Dunia hukum Indonesia kembali tercoreng. Salah satu hakim yang seharusnya memberikan rasa adil mencederai rasa keadilan dengan menerima suap. Kasus suap yang melibatkan oknum penegak hukum seolah terus berulang. Ancaman sanksi tinggi dalam penindakan korupsi seolah tak mempan bagi para mafia peradilan ini.
Lalu, bagaimanakah hukum Islam melihat perbuatan para oknum penegak hukum yang melacurkan hukum dengan menerima suap? Suap dalam hukum Islam dikenal dengan istilah risywah. Hukum memberi, menjadi perantara dan penerima suap adalah haram.
Ibnu Abidin menjelaskan, suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim ataupun orang lain agar dia memberi keputusan yang memihak kepada orang yang menyuap atau agar keputusannya sesuai dengan apa yang diinginkan si penyuap.
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menerangkan, lewat pengertian tersebut, menjadi jelas bahwa bentuk suap lebih umum dari sekadar harta maupun jasa yang bisa dijadikan atau digunakan suap. Sementara itu, yang dimaksud dengan hakim di dalam pengertian tadi adalah seorang yang berprofesi hakim ataupun orang lain yang bisa diharapkan memenuhi kepentingan orang yang menyuap baik itu pemimpin negara, karyawan-karyawannya, atau staf.
Sedangkan yang dimaksud dengan memberi keputusan yang memihak orang yang menyuap adalah menjadikan keputusan tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang menyuap, baik maksud tersebut benar maupun salah.
Suap termasuk di antara dosa-dosa besar yang diharamkan Allah SWT. Rasulullah SAW pun telah melaknat pelaku suap. Dalam suap terdapat kerusakan yang amat hebat, dosa yang besar, dan mengakibatkan dampak yang sangat buruk. Suap termasuk kriteria saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran yang dilarang oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah [5]:2)
Allah SWT juga melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 188)
Al Haitsami memberikan tafsir ayat di atas dengan larangan seseorang memberikan pemberian kepada hakim dengan cara menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada penyuap, sedangkan yang menyuap mengetahui hal itu tidak halal baginya.
Suap termasuk kriteria memakan harta orang lain dengan cara yang batil yang paling berbahaya, karena ia adalah memberikan harta kepada orang lain dengan tujuan menyelewengkan kebenaran.
Rasulullah SAW juga melaknat orang-orang yang terlibat dalam kasus suap. Bukan hanya pemberi dan penerima saja, orang yang menjadi perantara suap pun turut dalam murka Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap dan orang yang menjadi perantara antara keduanya.” (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani).
Laknat Allah adalah terlemparnya seseorang dari rahmat Allah SWT. Padahal tidaklah seseorang bisa selamat di hari Akhir atau masuk ke surga Allah melainkan bersebab dari rahmat Allah SWT. Kerasnya larangan dari Alquran dan sunah membuat para ulama sepakat jika suap adalah termasuk salah satu dosa besar. Al Haitsami memasukkan suap sebagai dosa besar ke-32.
Suap juga menjadi indikasi hancurnya sebuah negara. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Amr bin Ash RA, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah riba merajalela pada suata bangsa, melainkan mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan tidak pula suap-menyuap merajalela, melainkan mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan’.”
Ancaman yang keras terhadap praktik suap membuat seseorang yang menjadi hakim harus memiliki kualifikasi yang tinggi. Syekh Abu Bakar Jabir al-Jaza memberikan beberapa syarat bagi mereka yang berhak diangkat menjadi hakim. Seorang hakim dalam hukum Islam mestilah Muslim, berakal, baligh, merdeka, memahami Alquran dan sunah, mengetahui dengan apa ia memutus perkara, dapat mendengar, melihat, dan berbicara.
Syekh Abu Bakar juga mewanti-wanti kepada siapa pun yang menjabat sebagai hakim agar menjauhi hal-hal berikut. Pertama, tidak memutus sebuah perkara dalam keadaan emosi, lapar, sakit, atau malas. Sabda Nabi SAW, “Seorang hakim tidak boleh memutus perkara di antara dua orang yang berperkara dalam keadaan marah.” (HR Bukhari Muslim).
Seorang hakim juga tak boleh memutus perkara tanpa adanya saksi, tidak boleh memutus perkara yang ada kaitan dengan dirinya seperti perkara anaknya, bapaknya, atau istrinya. Tidak boleh menerima suap dalam menetapkan hukuman. Nabi SAW bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerimanya dalam menetapkan hukuman.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Ia juga tidak boleh menerima hadiah dari seseorang yang tidak pernah memberinya hadiah sebelum diangkat menjadi hakim. Sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan, kemudian kami memberinya rezeki (gaji), maka sesuatu yang didapatkannya setelah itu adalah pengkhianatan.” (HR Abu Daud dan Hakim).
Oleh Hafiz Muftisanny