Sebelum menerima cahaya iman, Hamzah bin Abdul Muthalib larut dalam kehidupan duniawi. Ia gemar mabuk-mabukan dan berfoya-foya. Ia juga bersikap begitu fanatik terhadap sukunya, Bani Hasyim.
Bila merujuk pada nasab, Hamzah merupakan salah seorang paman Nabi Muhammad SAW. Tapi, saat itu Hamzah bin Abdul Muthalib masih acuh tak acuh terhadap ajaran yang disebarkan keponakannya tersebut.
Sekalipun membela Muhammad, hal itu dilakukannya lebih karena fanatisme kesukuan. Siapa pun yang menyakiti Muhammad, Hamzah bin Abdul Muthalib tidak akan tinggal diam.
Suatu malam, Hamzah berjalan pulang ke rumahnya. Ia baru saja selesai berburu. Di tengah perjalanan, seorang budak milik Abdullah bin Jud’an mencegatnya. Bukan main kagetnya Hamzah mendengar perempuan itu berkata setengah berteriak, Wahai Tuan, alangkah hinanya keturunan Abdul Muthalib!
Ada apa? tanya Hamzah yang mencoba mengendalikan dirinya.
Kalau Tuan melihat apa yang dilakukan Hakam bin Hisyam terhadap keponakan Tuan, Muhammad, tentu Tuan akan marah besar. Kondisinya sangat menyedihkan karena keponakan Tuan itu dicaci-maki dan disakitinya, kata budak perempuan ini. Hakam bin Hisyam adalah nama lain Abu Jahal.
Amarah Hamzah tidak bisa dikendalikan lagi. Benarkah kata-katamu ini, wahai budak? tanya Hamzah.
Sungguh, saya tidak berdusta, Tuan, jawab perempuan yang masih menyembunyikan keislamannya itu. Maka, Hamzah bin Abdul Muthalib bergegas pergi ke kediaman Nabi Muhammad.
Ia ingin mendengarkan kabar ini langsung dari keponakannya itu. Bagaimanapun, Hamzah sangat benci bila Muhammad dihina di depan umum sampai-sampai seorang budak menganggap rendah tabiat Bani Hasyim, khususnya anak-cucu Abdul Muthalib.
Kebetulan, Hamzah berpapasan dengan beberapa orang yang sedang berkumpul di tepi jalan. Salah satunya adalah Abu Jahal. Bahkan, saat itu Abu Jahal sedang menjelek-jelekkan Nabi Muhammad dengan kata-kata yang sangat menghina.
Begitu mendengar celotehan Abu Jahal, Hamzah segera mengambil busur panahnya dan memukul kepala Abu Jahal dengan benda itu sekeras mungkin hingga mengucurkan darah. Abu Jahal tersungkur di depan anak buahnya.
Hai Hakam! Sekali lagi kamu menghina keponakanku, berikutnya kamu akan saya lawan lebih keras lagi! bentak Hamzah. Apa kamu sekarang sudah melindungi Muhammad? Apa kamu telah keluar dari ajaran nenek moyang kita? tanya Abu Jahal sambil menahan kesakitan kepada Hamzah.
Saya tidak peduli dengan kata-katamu. Buat saya, apa yang diucapkan Muhammad itu benar, tegas Hamzah. Ia kemudian meneruskan perjalanannya ke rumah Nabi Muhammad.
Sesampainya di sana, Hamzah menemui Rasulullah dan menanyakan keadaannya. Kemudian, Hamzah bertanya kepada keponakannya itu, Wahai keponakanku, saya telah melakukan perbuatan yang saya sendiri tidak tahu apakah benar atau salah. Karena itu, kabarkanlah kepada saya kebenaran yang engkau bawa. Saya sangat menantikan nasihat-nasihatmu.
Rasulullah membacakan beberapa ayat suci Alquran. Hal ini sangat menyentuh hati Hamzah bin Abdul Muthalib. Kepercayaannya terhadap takhayul penyembahan berhala sirna. Cahaya iman meresap ke dalam relung hatinya. Ia menyatakan diri masuk Islam.
Aku bersaksi bahwa engkau adalah orang yang benar dengan segala kesaksian. Maka, sebarkanlah dakwah sejak saat ini dengan terang-terangan. Demi Allah, saya tidak ingin hidup dengan kepercayaan saya yang dulu, ujar Hamzah.
