memenuhi hak-hak Tanah Suci, ia tetap bisa mendapatkan keutamaan saat tinggal di Tanah Suci.

Meski jamaah dimakruhkan untuk berlama-lama di Tanah Suci, mereka tak perlu khawatir akan kehilangan panen pahala. Faktanya, ada amal ibadah yang bila dikerjakan oleh seorang Muslim maka diganjar dengan pahala seperti ibadah umrah dan haji. Hal itu berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Abu Umamah RA.

Dalam hadis tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لَا يَنْصِبُهُ إِلَّا إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلَاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلَاةٍ لَا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِي عِلِّيِّينَ

“Siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju (untuk melaksanakan) shalat wajib maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji yang sedang ihram. Siapa yang keluar untuk shalat sunah Dhuha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya (setara dengan) orang yang berumrah. Adapun menunggu shalat hingga datang waktu shalat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang saleh)” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Dalam hadis ini Rasulullah SAW memberikan petunjuk tentang keutamaan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah dan menjelaskan pahala yang disiapkan bagi mereka yang terbiasa pergi ke sana. Bersuci maksudnya ialah dalam keadaan wudhu dan suci dari hadas kecil maupun besar. Jika itu dilakukan, pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, maka pahalanya seperti jamaah haji yang sedang ihram.

Keadaan suci saat shalat ibarat memasuki ihram saat ibadah haji karena dengan ihramlah pahala haji menjadi sempurna

Keadaan suci saat shalat ibarat memasuki ihram saat ibadah haji karena dengan ihramlah pahala haji menjadi sempurna. Begitu pula dengan orang yang keluar untuk mendirikan shalat. Jika dia bersuci maka pahala shalatnya jadi sempurna. Adapun orang yang berjalan dengan niat murni untuk melaksanakan shalat Dhuha maka dia diganjar pahala yang setara dengan ibadah umrah.

Sedangkan, menunggu shalat sampai tiba waktu shalat berikutnya dan tidak melakukan sesuatu yang sia-sia di antara keduanya, maksudnya adalah tidak ada satu pun urusan duniawi mengalihkan perhatiannya kecuali berzikir dan berdoa.

Pahala yang tertulis di ‘illiyin adalah ketika seorang Muslim selesai melaksanakan shalat di masjid lalu dia tidak pergi keluar dan tetap berada di masjid untuk menunggu waktu shalat berikutnya dan tidak melakukan perbuatan batil selama rentang waktu tersebut. Adapun ‘illiyyin, malaikat naik ke ‘illiyyin untuk memuliakan orang-orang yang beriman atas amal saleh mereka. Pada dasarnya, hadis tersebut memerintahkan setiap Muslim untuk selalu dekat dengan masjid, dan shalat berjamaah di masjid.

REPUBLIKA