Beberapa Kesalahan dan Kemungkaran terkait Ibadah Haji (Bag. 1)

Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat agung, ibadah yang dirindukan oleh jutaan kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji haruslah dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, dan tidak kalah penting, sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku), karena aku tidak tahu apakah aku masih bisa berhaji setelah hajiku ini.” (HR. Muslim no. 1297)

Selain itu, dalam ibadah haji tersebut, kita juga perlu membersihkan aqidah dan keyakinan kita dari berbagai pemikiran yang menyimpang, apalagi keyakinan yang menjerumuskan kita ke dalam syirik, baik syirik kecil maupun syirik besar.

Oleh karena itu, melalui serial tulisan ini, kami ingin menyampaikan beberapa kesalahan dan kemungkaran yang dijumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, baik yang terkait dengan fiqh ibadah haji itu sendiri atau yang terkait dengan penyimpangan aqidah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji.

Memulai ihram sebelum sampai di miqat

Tidak terdapat dalil valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyariatkannya ihram sebelum miqat.

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengingkari orang yang ingin memulai ihram jauh sebelum miqat, meskipun dengan niat ingin memperbanyak pahala.

Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah, beliau berkata, “Aku mendengar dari Imam Malik bin Anas, beliau didatangi oleh seseorang. Orang tersebut berkata, “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), dari mana Engkau mulai berihram?”

Imam Malik menjawab, “Dari Dzul Hulaifah (Bir ‘Ali), dari tempat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berihram.”

Orang tersebut berkata, “Aku ingin memulai ihram dari masjid di samping kubur Nabi.”

Imam Malik mengatakan, “Jangan Engkau lakukan, karena aku khawatir Engkau akan tertimpa fitnah.”

Orang tersebut berkata, “Fitnah seperti apa yang ditakutkan dari perbuatan semacam ini? Ini hanyalah beberapa mil yang aku tambahkan (untuk berihram) (untuk menambah pahala kebaikan, pen.).”

Imam Malik menjawab perkataan orang tersebut,

وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصر عنها رسول الله صلى الله عليه و سلم؟ إني سمعت الله يقول:

“Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika Engkau menyangka bahwa Engkau memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya aku mendengar Allah Ta’ala mengatakan,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur [24]: 63) (Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/148; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/326; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, no.232, dan lain-lain)

Abu ‘Ubaid rahimahullahu Ta’ala berkata tentang seseorang yang mulai berihram dari kampungnya, “Sesungguhnya hal itu menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah mawaqit (tempat atau waktu dimulainya ihram, pen.).” (An-Naasikh wal Mansuukh, hal. 187-188)

Ibnu ‘Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah berkata,

كَرِهَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنْ يُحْرِمَ أَحَدٌ قَبْلَ الْمِيقَاتِ … وَمِنْ أَقْوَى الْحُجَجِ لِمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يُحْرِمْ مِنْ بَيْتِهِ بِحَجَّتِهِ وَأَحْرَمَ مِنْ مِيقَاتِهِ الَّذِي وَقَّتَهُ لِأُمَّتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا فَعَلَهُ فَهُوَ الْأَفْضَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَكَذَلِكَ صَنَعَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَعْدَهُمْ كَانُوا يُحْرِمُونَ مِنْ مَوَاقِيتِهِمْ

“Imam Malik membenci seseorang mulai berihram sebelum miqat … Dan di antara dalil paling kuat pendapat Imam Malik dalam masalah ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mulai berihram dari rumahnya (di Madinah, pen.) ketika berhaji. Beliau berihram dari tempat yang telah beliau tetapkan untuk umatnya. Apa yang beliau kerjakan, inilah yang lebih utama, insyaa Allah. Demikian pula yang dilakukan oleh mayoritas sahabat dan tabi’in setelahnya, mereka mulai berihram dari miqat mereka masing-masing.” (At-Tamhiid, 15: 143-146)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,