Begitulah kisah paman Nabi yang memeluk risalah Islam itu, sebagaimana dinukil dari buku ‘101 Sahabat Nabi’ tulisan H Andi Bastoni. Sejak menjadi Muslim, Hamzah bin Abdul Muthalib setia mendampingi Nabi Muhammad dalam setiap dakwah dan jihad. Kaum musyrik Quraisy pun mulai gentar dengan kekuatan Islam. Salah satu bentuk pembelaannya adalah ketika ‘Umar bin Khaththab menggedor-gedor rumah al-Arqam pada suatu malam. Di sana, Rasulullah, para sahabat, dan Hamzah sedang berkumpul dalam majelis Alquran.
Biarkan saya yang membukakan pintu, wahai Rasulullah. Jika ia datang dengan maksud baik, kita sambut dengan baik pula. Namun, bila ia dengan niat jahat, Umar akan berhadapan dengan pedang saya, kata Hamzah.
Nyatanya, kehadiran Umar tidak lain untuk menyatakan syahadat. Nabi menyambutnya dengan sukacita. Demikian pula dengan Hamzah bin Abdul Muthalib dan para sahabat di kediaman al-Arqam. Kini, umat Islam Makkah kian kuat setelah jawara Quraisy tersebut berada di pihaknya.
Namun, posisi politik kaum musyrik semakin mapan di Makkah. Sebaliknya, umat Islam di sana semakin terjepit. Rasulullah sendiri didera duka mendalam lantaran kematian Khadijah RA, istrinya yang selalu setia mendukung dakwah Islam, serta Abu Thalib, sang paman yang begitu berpengaruh di tengah kaum Quraisy. Akhirnya, umat Islam Makkah diimbau untuk berhijrah ke Yastrib (Madinah).
Hamzah bin Abdul Muthalib juga turut pindah. Ia tinggalkan harta bendanya di Makkah untuk mengikuti Rasulullah SAW memulai menyusun kekuatan di kota baru.
Beberapa waktu kemudian, umat Islam dari kalangan Anshar dan Muhajirin mesti menghadapi kaum musyrik di Perang Badar. Hamzah tampil sebagai pahlawan perang yang mampu merobohkan para jagoan musyrikin Quraisy.
Dari kubu Muslimin, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, dan Ubaidah bin Harits merupakan punggawa yang maju menjawab tantangan Utbah bin Rabi’ah, provokator dari kubu musyrikin setelah ia berseru, Hai Muhammad, keluarkan lawan-lawan yang sepadan bagi kami!
Pada akhirnya, ketiga pahlawan Muslim itu mampu menumbangkan setiap lawannya di ajang duel satu lawan satu itu. Ketiga petarung dari kubu Quraisy bergelimpangan. Kaum Muslim pun meraih kemenangan dengan gemilang dalam Perang Badar, meskipun kalah dari segi jumlah pasukan. Banyak di antara pasukan musyrikin yang dibunuh atau tertawan.
Berita kekalahan kaum musyrik sampai di Makkah. Kesedihan meliputi penduduk kota itu. Salah satunya, istri Abu Sufyan, Hindun binti Utbah. Sebab, ayah dan kedua saudara kandungnya mati terbunuh dalam Perang Badar lantaran lesatan pedang Hamzah.
Waktu bergulir terus. Sampailah kaum Muslimin dan musyrik berhadap-hadapan kembali di medan laga. Kali ini adalah Perang Uhud.
Berbeda dengan pertempuran sebelumnya, dalam perang Uhud kaum musyrik mendapatkan dukungan langsung dari para perempuan. Mereka membawa berbagai panji-panji dan alat tabuh untuk mengobarkan semangat kaum lelakinya. Di antara mereka adalah Hindun. Ia ingin agar pasukan Quraisy mampu melampiaskan dendam kematian para keluarganya yang mati terbunuh di medan Badar.
Sebelumnya, Hindun mengandalkan jasa Jubair bin Muth’im, pemuka Quraisy yang memiliki budak ahli lempar lembing. Budak itu, Wahsyi namanya (kelak masuk Islam) ditawarkan agar menebus status merdeka dan sejumlah hadiah kekayaan dengan satu syarat: Ia bisa membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib dengan lesatan tombaknya. Hindun sungguh-sungguh membenci paman Rasulullah SAW itu karena telah membunuh Tha’imah bin ‘Adi, paman Hindun.
