Belajar dari Sistem Ramadhan

Melalui sistem Ramadhan harusnya menjadikan menjaga ‘output’ takwa dan terus meningkatkan dalam 11 (sebelas) bulan berikutnya

KATA “sistem” banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, baik oleh orang awam, dalam forum diskusi maupun di dalam dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam.Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda dan fungsi yang memiliki hubungan di antara mereka untuk  mencapai tujuan tertentu. Sehingga, secara garis besar sistem memiliki unsur-unsur yang mewakili suatu sistem secara umum adalah memasukan (input),pengolahan (processing), dan keluaran (output).

Selanjutnya untuk memastikan bahwa sebuah sistem bekerja dengan baik maka diperlukan umpan balik (feedback). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan yang diproses.

Masukan dapat berupa hal-hal yang berwujud (tampak secara fisik) maupun yang tidak tampak. Pengolahan (processing) merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan menjadi keluaran yang berguna dan lebih bernilai, misalnya berupa informasi dan produk, tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna, misalnya saja sisa pembuangan atau limbah.

Keluaran (output) merupakan hasil dari pemrosesan. Pada banyak hal, keluaran itu tidak mesti berupa material (fisik) yang sifatnya kuantutatif, akan tetapi juga berupa hal yang nonfisik yang bersifat kualitatif. Umpan balik (feedback) sebuah mekanisme yang digunakan untuk mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar sistem berjalan sesuai dengan tujuan. Selanjutnya memberikan informasi terkait perbaikan sistem dikemudian hari jika terjadi masalah.

Keterkaitan antar komponen tersebut selanjutnya membuat sebuah tata aturan yang disebut dengan siklus sistem itu sendiri. Dimana mereka akan terus melakukan looping, pada setiap komponen, elemen dan tahapan, yang sebenarnya tidak ada akhirnya. Sebab ketika satu tujuan telah dipenuhi, maka input akan berubah, sehingga memicu perubahan dalam proses, demikian juga merubah keluarannya. Selanjutnya umpan balik akan memberikan informasi terhadap perubahan masing-masing itu, dan begitu seterusnya.

Siklus Ramadhan

Firman Allah swt, tidak akan pernah bisa ditandingi oleh pemikiran manusia sepanjang masa. Ia akan selalu unggul, dimanapun dan kapanpun. Sehebat apapun manusia berteori dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mustahil menyamai apalagi mengungguli ketentuan Allah swt itu sendiri. Manusia, seringkali hanya bisa membenarkan dan kemudian menjelaskan apa yang terjadi dengan teori, kemudian dikaitkan dalam persepektif al-Qur’an sebagai kalam ilahi tersebut. Karena sunnatullahnya memang begitu. Hal ini juga bisa kita lakukan dalam menjelaskan QS Al-Baqarah : 183

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Surat Al-Baqarah Ayat 183).

Jika kita uraikan dengan pendekatan sistem di atas, maka akan kita dapati bahwa dalam surat al-Baqarah 183 ini, inputannya adalah orang-orang beriman. Prosesnya adalah menjalankan shiyam (puasa). Sedangkan outputnya adalah predikat takwa.

Durasi prosesnya adalah 1 bulan, selama ramadhan. Selanjutnya untuk feedback (umpan balik) nya, dilakukan 11 (sebelas) bulan berikutnya, dan selanjutnya akan menjadi input yang akan diproses pada ramadhan tahun berikutnya, begitulah seterusnya. Dalam konteks individu sampai maut memanggil.

Selanjutnya jika kita uraikan lebih detail akan didapati bahwa orang-orang yang beriman adalah menjadi prsyarat dalam sistem ini. Sehingga tidak berlaku bagi orang tidak beriman.

Sedangkan definisi iman sendiri jumhur ulama adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Sedangkan secara lebih terperinci dapat dijelaskan bahwa iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul ﷺ.

‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya. (Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali). Inilah yang menjadi input untuk shiyam ramadhan.

Sedanglan dalam prosesnya adalah shiyam (puasa). Secara bahasa, baik kata shiyam maupun shaum berasal dari صام – يصوم, artinya imsak (menahan), shamt (diam tidak berbicara), rukud (diam tidak bergerak), dan wuquf (berhenti) sebagaimana disampaikan Khalil bin Ahmad al-Farahidi dalam Kamus al-‘Ain. Jadi, kedua istilah tersebut secara literal bermakna meninggalkan makan dan minum, tidak berbicara dan tidak mengerjakan apapun.

Secara syar’i, Prof. Dr. Wahbah az Zuhaili, menjelaskan arti puasa secara istilah syariat adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Artinya, puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan kemaluan serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga tubuh (seperti obat dan lainnya) dalam rentang waktu tertentu oleh orang tertentu yang memenuhi syarat, disertai niat (Fiqih Islam wa Adillatuhu).

Selanjutnya ibadah lain yang dilaksanakan selama shiyam Ramadhan adalah menegakkan shalat fardu di awal waktu, qiyamul lail, melaksanakan tarawih, serta sholat sunah lainnya, memperbanyak interaksi dengan al-Qur’an baik kualitas maupun kuantitas, memperbanyak bersedekah, serta i’tikaf di 10 hari ramadhan dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses ini, harus dilaksanakan secara maksimal dan sebaik-baiknya agar menghasilkan output yang optimal pula.

Dari sisi output adalah takwa. Secara bahasa takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara, yakni menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat.

Kata waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan. Sedangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an mendenifisikan : “Takwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”.

Output takwa inilah yang kemudian dijaga dan terus ditingkatkan dalam 11 (sebelas) bulan berikutnya. Oleh karenanya maka harus ada feedback (umpan balik) agar dapat melakukan improvement pada bulan-bulan berikutnya, hingga ketemu ramadhan mendatang.

Caranya bagaimana? Yaitu dengan menjalankan amalan yaumiyah (amal harian) sebagaimanya yang telah disyariatkan, baik yang sifatnya mahdhoh maupun yang ghairu mahdhoh. Supaya lebih terukur, bisa menggunakan tools mutaba’ah yaumiyah (evaluasi amal harian). Yang berisi check list aktifitas dan ibadah apa saja yang kita lakukan setiap hari.

Dan saat ini, mutaba’ah yaumiyah ini, tidak harus berupa buku, sudah banyak apps yang tersedia. Bisa didapatkan dan diunduh secara online. Selanjutnya bisa dioperasikan dan dilihat melalui gadget kita.

Melalui pendekatan sistem sebagaimana diterangkan di atas, maka kita dapat mengambil ibrah yang luar biasa dari sistem ramadhan ini. Sehingga diharapkan akan memberikan kemudahan bagi siapa saja dalam memahami dan sekaligus mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini, sesungguhnya membuktikan bahwa ajaran Islam itu tidak akan pernah berselisih dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, asalkan semua dilakukan dalam kerangka bismirabbik. Dengan demikian maka seharusnya seluruh IPTEK yang bersandar dan bersumber dari ajaran Islam. Wallahu a’lam.

Oleh: Asih Subagyo

Penulis dosen STIE Hidayatullah Depok

HIDAYATULLAH