وإن لبس إزاره ورداءه قبل الركوب أو قبل الدنو من الميقات فلا بأس ، ولكن لا ينوي الدخول في النسك ولا يلبي بذلك إلا إذا حاذى الميقات أو دنا منه ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحرم إلا من الميقات ، والواجب على الأمة التأسي به صلى الله عليه وسلم في ذلك كغيره من شئون الدين

“Adapun jika seseorang mulai memakai pakaian ihram (izar [pakaian bawahan ketika ihram] dan rida’ [pakaian atasan ketika ihram])sebelum naik pesawat atau ketika sudah dekat dengan miqat, hal ini tidak mengapa. Akan tetapi, dia tidak boleh berniat mulai manasik dan tidak boleh bertalbiyah kecuali jika sudah berada di miqat atau sudah (sangat) dekat dengan miqat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mulai berihram kecuali setelah berada di miqat. Menjadi kewajiban umat ini untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini, sebagaimana perkara-perkara agama yang lainnya.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 16: 44)

Lalai dari berniat untuk ihram karena kurang perhatian, padahal sudah melewati miqat

Terdapat pertanyaan yang disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, “Sebagian penumpang pesawat (yang akan berhaji) tidak berniat masuk ke dalam rangkaian manasik kecuali setelah melewati miqat karena mereka lalai (karena kurang perhatian, pen.)?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Jika (calon jamaah haji) tidak berniat kecuali setelah melewati miqat, maka di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa barangsiapa yang meninggalkan ihram dari miqat, maka wajib baginya untuk membayar denda (dam), yaitu bianatangyang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir miskin di Makkah, meskipun dia meninggalkannya karena kelalaian. Hal ini karena wajib atasnya untuk perhatian. Jika dia khawatir terlewat (karena lalai) atau ketiduran, maka tidak mengapa berniat ihram sebelum lurus atau bertepatan dengan miqat. Seseorang yang mengetahu bahwa dirinya itu mudah lalai atau mudah ketiduran, maka hendaknya dia berniat sebelum sampai ke miqat dan tidak masalah baginya untuk niat berihram sebelum sampai ke miqat.” (I’laamul Musaafiriin, hal. 79, pertanyaan nomor 106)

Beliau juga ditanya, “Pilot pesawat terbang lupa untuk memberi pengumuman kepada penumpang (calon jamaah haji) bahwa sudah sampai miqat. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dilakukan oleh penumpang?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjawab,

“Adapun pilot pesawat terbang, jika dia lupa, maka tidak ada masalah (tidak ada dosa) baginya. Demikian pula penumpang, tidak masalah bagi mereka dan tidak berdosa. Akan tetapi, wajib bagi mereka untuk membayar badal (pengganti), yaitu tebusan berupa kurban (kambing) yang disembelih di Makkah dan dibagikan kepada kaum fakir miskin. Inilah fatwa para ulama bagi mereka yang tidak berihram dari miqat.” (I’laamul Musaafiriin, hal. 81, pertanyaan nomor 101)

Bermudah-mudah untuk menerjang larangan dalam ibadah haji

Wajib atas setiap calon jamaah haji untuk mempelajari berbagai hal yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji sehingga tidak melanggar larangan tersebut. Misalnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ

“Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)

Dan diqiyaskan dengan menggundul rambut kepala adalah mencabut rambut kepala dengan sengaja. Jika tidak senagaja, maka tidak mengapa (dimaafkan).

Demikian pula larangan yang terapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَلْبَسُوا القَمِيصَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ، وَلاَ العَمَائِمَ …

“Janganlah (orang yang ihram) memakai gamis (jubah), celana, dan surban … “ (HR. Bukhari no. 1838, 1842 dan Muslim no. 1177)

Ini hanyalah sebagian kecil contoh larangan yang wajib atas setiap orang yang ingin berhaji untuk mempelajari perkara-perkara yang lainnya, sehingga dapat mengamalkannya.

[Bersambung]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41311-beberapa-kesalahan-dan-kemungkaran-terkait-ibadah-haji-bag-1.html