“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan juga tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat [41]: 34-35)
Salah satu cara menolak kejahatan adalah memberi maaf kepada orang yang berbuat salah. Memberi maaf merupakan ajaran Islam yang sangat mulia.
Memberi maaf termasuk kebaikan hati yang dapat menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam yang tidak pernah padam.
Menurut Ibn Al-Qayyim, hakikat memberi maaf adalah menggugurkan hak untuk membalas dendam atau melawan karena kemurahan hati yang bersangkutan, meskipun ia dapat melampiaskan dendam dan permusuhannya.
Jadi, pemaaf adalah orang yang tidak mengambil haknya untuk menyakiti, mencaci maki, memusuhi orang lain yang telah menzhaliminya, meskipun ia sanggup melakukannya.
Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT pahala (kebaikan dunia dan akhirat). “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS.. Asy-Syura [42]: 40).
Memaafkan adalah puncak kemuliaan hati orang yang disakiti atau dizhalimi. Dalam sejarah Islam, pemberian maaf (pengampunan) tidak hanya menarik simpati musuh-musuh Islam untuk memeluk Islam, tetapi juga menunjukkan betapa keluruhan Islam dibangun atas fondasi kemanusiaan yang kokoh: persaudaraan, persatuan, perdamaian, dan toleransi.
Musthafa as-Siba’i, dalam bukunya, Min Rawa’i Hadharatina (Di antara Pesona Peradaban Kita), menyatakan memberi maaf adalah kata kunci rekonsiliasi dan sinergi potensi umat manusia.
Ingatlah bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan orang-orang kafir Quraisy yang dalam kondisi kalah dan bersalah saat terjadi fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah).
Beliau bertanya kepada mereka: “Apakah kalian mengira bahwa aku akan melakukan balas dendam terhadap kalian?” Mereka menjawab: “(Kami berharap engkau) berbuat yang terbaik untuk kami, wahai saudaraku.” Nabi SAW pun memberi pengampunan massal: “Pergilah kalian, kalian semua itu bebas (tidak ada yang dihukum)!”
Memberi maaf itu tidak selalu mudah karena kadar kesalahan orang lain terhadap kita ada yang besar (sulit dimaafkan) dan ada yang kecil.
Prinsip utama bagi yang bersalah, terutama kepada sesama, adalah meminta maaf dan sekaligus mengembalikan hak-hak yang pernah diambilnya secara tidak halal kepada yang berhak. Sedangkan kewajiban sebagai Muslim adalah memberi maaf kepada orang pernah bersalah kepadanya.
“Allah tidak menambah seorang hamba karena mau memberi maaf melainkan kemuliaan; dan tidaklah seseorang yang bersikap rendah hati di hadapan Allah melainkan akan diangkat oleh Allah derajatnya.” (HR.. Abu Daud).
Memberi maaf juga termasuk sifat orang bertaqwa (QS.. Ali Imran [3]: 133), dan sekaligus merupakan manifestasi dari sikap meneladani sifat Allah yang Maha Penerima taubat, Pemaaf, dan Pengampun.
Belajar memaafkan kesalahan orang lain sejatinya merupakan manifestasi dari seni menikmati hidup bahagia. Alangkah menderita dan tersiksanya, jika seseorang terus-menerus menyimpan rasa dendam kepada orang lain.
Alangkah sengsaranya jika hati diberati rasa emosi dan amarah yang tidak berkesudahan. Belajar memaafkan jauh lebih mulia daripada menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Karena itu, hidup ini akan lebih indah jika ungkapan tiada maaf bagimu diubah menjadi aku sudah maafkan semuanya.
Memaafkan bukan berarti menafikan penegakan hukum dan keadilan, melainkan mengedepankan moral kemanusiaan. Mereka yang terbukti bersalah secara hukum harus ditindak tegas.
Jika hukuman sudah dijalani dan yang bersangkutan sudah menyadari kesalahannya, maka dosa sosial dan moralnya perlu dimaafkan. Jadi, kita semua perlu terus belajar menjadi arif, agar kita tidak mudah terjebak dalam kemarahan permanen.
Ramadhan merupakan bulan penuh permaafan. Karena itu, Ramadhan kali ini harus dijadikan sebagai momentum pemaafan bagi sesama demi terciptanya kedamaian dan keharmonisan sosial.
Oleh Muhbib Abdul Wahab