Benarkah Al-Qur’an Tidak Bisa Dipahami oleh Orang Awam?

Benarkah Al-Qur’an Tidak Bisa Dipahami oleh Orang Awam?

Pertanyaan:

Benarkah bahwa kita sebagai orang awam tidak boleh mencoba memahami Al Qur’an dan As Sunnah? Karena orang awam tidak akan bisa memahami Al Qur’an dan As Sunnah, dan yang bisa memahaminya hanya ulama mujtahid? Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Menyatakan bahwa al-Qur’an dan Sunnah itu tidak bisa dipahami kecuali oleh sedikit orang saja, ini adalah bentuk syubhat untuk menjauhkan manusia dari al-Qur’an dan Sunnah. 

Allah ta’ala sudah membantah syubhat ini dalam banyak ayat. Allah ta’ala berfirman: 

لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Telah pasti ketetapan bagi kebanyakan mereka bahwa mereka tidak beriman.” (QS. Yasin: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat para Nabi telah memahami wahyu dan keterangan yang disampaikan para Nabinya, tanpa kesamaran dan kebingungan. Baik orang awamnya dan ulamanya. Namun mereka menolak kebenaran karena kesombongan dan hawa nafsu mereka. Sehingga Allah tambahkan kesesatan dalam diri mereka sebagaimana dalam kelanjutan ayat:

إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ.  وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ. وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya Kami menjadikan pada leher mereka belenggu sehingga terkumpul kedua tangan pada dagu dalam keadaan mereka mendongak ke atas (8) dan Kami jadikan penghalang di depan dan di belakang mereka, Kami tutup mereka sehingga tidak bisa melihat (9) Sama saja apakah kalian memberi peringatan ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak (akan) beriman (10).” (QS. Yasin: 8-10)

Bahkan di ayat ini, Allah ta’ala katakan bahwa orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang mengikuti adz-Dzikru, yaitu al-Qur’an. 

إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ 

“Hanyalah yang bisa engkau beri peringatan adalah yang mengikuti adz-Dzikr (al-Quran) dan takut kepada ar-Rahman (Allah) dalam kesendirian. Berikan kabar gembira kepada mereka akan ampunan (Allah) dan pahala (balasan) yang mulya.” (QS. Yasin: 11)

Menunjukkan bahwa al-Qur’an bisa dipahami. Karena bagaimana mungkin al-Qur’an bisa diikuti jika tidak bisa dipahami?

Al-Qur’an itu Mudah Dipahami

Syubhat ini sungguh jauh panggang dari apinya. Bagaimana mungkin al-Qur’an dikatakan sulit dipahami padahal Allah ta’ala banyak menjelaskan bahwa al-Qur’an itu jelas dan mudah dipahami. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk dipelajari.” (QS. al-Qamar: 32)

Allah ta’ala berfirman,

وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ  نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ  بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ

“Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’ara: 192-195)

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat ini:

أي لئلا يقولوا لسنا نفهم ما تقول

“Maksudnya, agar mereka (orang Musyrikin) tidak mengatakan: “Kami tidak paham apa yang engkau ucapkan (wahai Muhammad)”.” (Tafsir al-Qurthubi)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ. وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Quran itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS. az-Zukhruf: 3-4)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا

“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS. Maryam: 97)

Dan lisan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga merupakan lisan Arab yang jelas dan mudah dipahami. Allah ta’ala berfirman:

لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

“Padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya ia berbahasa ‘Ajam, sedang al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. an-Nahl: 103)

Maka jelaslah bagi kita bahwa al-Qur’an dan Sunnah itu jelas dan mudah dipahami, maka tidak benar perkataan orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa dipahami kecuali oleh sedikit orang saja.

Allah ta’ala Memerintahkan Kita untuk Tadabbur

Al-Qur’an adalah obat dan penyejuk jiwa. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk senantiasa mentadabburinya. Allah ta’ala berfirman:

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak men-tadabburi al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Tadabbur artinya merenungkan ayat al-Qur’an untuk menggali petunjuk dari ayat tersebut untuk diterapkan dalam ilmu dan amal. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan:

والتدبير : أن يدبر الإنسان أمره كأنه ينظر إلى ما تصير إليه عاقبته

Tadabbur adalah seseorang merenungkan keadaan dirinya, seakan-akan ia melihat akibat apa yang akan menimpanya kelak.” (Fathul Qadir, 2/180.)

Sedangkan tafsir adalah mendefinisikan makna ayat dan menjelaskannya. Tadabbur lebih luas dari tafsir. Tafsir adalah wasilah untuk tadabbur. Tadabbur adalah tujuan utama, tafsir adalah wasilahnya.

