“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS Ath Thalaq: 3)
Inilah petikan ayat yang mendorong seorang untuk mengikatkan diri dalam sikap tawakal. Ketika tawakal dilakukan, Allah tidak akan pernah ingkar memenuhi janjinya dalam mencukupi kebutuhan hambanya.
Namun, jangan salah tafsir dan pengertian tentang tawakal. Tawakal bukan menyerah. Tawakal juga bukan bermalas-malasan. Tawakal adalah senjata membangun optimisme dan menghapus kekhawatiran dari usaha yang dilakukan.
Kata kunci tawakal adalah usaha. Rasulullah memberikan perumpaan terbaik dalam sikap tawakal. “Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Mubarak dari Umar bin Khathab).
Tawakal bukan menyerah dan menampakan sikap pasif. Rasulullah memberikan ibarat seekor burung yang berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. Seekor burung pun berusaha, tetapi Tuhan telah menetapkan hukum dan porsi segalanya bagi makhluk hidup yang berusaha.
Burung bertawakal tidak dengan berdiam diri di dalam sarangnya. Tetapi seekor burung yakin di luar sana Tuhan telah menyiapkan makanan untuk ia cari. Sekali lagi tawakal bukan menyerah, tetapi berserah diri terhadap usaha yang sudah dilakukan.
Tawakal menyadari diri ada keterbatasan dalam meraih hasil. Tetapi bukan keterbatasan diri untuk berusaha. Semua orang harus menggerakkan diri dengan usaha. Bukan menerima apa adanya tanpa berusaha.
Rasulullah ketika dikejar dalam perjalanan hijrah Madinah tidak menyerahkan diri. Beliau dengan Abu Bakar sedang berserah diri, bertawakal. Namun, tawakal yang dilakukan Rasulullah setelah bersembunyi masuk ke gua tsur dalam kejaran orang kafir Quraisy. Saat itulah, Nabi berkata : jangan bersedih Tuhan bersama kita.
Ada kisah lain tentang konsep tawakal yang sebenarnya. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa seorang Arab Badui melepaskan untanya di depan pintu masjid, kemudian ia masuk ke dalamnya sambil berkata: “Aku bertawakal kepada Allah.”
Nabi menegornya dan bersabda: “Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal.” (HR at-Tirmidzi dari Anas bin Malik).
Tawakal bukan sikap setelah kejadian dengan menerima apa adanya. Tawakal justru senjata di awal yang diperlukan untuk melenyapkan kekhawatiran dan kecemasan yang dapat menggangu kita meraih hasil yang diinginkan.
Kenapa manusia sulit tawakal. Mari kita kasih perumpaan. Jika kamu menaiki kereta, kamu akan merasa yakin dan tenang karena masinis akan menghantarkanmu ke tempat tujuan. Keyakinanmu karena sistem kesadaran yang bekerja bahwa kereta berjalan semestinya dan tidak ada kendala. Pernahkah anda terpikir kereta akan jatuh, macet atau gangguan lainnya?
Hampir perasaan itu tidak muncul. Pertanyaannya, kenapa kepada manusia kita begitu yakin, lalu kepada Tuhan ketika susah untuk bertawakal? Padahal semua urusan dunia ada dalam genggaman hukum Tuhan. Dia yang mengatur segalanya dari proses hingga hasil.
Tawakal adalah percaya kepada hasil terbaik dari usaha terbaik yang sudah dilakukan. Biarkan tangan Tuhan bekerja, setelah tangan kita digerakkan melalui usaha.