Dalam Perang Uhud, Hamzah tampil dengan gagah berani. Ia menebas setiap musuh Allah yang hadir di depan matanya. Pasukan Islam berhasil mendesak pasukan musyrik Quraisy. Begitulah mulanya hingga keadaan tiba-tiba berbalik.
Saat pasukan musyrikin mulai terbirit-birit lari dari gelanggang perang, pasukan pemanah dari kubu Muslimin mulai meninggalkan pos mereka. Padahal, Rasulullah SAW sudah berpesan agar mereka jangan beranjak dari atas bukit. Rupanya, mereka merasa kemenangan sudah diraih dan berburu harta rampasan di lembah yang ditinggalkan kaum musyrik.
Begitu pasukan pemanah ini turun maka pasukan cadangan dari kubu Quraisy menyerang balik. Kini, pasukan Muslim justru terdesak oleh serangan yang dilancarkan pasukan Quraisy tersebut. Apalagi, konsentrasi sebagian besar pasukan Muslim mulai buyar lantaran merasa sudah memenangkan pertempuran.
Melihat kejadian itu, Wahsyi mulai keluar dari penyergapan. Dengan mengedap-endap, ia mencari titik buta Hamzah bin Abdul Muthalib yang sedang berdiri mencari-cari keberadaan Rasulullah.
Dari balik batu besar, Wahsyi melemparkan tombaknya ke arah punggung Hamzah. Paman Rasulullah itu tumbang. Setelah yakin benar itulah sasarannya, Wahsyi segera surut ke belakang pasukan karena hanya itulah tugasnya di Perang Uhud.
Melihat tubuh Hamzah yang sedang terhuyung-huyung, Hindun bergegas ke tengah medan pertempuran. Situasi serbakacau. Pasukan Muslim terkaget dengan serangan balik itu.
Sebagian mereka menyelamatkan diri, sebagian yang lain mencari-cari keberadaan Rasulullah. Sebab, beberapa pemuka pasukan musyrik sudah berseru-seru menyuarakan dusta bahwa Nabi SAW wafat di tangan mereka. Kepanikan menjalar untuk sejenak di tengah kaum Muslim.
Kondisi inilah yang dimanfaatkan Hindun. Begitu ia mendapati jasad Hamzah bin Abdul Muthalib, ia berteriak sukacita. Dengan pisaunya, Hindun membelah dada Hamzah dan mengeluarkan hatinya. Jantung sosok pahlawan Muslim itu dikunyahnya sambil berkata, Rasakan ini, Hamzah!
Abu Sufyan datang menghampiri istrinya itu. Dengan tombaknya, Abu Sufyan lantas menusuk mulut Hamzah. Rasakan ini sebagai pembalasanku atas perbuatan-perbuatanmu! seru Abu Sufyan.
Saat baku hantam mulai surut, pasukan musyrik kembali ke Makkah dengan perasaan gembira. Sementara, pasukan Muslim terkoyak dan lunglai lantaran didera kekalahan. Debu-debu peperangan mulai mereda. Mayat-mayat kaum Muslim mulai tampak.
Duka Mendalam Rasulullah SAW untuk Sang Paman
Berita gugurnya Hamzah bin Abdul Muthalib di antara para pahlawan Muslim lainnya sampai kepada Rasulullah. Dalam peperangan ini, Nabi SAW sendiri tidak luput dari luka. Giginya tanggal karena dipukul pasukan musyrik.
Demi menyaksikan jasad pamannya itu, Rasulullah sangat berduka. Betapa tidak. Tubuh Hamzah terpotong-potong menyedihkan. Isi perutnya terburai. Hidung dan kedua daun telinganya putus.
Aku belum pernah melihat pembunuhan sekeji ini. Belum pernah ada peristiwa yang membuatku marah seperti ini, ucap Rasulullah. Air mata kesedihan mengalir di atas wajahnya yang mulia. Rasulullah menshalatkan pamannya itu serta para mujahid Perang Uhud yang gugur menjemput surga-Nya.
Demikianlah akhir hidup sang paman Nabi SAW yang mencintai risalah Islam.