Maka bagaimana mungkin Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mentadabburi al-Qur’an jika al-Qur’an sulit dipahami dan hanya bisa dipahami oleh sedikit orang saja? Apakah ayat di atas hanya berlaku untuk sebagian kecil orang saja?

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Ayat ini sifatnya umum berlaku untuk seluruh kaum Muslimin. Setiap orang dapat memahami al-Qur’an sesuai dengan hidayah yang Allah berikan kepadanya. Orang awam dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Para penuntut ilmu dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Orang yang kokoh ilmunya (yaitu ulama) juga dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Allah ta’ala berfirman:

أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

“Allah menurunkan hujan dari langit. Kemudian air tersebut mengalir ke lembah-lembah sesuai dengan kadarnya masing-masing.” (QS. ar-Ra’du: 17)

Setiap lembah mengambil jatah air hujan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Demikian juga ilmu yang Allah turunkan kepada manusia, setiap hati manusia dapat mengambil ilmu sesuai kadarnya masing-masing. Orang awam, penuntut ilmu, ulama, setiap mereka dapat mengambil ilmu sesuai kadarnya masing-masing. Yaitu kadar kepahaman yang diberikan kepada mereka. Adapun meyakini bahwa tidak ada yang bisa memahami al-Qur’an kecuali hanya mujtahid mutlak, ini perkataan yang tidak benar.” (Syarah al-Ushul as-Sittah, dinukil dari Silsilah Syarhir Rasail, hal. 42-43)

Jenis-jenis Ayat Al Qur’an

Memang benar, ada sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dipahami oleh ulama dan ada yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala. Namun tidak semua demikian. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

تفسير القرآن على أربعة وجوه : تفسير يعلمه العلماء . وتفسير لا يعذر الناس بجهالته من حلال أو حرام . وتفسير تعرفه العرب بلغتها . وتفسير لا يعلمه إلا الله، فمن ادعى علمه فهو كاذب

“Tafsir al-Qur’an ada empat macam: [1] Tafsir yang hanya diketahui para ulama, [2] Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, berupa hukum halal dan haram, [3] Tafsir yang bisa diketahui oleh orang Arab dengan bahasanya, [4] Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga barang siapa ada yang mengaku mengetahuinya maka ia seorang pendusta.” (Tafsir ath-Thabari 1/73)

  • Tafsir yang diketahui orang-orang Arab semisal definisi kata-kata dan arti-arti kalimat yang biasa mereka gunakan.
  • Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, semisal ayat-ayat tentang wajibnya tauhid, haramnya syirik, wajibnya shalat, wajibnya puasa, wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan semisalnya. Semua ini sangat jelas dipahami semua orang secara gamblang.
  • Tafsir yang hanya dipahami ulama semisal tafsiran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap ayat, tafsiran sahabat Nabi terhadap ayat, makna lafazh ‘am, makna lafazh khas, nasikh, mansukh, makna lafadzh muthlaq, makna muqayyad, dan lainnya yang dipelajari dalam ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan ushul tafsir. 
  • Tafsiran yang hanya diketahui Allah semisal huruf-huruf muqatha’ah seperti Alim Laam Miim, Thahaa, YaaSiin, Alim Laam Raa, dan lainnya.

Kembali kepada Qur’an dan Sunnah

Syubhat di atas, pada hakekatnya adalah upaya untuk memalingkan orang dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka menyerukan kepada masyarakat untuk perlu berusaha memahami al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak boleh berdalil dengan keduanya, dan mengajak masyarakat untuk taklid buta kepada pendapat ulama. 

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan dalam semua masalah. Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa: 59)

Allah ta’ala juga berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10)

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Adapun pendapat para ulama, itu bukanlah dalil. Para ulama mujtahid mutlak pun melarang untuk taklid buta kepada mereka. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats-Tsauri. Ambilah dari mana mereka mengambil (dalil).” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapa pun.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia maksum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik rahimahullah berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Maka pendapat ulama kita lihat dalil dan sisi pendalilannya. Pendapat ulama yang bertentangan dengan dalil atau lemah sisi pendalilannya maka tidak kita ikuti, dan kita mengikuti pendapat ulama yang lebih kuat pendalilannya. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Jika kita berselisih pendapat dalam suatu perkara, maka kita kembalikan kepada dalil. Pendapat yang dikuatkan oleh dalil, itulah yang kita ikuti. Pendapat yang bertentangan dengan dalil, ini keliru dan kita tidak mengikuti kekeliruan.” (Syarah al-Ushul as-Sittah, dinukil dari Silsilah Syarhir Rasail hal. 22)

Kesimpulannya, wajib bagi kita untuk mengembalikan semua permasalahan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

KONSULTASI SYARIAH