Sektor pendidikan menjadi fokus utama Al Fatih dalam memimpin. Pendidikan bagi Al Fatih adalah titik penting bangunan peradaban. Karena itu, semua rakyat diberikan pendidikan yang layak. Al Fatih memberlakukan kebijakan dari rakyat biasa hingga anak raja wajib mengikuti kelas pengajian agama dan ilmu-ilmu umum. Dari sinilah muncul individu-individu berkualitas hingga mampu membebaskan Konstantinopel.
Muhammad Syari dalam bukunya Kuasa Kepemimpinan Muhammad Al Fateh, menjelaskan, Sistem pendidikan inilah yang berlaku kepada Al Fatih sejak dari kecil. Ini bukan pemandangan baru di masa Pemerintahan Utsmani. Ini hanyalah rentetan tradisi yang mengakar ratusan tahun dalam setiap pemimpin besar Pemerintahan Utsmani termasuk anak-anak raja. Mereka dituntut untuk menguasai Al Qur’an, hadis, akidah, fiqih, bahasa Arab, sejarah, militer, dan lain sebagainya.
Ulama dilibatkan penuh dalam kurikulum pendidikan. Mereka mengawasi pembinaan para prajurit. Semuanya diselenggarakan melalui keputusan pemerintahan Utsmani. Aspek ibadah selalu dititikberatkan. Bahwa perjuangan harus dilandasi semangat iman, takwa, dan semangat ukhuwah, karena Islam adalah rahmat bagi sekalian alam.
Buah dari tempaan pendidikan itulah lahir 250.000 pasukan pembebas konstantinopel. Mereka adalah para tunas terpilih yang selama ini dibina dengan pendidikan agama dan militer yang matang.
250.000 pasukan itu tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid sejak mereka akil baligh. Setengahnya tidak pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib walau hanya sekali.
250.000 prajurit itu dipimpin seorang panglima yang tidak pernah masbuq dalam shalatnya. Senantiasa mendirikan shalat malam. Dan tak pernah tertinggal menjalankan shalat rawatib. Sejak baligh hingga dirinya berdiri tegak dalam detik-detik operasi pembebasan Konstantinopel. Panglima itu adalah Muhamamad Al Fatih.
Kematangan ilmu dari para pejuang Utsmani ini dapat terlihat saat Konstantinopel bebas. Saat itu, keadilan Islam dirasakan hampir seluruh warga Konstatinopel, baik Muslim maupun warga Kristen Yunani dan Italia. Bayangan mereka tentang bayangan Muslim yang kejam dan beringas, berbanding terbalik dengan kondisi yang mereka lihat. Kearifan ajaran Islam pun segera membekas di hati warga Konstantinopel.
Adapun terhadap tawanan-tawanan perang, sebagian besar mereka dibebaskan dan sebagian yang lain lagi ditebus dengan emas dan perak. Al Fatih bahkan menebus beberapa tawanan perang dengan harta pribadinya. Semua diperlakukan sama sebagai warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, hanya kepada penduduk non-Muslim diterapkan jizyah, sesuai dengan syariat Islam.
Selain itu, Al Fatih membagikan sendiri harta-harta kepada para wanita yang ditinggal mati suaminya sehingga dapat menghidupi keluarganya. Sementara itu, para Yeniseri (Pasukan Khusus) diminta membangun kembali rumah penduduk yang rusak karena perang.
Mereka juga diminta berlaku baik dan penuh kasih sayang kepada warga tanpa memandang agama mereka. Hal ini diperkuat ketika Sultan mengeluarkan surak keputusan pada 1 Juni 1453, tiga hari setelah pembebasan Konstatinopel. Sebagaimana dicatat oleh Sphrantzes.
“Pada hari ketiga setelah jatuhnya kota kami, Sultan merayakan kemenangannya dengan perayaan yang besar. Dan mengeluarkan pengumuman: bahwa penduduk segala usia yang berhasil lolos dari deteksi ataupun yang bersembunyi di seluruh penjuru kota untuk keluar dan mereka dijamin kebebasannya dan tidak akan dipertanyakan apapun kepada mereka. Lalu, ia mengumumkan bahwa setiap properti yang ditinggal pemiliknya ketika pengepungan akan tetap menjadi miliknya. Semua penduduk akan diperlakukan sebagaimana pangkat dan agamanya sebagaimana sediakala, seolah tidak ada sesuatupun yang berubah.”
Jumat pertama setelah usai pembebasan, pada 1 Juni 1453, Al Fatih mengadakan Shalat Jum’at kali pertamanya di Konstantinopel. Beliau memberikan khutbah sekaligus mengimami para pasukannya. Nama Konstantinopel berganti menjadi Islambol, yang artinya “penuh dengan Islam”. [Lihat: Felix Y. Siauw, Muhammad Al Fatih 1453, Khilafah Press: Jakarta, 2011).
Muhammad Al Fatih wafat pada 3 Mei 1481. Di akhir hayatnya, Al Fatih berpesan kepada anaknya Yazid II, sebagaimana dilansir Zuhair Mahmud al Humawi dalam kitabnya Washaaya wa`Izhaat Qiilat fi Aakhiril-Hayaat:
“Aku akan meninggal tapi aku tidak akan sedih. Karena aku akan meninggalkan orang sepertimu wahai anakku. Berlakulah adil, soleh, dan penyayanglah. Bekerjalah untuk menyebarkan agama Islam karena itu kewajiban raja-raja di muka bumi ini. Dahulukanlah perhatian kepada agama. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka. Cukupilah keperluan mereka. Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kta, hidayah itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.”
Oleh: Muhammad Pizaro, Redaktur Pelaksana Islampos
Sumber : Bina Qalam Digiest (Dicuplik dari Bumi Syam )